Rabu, 14 Desember 2011

Degradasi Hutan

LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Degradasi Hutan
Sumber : KOMPAS, 14 Desember 2011


Kebutuhan terhadap logam, bahan bakar, dan perkebunan menjadi penyebab mengapa hutan-hutan konservasi ataupun hutan lindung terus-menerus terdegradasi.

Ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup dibongkar. Buntutnya, manusia menuai bumerang yang dilemparnya, mulai bencana tanah longsor, banjir, hingga kekeringan melanda sejumlah daerah di Indonesia. Sejatinya, hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, atau suaka margasatwa, didesain untuk melindungi kekayaan hayati bumi. Tak kalah penting, hutan terlindungi itu berfungsi sebagai daerah serapan air dan penyeimbang segala aktivitas manusia yang cenderung merusak lingkungan.

Seiring dengan pertumbuhan manusia, aktivitas eksploitasi alam, kekayaan mineral, dan perkebunan di Indonesia beberapa waktu terakhir mulai melirik kawasan konservasi. Besar kemungkinan, area yang membutuhkan izin berlapis untuk diturunkan statusnya menjadi hutan lindung ini kini jadi daerah tersisa yang masih memiliki kandungan bahan tambang tinggi. Hal ini membuat seakan-akan semua perusahaan dan pemerintah daerah membabi-buta mengeksplorasi hutan konservasi.

Indikasi seperti ini terjadi di berbagai daerah Indonesia. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan, sedikitnya 3 juta hektar hutan konservasi ataupun yang telah diturunkan statusnya menjadi hutan lindung sedang dan akan berubah fungsi menjadi areal pertambangan. Perusakan hutan masih bakal terus berlangsung dan kawasan konservasi akan semakin menyusut.

Ini didasarkan pada masih ditempatkannya sektor pertambangan sebagai sumber utama dalam pembangunan ekonomi—bersama infrastruktur dan transportasi—yang bisa menggunakan areal hutan seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Diincar Pertambangan

Eksploitasi bahan tambang memang dipastikan sebagai sumber mudah dalam meraih pendapatan negara. Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pun semakin mempermudah dan memuluskan langkah untuk mengesahkan penggunaan hutan untuk pertambangan.

Pada tahun 2011 ini, pemerintah ditaksir mendapatkan pendapatan bukan pajak dari pertambangan sebesar Rp 15,2 triliun. Hanya yang perlu diingat, hal ini adalah pencapaian jangka pendek. Setelah bahan tambang habis dikeruk dari perut bumi, tidak ada sisa yang didapat generasi mendatang. Dengan beroperasinya pertambangan, kerugian terus terjadi dan dialami warga setempat. Hilangnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya mata air yang membuat warga kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari jadi tak terhitung. Ini belum lagi kerugian akibat bencana tanah longsor dan banjir.

Salah satu contoh nyata adalah alih fungsi kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi kawasan pertambangan yang membuat cemas warga Desa Sogitia, Bone Bolango, Gorontalo (Kompas, 7/12/2011).

Dirambah Perkebunan

Di sektor perkebunan, ancaman malah lebih besar. Meski penggunaan hutan untuk perkebunan membutuhkan izin pelepasan (tidak seperti pertambangan yang ”hanya” izin pinjam pakai), kerusakan yang disebabkan malah masif. Kementerian Kehutanan mencatat, lebih dari 460.000 hektar hutan konservasi berubah menjadi perkebunan sawit. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Kementerian Kehutanan 2011 mencontohkan, terdapat izin tak prosedural di Kalimantan Tengah yang mencapai 285 izin usaha perkebunan dengan luas sekitar 3,8 juta hektar.

Perkebunan kelapa sawit, yang mulai dikembangkan di Indonesia tahun 1960-an, kini semakin luas. Tahun 2007 hingga 2010, luasan bertambah dari 6,7 juta hektar menjadi 8 juta hektar. Luasnya hampir 4 persen dari total daratan Indonesia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat, luasan sekitar 8 juta hektar ini menghasilkan 21,9 juta ton minyak sawit (hanya 5 juta ton yang dikonsumsi di dalam negeri dan sisanya ekspor) atau rata-rata 2,7 ton minyak sawit per hektar. Produktivitas ini masih kurang dibandingkan dengan kemampuan negara tetangga, Malaysia, yang mencapai 3,5 ton minyak sawit per hektar.

Mengapa usaha perkebunan sawit di Indonesia terus berupaya mengekspansi hutan? Mengapa tidak meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya?

Sejak Mei 2010 hingga 2012, melalui kebijakan moratorium, pemerintah berjanji tidak akan menerbitkan izin baru di kawasan hutan ataupun gambut. Ini dituangkan dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru.

Akan tetapi, dalam revisinya yang baru diluncurkan pada 9 Desember 2011, areal hutan gambut berkurang 3,6 juta hektar dengan alasan itu hasil pengecekan lapangan, pengeplotan baru melalui citra satelit, dan penyesuaian dengan tata ruang daerah.
Ini menunjukkan pemberian izin atau alih fungsi kawasan akan tetap terjadi. Daerah-daerah yang didorong meningkatkan pendapatan asli daerah serta mengejar biaya politiknya masih akan terus berlomba menurunkan status hutan konservasi dan hutan lindungnya. Namun, keputusan diizinkan atau tidak tetap berada di tangan Menteri Kehutanan.
(ICHWAN SUSANTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar