Sabtu, 10 Desember 2011

Desa Menuntut Rekognisi Negara


Desa Menuntut Rekognisi Negara
Robert Endi Jaweng, MANAJER HUBUNGAN EKSTERNAL KOMITE PEMANTAUAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Sumber : KOMPAS, 10 Desember 2011



Demonstrasi yang mulai rutin dilakukan perangkat desa, asosiasi pemerintahan desa, dan berbagai kelompok terkait lain berisi satu tuntutan puncak: segera sahkan UU Desa!
Mereka menilai lemahnya posisi desa—bahkan pada era otonomi ini—disebabkan oleh dominasi lembaga supradesa yang menyubordinasikan desa sebagai bagian rezim pemda dan norma pengaturan desa hanya dicantolkan dalam sejumlah pasal di UU No 22/1999 atau UU No 32/2004 saat ini.

Patut dicatat, sejumlah institusi pemegang fungsi legislasi di pusat sudah bergerak. Berdasarkan konsensus DPR-pemerintah untuk memisahkan pengaturan pemda, desa, dan pilkada dalam tiga UU berbeda, Kementerian Dalam Negeri telah bolak-balik mengundang banyak pihak mendiskusikan draf persiapan sebelum diusulkan ke DPR. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan sudah menyelesaikan dan menyetujui susunan RUU tersebut dalam Sidang Paripurna DPD Juli 2011 untuk dijadikan usulan RUU ke DPR.

Jantung Perkara

Terlepas dari proses legislasi yang mungkin membuat berbagai pihak tak sabar menanti, perhatian pada mutu materi muatan UU baru nanti adalah niscaya. Para pejuang desa dituntut untuk menyiapkan draf tandingan yang solid-komprehensif, tidak semata melemparkan wacana yang berserakan, terpisah-pisah, sehingga sulit diuji koherensi antar-isu yang diperjuangkan.

Keseriusan juga penting untuk menjawab tudingan bahwa unjuk rasa belakangan ini hanya mengekspresikan kepentingan sempit—perangkat desa jadi PNS, misalnya—bahkan banyak partai politik besar yang membonceng dengan agendanya.

Sejauh niatnya murni memberdayakan desa agar fungsional, terkelola secara efektif, dan jadi basis demokrasi yang kokoh di ranah lokal, hemat saya, wacana penataan (pengaturan) harus dimulai dari pencarian jati diri kedudukan desa. Isu ini, selain banyak memancing polemik, juga amat fundamental sebagai basis (re)konstruksi desa. Apalagi, ada utang masa lalu saat entitas lokal itu ”diberangus” sikap prasangka-desa (Chambers: 1988), anti-desa (Lawang: 2006), lewat ”intervensi negara atas desa dan integrasi desa ke dalam negara”.

Ikhtiar ”mendudukkan” desa secara pas berarti membaca otonomi desa secara berbeda dari otonomi daerah di level supradesa. Meski pilar desentralisasi dan otonomi saling terkait, dalam konteks desa terdapat logika sistem yang berlainan.

Di level daerah, otonomi hanya akan ada jika didahului desentralisasi kewenangan dari Jakarta (otonomi pemberian). Sebaliknya, otonomi desa bukanlah lantaran adanya desentralisasi, tetapi memang secara nyata sudah lama eksis, berbasis lokal-asali, serta inheren dalam dirinya. Maka, yang dibutuhkan semata rekognisi negara dan lembaga supradesa atas eksistensi desa (otonomi pengakuan) dan tak bisa dicabut lantaran bukan otonomi pemberian dari otoritas supradesa. Inilah hakikat self-governing community yang diimajinasikan sebagai prototipe pengelolaan desa sesungguhnya.

Kental Rekognisi

Maka, arah dasar legislasi nanti mesti kental politik rekognisi, bukan desentralisasi. Pekerjaan pemerintah/DPR/DPD memang jadi sulit karena tak bisa asal pukul rata seperti halnya UU Pemda. Lebih dari sekadar kemampuan teknis legal-drafting, yang jauh lebih dibutuhkan adalah kecerdasan legislative-assessment guna menakar ”segala yang eksistensial” tadi di 70.000 desa seantero Nusantara. Jelas, derajat kebertahanan otonomi asali tidak merata, di sebagian tempat malah telah lama hilang digerus ”modernisasi” atau diberangus mesin Orba yang menghendaki keseragaman desa. Tingkat perkembangan sosio-ekonomi juga pasti bervariasi, bahkan senjang luar biasa antara desa di Jawa dan di Papua.

Untuk ”keluar” dari kesulitan politik legislasi, sebagian pihak mengusulkan: UU Desa bersifat generik, digariskan nada dasarnya saja, sementara rincian lebih lanjut diatur kabupaten. Sebagian pakar datang dengan substansi usulan lain: pembuatan tipologi desa sebagai formula akomodasi pluralitas lokal dan derajat perkembangan sosial sehingga pengaturan mesti bersifat asimetris. Namun, ada saja yang optimistis: realitas keragaman lokal dan hakikat otonomi asali dalam instrumen kebijakan akan terpelihara sejauh anggota DPR/DPD bisa memahami karakter desa perwakilannya.

Apa pun itu, garis dasar yang wajib dipegang adalah tidak lagi mengulang corak pengaturan Orba (UU No 5/1974) yang kental uniformisasi, jangan juga latah dengan pola era desentralisasi yang mengatur serba terbatas dan hanya menyentuh segi instrumen yang justru problematik. Jika perkara kedudukan desa ini tetap tak selesai secara baik, boleh jadi kita hanya kembali ke cerita lama ketika desa dijadikan miniatur negara. Otonomi desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah.

Jadi, RUU Desa bukan semata polemik soal status sekretaris desa ataupun perangkat desa sebagai PNS, mengalokasikan pembiayaan desa dalam APBN hingga 10 persen, dan seterusnya. Ini jelas ironis dan menimbulkan kecurigaan ketika keprihatinan dasar adalah soal lemahnya posisi desa di depan kedigdayaan lembaga supradesa, padahal kondisi yang memprihatinkan justru soal kesejahteraan dan status kepegawaian pejabat desa. Lalu, apa beda mereka dengan elite penyelenggara negara yang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar