Kamis, 01 Desember 2011

Naratologi Kekuasaan


Naratologi Kekuasaan
Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD-ITB 
Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011


Tulisan ini diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya, Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua, narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya: soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.

Dalam film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.

Bagi para gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa berjalan biasa-biasa saja.

Sementara itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang didefinisikan pemerintah sebagai ”yang kredibel” ke rumah pribadi SBY di Cikeas.

Kedua, pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.

Keempat adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua, kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.

Pada adegan ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.

”Mal” Tanpa Jendela

Kecuali keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi ”gawat darurat”. Ini berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya sama-sama berada di dalam sebuah ”studio narasi” sehingga terpisah dari realitas.

Jika narasi gangster merupakan ”realitas baru” yang dilahirkan sebagai representasi dari realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam ”mal” tanpa jendela, tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.

Seperti dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena ”kekacauan di dalam” akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada keputusan: ada yang harus ”diselamatkan” di satu sisi dan ”dicelakakan” di sisi lain.

Sebagai penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga dengan begitu kita bisa menerima—paling tidak untuk sementara—perasionalan itu.

Kita memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah, dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.

Hal ini lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik) adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.

Ketika kursi kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan) menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas prestasi yang ”dibendakan”. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada dirinya adalah untuk dirinya yang ”dianggap mumpuni” itu.

Kekuasaan telah menariknya dari ”realitas comberan”, khalayak yang tak berprestasi. Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.

Naratologi Gangster

Padahal, kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai ”jembatan” yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka, kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan kepentingan khalayak.

Dalam konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.

Itu berarti, ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan ”bertanya kepada khalayak”. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi ”jembatan”.

Jika lulus hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan, barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.

Situasi itu tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya. Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi gangster. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar