Kamis, 01 Desember 2011

Ruang Etalase Politik


Ruang Etalase Politik
Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011


Ruang politik bangsa akhir-akhir ini dirasuki semangat ”materialisme”, menyebarkan aroma kegusaran publik. Mulai dari gaya hidup hedonistis anggota DPR, dana kampanye politik yang seakan tanpa batas, kekayaan pejabat negara yang berlimpah, pesta ulang tahun atau pernikahan keluarga pejabat yang mewah, hingga kemewahan kamar tahanan bekas pejabat atau politisi.

Terjerat arus materialisme, para elite politik gagal mengusung ”nilai-nilai baik bersama” (common good) yang substansial bagi masa depan res-publica: kejujuran, kebenaran, loyalitas, keutamaan, kerja keras, dan keteladanan. Yang tumbuh justru ”nilai-nilai buruk bersama” (common bads): nilai-nilai memuja material, tampilan, hedonisme, simbol, gaya, dan gaya hidup, haus kedudukan, mental korup, jalan pintas, ketidakterpecayaan, kecurangan, dan kekerasan.

Karena ruang demokrasi didominasi para ”pemuja” material, simbol, dan gaya hidup, kekuatan politik direduksi menjadi ”kekuatan material” dan ”kekuatan citra” sebagai jalan pintas kekuasaan politik. Kombinasi ”industri politik” dan ”industri pencitraan”—dilengkapi aneka trik manipulasi media—menciptakan ”ruang etalase politik”, di mana relasi intersubyektivitas di antara elemen-elemen politik tak didasari oleh landasan nilai-nilai politik, tetapi ekses-ekses nilai mesin ”industrialisasi politik”.

Demokrasi Oligarkis

Sistem demokrasi yang terkontaminasi virus-virus ”komersialisasi” menyebabkan kekuasaan politik tak lagi dibangun oleh kekuatan intelektualitas, kecakapan, karisma, meritokrasi, atau kepemimpinan, tetapi oleh ”kekuatan materi” (the power of wealth), di mana kekayaan dikonversi menjadi kekuasaan. Dominasi kekuatan material mengubah watak res-publica, di mana kebaikan (atau malah keburukan) bersama (common good) merupakan efek perayaan material.

Seperti dikatakan Jacques Ranciere (Hatred of Democracy, 2006), sistem demokrasi hari ini didominasi bukan oleh para elite politik yang berjuang membangun nilai-nilai kebaikan bersama, melainkan oleh para ”individu egoistik” atau ”konsumer serakah” yang mengumbar hasrat-hasrat pribadinya atas nama kepentingan publik. Mereka memanipulasi ruang politik dan ruang publik demi akumulasi material, yang direinvestasi menjadi reproduksi kekuasaan.

Karena ”kutukan” material, ruang demokrasi kini menjadi ”ruang apolitik” (apolitical space) karena nalar, logika, dan argumen politik diambil alih kalkulasi ekonomi. Ruang politik menjadi semacam ”etalase ekonomi”, yaitu ranah pertarungan kekayaan untuk mendapatkan kekuasaan. Di sini, kekuatan politik satu-satunya adalah modal ekonomi (economic capital), menggusur modal budaya (pendidikan, kecakapan, kepemimpinan) dan modal simbolis (karisma, etnisitas, pamor).

Ruang politik demokratis menjelma menjadi ”industri politik”, di mana setiap proses, relasi, dan wacana politik hanya dapat dibangun melalui kekuatan modal ekonomi, media, dan pencitraan. Artinya, ”demokrasi” kini menjelma menjadi semacam ”oligarki”, di mana kekuasaan bukan di tangan ”rakyat”—seperti yang diyakini—melainkan di tangan segelintir orang kaya (oligarch). Melalui kekayaannya, para oligarch ini bahkan mampu ”membeli” rakyat, warga, atau publik dengan mengeksploitasi mereka sebagai obyek dan komoditas politik.

Dalam industri politik, ”konstituen politik” menjelma menjadi ”konsumer politik”. Mereka tak hanya ditawari aneka ”komoditas politik” menawan dan gemerlap (kampanye, iklan, slogan), tetapi mereka sendiri kini dikonversi menjadi ”komoditas”, yang dieksploitasi tenaga, pikiran, waktu, dan keterampilan mereka, demi kepentingan jangka pendek para elite politik, untuk kemudian ”dikecewakan” setelah kekuasaan didapat, semacam ”fetisisme komoditas” (commodity fetishism), seperti dikatakan Marx.

Demokrasi mengajarkan kebebasan memilih melalui ajang pemilihan umum, tetapi kekuatan modal (kampanye, pencitraan, polling) yang menggiring pilihan warga; demokrasi merayakan kebebasan pers, tetapi media (televisi) dikuasai oleh para ”taipan politik” yang mudah mengontrol opini publik; demokrasi membuka kebebasan berkumpul, berasosiasi, dan berdemonstrasi, tetapi semuanya kini menjadi ”komoditas” para elite politik untuk aneka kepentingan mereka.

Kondisi ”demokrasi oligarkis” macam ini yang menyebabkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadi milik orang (atau partai) kaya. Ini pula yang mendorong lingkaran setan korupsi—baik individu, kelompok, maupun partai—karena hasrat akumulasi modal dalam waktu singkat sebagai jalan kekuasaan, diikuti hasrat mengembalikan investasi modal (dalam kampanye, iklan), plus ”keuntungan” (politik), layaknya hukum ekonomi.

Etalase Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, khususnya di negara republik seperti Indonesia, menurut Iseult Honohan (Civic Republicanism, 2002), fondasi arsitektur masyarakat politik adalah kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebaikan bersama yang dikembangkan di dalamnya. Untuk itu, di dalamnya perlu dibangun budaya publik (public culture) yang sehat, yaitu aneka sikap, mentalitas, perilaku, makna, dan nilai-nilai yang membawa pada kebaikan bersama.

Di dalam arsitektur demokrasi-republikan, ”warga” (citizen) menjadi pilar komunitas politik, yang melaluinya dirangkai nilai kebaikan, keutamaan, imajinasi, utopia, dan cita-cita bersama. Keutamaan dan kebaikan bersama itu bukan warisan, melainkan disusun bersama melalui relasi intersubyektivitas dinamis di antara elemen-elemen politik berbeda (ideologi, kelompok, partai) dengan cara membangun ruang publik yang sehat, di mana nilai, keyakinan, dan ideologi dipertarungkan.

Akan tetapi, pada era globalisasi dan abad informasi kini kebaikan bersama itu kian sulit dirumuskan karena kondisi saling-pengaruh yang mencirikan masyarakat kontemporer.

Maka, kata Chantal Mouffe (The Return of the Political, 1993), yang kini harus dikejar bukan kebaikan bersama, melainkan kekuatan res-publica sendiri, yaitu praktik kewargaan, relasi intersubyektif antarwarga, atau ”hubungan sipil” (civil intercourse) kuat, dengan membangun bahasa pergaulan, norma, aturan main, dan nilai-nilai bersama dalam iklim perbedaan.

Kekuatan masyarakat demokratis bukan pada kebaikan bersama, melainkan pada ”ikatan bersama” (common bond), yang memungkinkan individu atau kelompok yang berbeda bertarung secara sehat, dengan saling menghargai eksistensi masing-masing, meskipun ”berseteru” dalam ideologi politik. Res-publica, dengan demikian, adalah artikulasi ”kepentingan bersama”, yaitu memberikan ruang untuk segala kepentingan, tujuan, keinginan, dan keyakinan, tetapi dalam bingkai saling menghargai eksistensi.

Akan tetapi, karena demokrasi telah menjelma menjadi ”demokrasi oligarkis” dan ruang politik menjadi ”industri politik”, ”ikatan bersama” dan ”nilai bersama” itu kini tumbuh dalam wajah buruk, yaitu wajah ”apolitis”. Ikatan dan nilai bersama intersubyektif itu dibangun bukan untuk motif kebaikan bersama, melainkan lingkaran setan kekayaan-kekuasaan. Di dalamnya, kebaikan bersama dimanipulasi jadi ”citra kebaikan bersama”, untuk menutupi ”keburukan bersama”.

Dalam alam demokrasi oligarkis, para oligarch menggusur statesman, imagocraft menggantikan statecraft, res-oeconomicus meminggirkan res-publica. Ruang politik menjelma ruang window display politik karena yang ditampilkan di ruang publik adalah ”barang pajangan” politik, yang dikemas melalui strategi komunikasi, informasi, dan pencitraan abad informasi yang canggih, memukau, memesona, sekaligus menipu.

Akan tetapi, di balik etalase politik yang tampak memesona—dengan barang pajangan politik yang tampak menarik—disembunyikan segala keburukan, kelemahan, bahkan kejahatan politik (korupsi, manipulasi, mafioso). Dominasi motif kekuasaan plus kekayaan ketimbang motif menggali keutamaan publik, alih-alih mampu menciptakan ”kebaikan umum”, di dalam demokrasi oligarkis hanya menyisakan ”keburukan umum”. Keburukan umum itu kini yang menjadi ”keutamaan publik” kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar