Rabu, 14 Desember 2011

Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia


LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Beratnya Tingkatkan Kualitas Manusia Indonesia
Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011


Di manakah posisi presiden, sebagian besar menteri, gubernur, dan sebagian kelas menengah Indonesia sekitar 30-40 tahun lalu? Jika melihat biografi tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga kelas menengah bawah dan hidup di tengah suasana pedesaan.

Mengapa mereka bisa menempati posisi yang sekarang? Ini terutama karena faktor pendidikan. Pendidikanlah yang menaikkan status sosial ekonomi mereka, terutama pendidikan tinggi. Meminjam istilah Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan, pendidikan menjadi ”eskalator sosial”.

Melalui pendidikan, wawasan mereka terbuka, pengetahuan bertambah, dan pergaulan semakin luas. Dampak ikutannya, kualitas manusia semakin meningkat dan status sosial ekonomi mereka naik.

Namun, keluhan yang sering terdengar di masyarakat adalah sulitnya mendapatkan akses pendidikan bermutu. Semakin tinggi jenjang pendidikan, akses pendidikan semakin sulit, daya tampung terbatas, dan biaya semakin mahal.

Memang, jika melihat paparan persentase pencapaian bidang pendidikan, kelihatannya sangat menakjubkan. Angka Partisipasi Murni (APM) SD sederajat mencapai 95,3 persen. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sederajat 98,3 persen, APK SMA 70,3 persen, dan APK perguruan tinggi 23,9 persen.

Karena jumlah penduduk Indonesia sedemikian besar, sekitar 240 juta jiwa, persentase yang kecil menjadi besar jika diwujudkan dalam angka. Jumlah siswa SD, misalnya, sangat bagus, mencapai sekitar 31,05 juta jiwa. Angka putus sekolah pun hanya sekitar 1,5 persen.

”Namun, karena jumlah penduduk yang besar, angka putus sekolah 1,5 persen ini sekitar 500.000 siswa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Angka-angka lainnya bisa membuat miris karena lulusan SMP hanya 12,9 juta orang serta lulusan SMA/MA dan SMK hanya sekitar 9,1 juta orang. Artinya, jika dibandingkan dengan lulusan SD yang mencapai 31,05 juta orang, sekitar 20 juta anak tidak melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA.

”Jumlah 20 juta jiwa ini sangat besar,” kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.

Bukan sekadar besar, tetapi jumlah 20 juta orang yang hanya bisa mengenyam bangku SD ini akan menjadi beban sosial pada masa depan. Rendahnya kualitas pendidikan juga akan sangat memengaruhi kualitas manusia Indonesia pada masa depan.

Padahal, dari sisi Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2011 bidang pendidikan, manusia Indonesia tergolong rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara. Di Asia Pasifik, Indonesia di urutan ke-12 dari 21 negara.

Adapun IPM Indonesia 2011 sebesar 0,617 dan menempati peringkat ke-124 dari 189 negara. Artinya, IPM Indonesia selama 31 tahun naik meskipun tidak signifikan dan tetap berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, serta Filipina.

”Kesenjangan pembangunan antardaerah membuat rata-rata kualitas manusia Indonesia rendah” kata Kepala Perwakilan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia El Mostafa Benlamlih di Jakarta.

”Manipulasi Konstitusi”

Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan, sebenarnya sudah dialokasikan anggaran yang cukup memadai. Bahkan, anggaran pendidikan ”dikunci” dalam konstitusi, minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Otomatis, seiring dengan naiknya APBN, anggaran pendidikan juga meningkat setiap tahun.

Jika tahun 2009 anggaran pendidikan Rp 208 triliun, tahun 2010 naik menjadi Rp 225,2 triliun, tahun 2011 menjadi Rp 248,9 triliun, dan tahun 2012 menjadi sekitar Rp 281,4 triliun.

Kelihatannya anggaran ini besar. Namun, kenyataannya, terjadi semacam ”manipulasi konstitusi” karena anggaran ini harus dibagi dengan 16 kementerian lain yang mengemban ”fungsi pendidikan”. Akibatnya, anggaran yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya sekitar Rp 78 triliun dan Kementerian Agama yang menaungi sejumlah madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan sekitar Rp 30 triliun.

Dengan anggaran yang terbatas, memang tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan yang sangat beragam. Di bidang pendidikan, misalnya, masih terdapat persoalan banyaknya murid yang tidak mampu secara ekonomi, banyaknya sekolah rusak, serta kesenjangan kualitas pendidikan Jawa dan luar Jawa.

Di bidang kesehatan, anggaran yang tersedia juga sangat terbatas, dalam APBN Perubahan 2011 hanya Rp 29,45 triliun atau 2,23 persen dari total APBN. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah pusat minimal 5 persen dari APBN di luar gaji.

Anggaran yang terbatas menjadikan sangat berat menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti angka kematian ibu melahirkan yang tahun 2010 masih 214 per 100.000 kelahiran hidup serta jumlah kematian anak usia balita yang pada 2007 tercatat 44 anak usia balita meninggal tiap 1.000 kelahiran hidup.

Persoalan sosial pun masih menghadang. Sebagai contoh, prevalensi gizi buruk mencapai 4,9 persen dan gizi kurang mencapai 13 persen.

Berbagai persoalan ini, mulai kondisi sosial ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan, menjadi tantangan berat untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. (LUK/THY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar