LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Rakyat
Tak Terlindungi
Sumber : KOMPAS, 14 Desember
2011
Menjadi manusia Indonesia memang tidaklah
mudah. Hingga menjelang 67 tahun Indonesia merdeka, hak seluruh rakyat untuk
hidup sehat masih sulit diwujudkan.
Proses pembangunan yang berfokus ekonomi dan
abai dengan imbasnya bagi kesehatan masyarakat membuat penyakit serta persoalan
kesehatan yang dihadapi rakyat makin kompleks.
Kematian ibu saat melahirkan masih menjadi
momok besar. Hingga 2010, jumlah kematian ibu melahirkan masih mencapai 214 per
100.000 kelahiran hidup. Ini menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara
Asia dengan angka kematian ibu tertinggi. Target menurunkan angka kematian ibu
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015—sesuai target Tujuan
Pembangunan Milenium—sulit tercapai.
Jumlah kematian anak usia balita lebih mudah
ditekan. Pada 2007, terdapat 44 anak balita meninggal tiap 1.000 kelahiran
hidup. Jumlah ini diharapkan bisa menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada
2015.
Meski demikian, lolos dari kematian bukan
berarti masalah yang dihadapi bayi dan anak balita tuntas. Gizi buruk
menghadang bayi-bayi tak berdosa akibat kemiskinan orangtua. Riset Kesehatan
Dasar 2010 menyebutkan, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen, sedangkan
prevalensi gizi kurang mencapai 13 persen.
Penderita kurang gizi (gizi buruk dan gizi
kurang) bisa saja bertahan hingga dewasa. Namun, jangan harapkan mereka akan
bisa bersaing dalam Pasar Bebas ASEAN 2015. Pertumbuhan otak manusia mencapai
80 persen saat berusia 2 tahun dan mencapai 95 persen saat berumur 6 tahun.
”Gangguan kecerdasan akibat kurang gizi
berdampak seumur hidup,” ucap Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Rumah
Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Ahmad Suryawan (Kompas, 10/11).
Kemiskinan juga membuat anak-anak kurang
pangan hewani hingga tubuh mereka pendek dan daya tahan mereka lemah. Pada saat
bersamaan, mereka yang mampu membelikan bahan pangan ”bermutu” bagi anak lebih
banyak memberikan lemak dan karbohidrat.
Kegemukan pun mengancam. Kondisi itu
diperparah dengan pola asuh yang salah, sempitnya ruang terbuka, hingga proses
pendidikan yang lebih banyak menekankan pada kecerdasan intelektual sehingga
membuat anak-anak kurang beraktivitas fisik.
Infeksi Lama dan Baru
Saat anak-anak tumbuh remaja dan menjadi
manusia dewasa, mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang tak ramah.
Berbagai penyakit infeksi lama mengintai mereka, mulai malaria, tuberkulosis,
hingga demam berdarah. Belum tuntas persoalan itu ditangani, bebagai penyakit
infeksi baru yang lebih menyeramkan, seperti HIV/ AIDS, flu burung, flu babi,
hingga sindrom pernapasan akut parah (SARS), menghadang.
Walau penyakit infeksi masih menjadi ancaman,
ternyata penyakit tidak menular kini justru menjadi penyebab kematian terbesar
di Indonesia. Jantung, stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru
obstruktif kronis, yang dahulu banyak menyerang kelompok lanjut usia, kini
semakin banyak diderita orang muda yang masih produktif.
Jika penyebaran penyakit infeksi sangat
ditentukan oleh kondisi geografis, seperti perkotaan atau pedesaan, penyakit
tidak menular tidak mengenal perbedaan wilayah. Masyarakat kota dan desa
menghadapi ancaman yang sama.
Selain banyak menyebabkan kematian, proses
penyembuhan penyakit tak menular membutuhkan waktu lama. Biaya yang dibutuhkan
untuk penyembuhan juga tidak murah. Ini belum lagi beban ekonomi yang harus
ditanggung keluarga akibat hilangnya sumber pendapatan utama keluarga. Terlebih
lagi, sejumlah penyakit tidak menular bisa menimbulkan cacat permanen bagi
penderitanya.
”Penyakit tidak menular berdampak negatif
pada ekonomi dan produktivitas bangsa,” kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu
Sedyaningsih.
Jatuh Miskin
Menjadi orang sakit juga bukan perkara mudah.
Belum terwujudnya sistem jaminan menyeluruh dan mahalnya biaya pengobatan
membuat banyak orang tiba-tiba jatuh miskin saat sakit. Adapun mereka yang
miskin harus bergulat memperebutkan Jaminan Kesehatan Masyarakat yang terbatas.
Hanya mereka yang berduit besarlah yang bisa mendapatkan layanan istimewa
meskipun kualitas layanannya belum tentu istimewa.
Terbatasnya jumlah dan rasio tenaga kesehatan
terhadap pasien membuat kualitas layanan yang diberikan kurang optimal. Beban
berat yang harus ditanggung tenaga kesehatan sering kali membuat diagnosis
penyakit dan pengobatan yang dilakukan kurang sesuai.
Masalah kesehatan memang tidak hanya dipicu
oleh persoalan-persoalan dari bidang kesehatan semata. Kemiskinan, buruknya
transportasi, pembangunan tidak merata, ketidakjelasan peta jalan penyiapan dan
rekrutmen tenaga kesehatan, hingga pembangunan yang tidak berpihak pada
kebijakan kesehatan membuat sektor kesehatan harus menanggung beban berat.
Anggaran kesehatan masih terbatas. Anggaran
Kementerian Kesehatan pada APBN Perubahan 2011 hanya mencapai Rp 29,45 triliun
atau 2,23 persen dari nilai APBN total. Ini bertentangan dengan Pasal 171
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa
anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.
Bandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak
(BBM) yang pada APBN Perubahan 2011 mencapai Rp 129,7 triliun atau 440 persen
anggaran kesehatan. Padahal, imbas subsidi BBM akan sangat memengaruhi kondisi
kesehatan masyarakat, mulai meningkatnya polusi udara, tingginya angka
kecelakaan lalu lintas, semakin banyaknya penyakit-penyakit degeneratif yang
muncul, hingga berbagai persoalan kejiwaan.
”Anggaran kesehatan yang kecil hanya pantas
untuk negara miskin,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Hasbullah Thabrany (Kompas, 16/11).
Jika kesehatan masih dianggap sebagai
investasi sumber daya manusia bangsa, sudah selayaknya pemerintah dan DPR
memberi perhatian lebih pada sektor kesehatan. Investasi ini memang tidak akan
tampak hasilnya dalam lima tahun mendatang, sesuai dengan periode kepemimpinan
politik.
Namun, investasi ini menjadi modal untuk
menciptakan generasi penerus bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa
lain. ● (M Zaid Wahyudi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar