Stop
Impor Ikan
Yonvitner, DOSEN MSP-FPIK DAN PENELITI SENIOR PKSPL-IPB
Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
Gonjang-ganjing
persoalan impor ikan kembali mencuat. Hal ini menunjukkan tidak ada peta jalan
yang jelas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membangun sektor
perikanan dan kelautan, terutama perikanan tangkap.
Kebijakan
ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah tak mengutamakan pengentasan
nelayan miskin. Menurut Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, jumlah nelayan miskin mencapai 60 persen dari total 4 juta rumah
tangga perikanan. Jumlah ini dapat meningkat seiring dengan kenaikan harga
solar dan tarif dasar listrik yang berdampak signifikan pada biaya operasional
nelayan.
Walau
dijelaskan bahwa impor untuk menopang industri hilir perikanan, terutama
pengolahan perikanan—pindang, asin, dan asap—yang memegang kendali dan
menikmati proses impor adalah pengusaha besar, bukan pengusaha usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM), pada kenyataannya ikan impor sering membanjiri
pasar lokal. Hal ini berdampak hilangnya pekerjaan nelayan kecil yang terdiri
dari nelayan penangkap, pengumpul, dan pengecer. Inilah yang dapat menambah
angka kemiskinan nelayan.
Kalau
ditelaah lebih jauh, kebutuhan impor ikan muncul karena ada persoalan
keterbatasan bahan baku industri pengolahan. Berdasarkan data Kementerian
Kelautan dan Perikanan, tahun 2011, jumlah total unit pengolahan mencapai
60.117 unit. Pada 1.824 unit pengolahan ikan, proses produksinya sangat
bergantung pada musim penangkapan.
Bahan
Baku
Terkait
kebutuhan bahan baku ini ada dua pendekatan dari tiga kemungkinan yang bisa
dikaji pemerintah. Pendekatan pertama adalah pendekatan berbasis unit
pengolahan ikan. Menurut pengertian ini, kebutuhan bahan baku adalah bagian
jumlah produksi yang aktif selama sehari (production line), jumlah ulangan
produksi dalam satu operasi pengolahan (batch), kapasitas bahan baku, dan
frekuensi tahunan dari unit pengolahan.
Selanjutnya
adalah evaluasi terhadap UMKM. Untuk kelompok pindang, tingkat kebutuhan bahan
baku per tahun hanya mencapai 0,7 juta ton, ikan asin 2,4 juta ton per tahun,
ikan asap 0,7 juta ton, dan kelompok UMKM lainnya mencapai 0,5 juta ton per
tahun. Secara keseluruhan, kebutuhan bahan baku hanya 4,3 juta ton per tahun.
Kelompok UMKM yang dimaksud di sini adalah usaha pengolahan dengan kapasitas
produksi mencapai 3 ton per hari.
Pendekatan
kedua adalah dari kepemilikan aset dan omzet. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha yang memiliki aset Rp 50 juta-Rp 10 miliar dan
omzet dari Rp 300 juta sampai Rp 50 miliar per tahun. Dari pendekatan ini
sebenarnya tingkat kebutuhan bahan baku dapat dievaluasi dari jumlah penjualan
dalam satu tahun, harga produk olahan ikan, dan tingkat rendemen dari setiap
jenis ikan olahan dalam suatu unit pengolahan.
Dengan
pendekatan tingkat rendemen rata-rata pindang 75 persen, asin 62,5 persen (KKP,
2011), dan asap 33 persen (Hidayati, 2006), total kebutuhan bahan baku mencapai
5,8 juta ton per tahun. Akan tetapi, jika kelompok usaha pengolahan dengan
omzet di atas Rp 5 miliar masuk industri besar, kebutuhan bahan baku untuk
usaha mikro kecil hanya 3,1 juta ton.
Jika
dibandingkan dengan data potensi perikanan pelagis yang kita miliki, yaitu ikan
pelagis besar 1,14 juta ton per tahun dan pelagis kecil 3,64 juta ton per
tahun, kebutuhan industri pengolahan saat ini masih tercukupi dari stok yang
ada. Dengan skenario terbesar bahwa setiap unit pengolahan berproduksi selama
setahun, kebutuhan 4,3 juta ton dapat tercukupi oleh ikan pelagis besar dan
kecil serta masih ada surplus sekitar 0,48 juta ton per tahun.
Namun,
jumlah kebutuhan bahan baku ini akan membengkak jika industri besar (dengan
omzet Rp 5 miliar) diperhitungkan. Kita akan mengalami defisit stok 1,1 juta
ton dari stok ikan pelagis karena kebutuhan bahan baku industri olahan dengan
omzet di atas Rp 5 miliar akan mencapai 1,1 juta ton per tahun.
Strategi
ke Depan
Agar
tak mengimpor ikan, setidaknya ada dua langkah strategis yang dapat dilakukan.
Pertama, mengendalikan praktik penangkapan liar (illegal fishing) di Laut
Natuna dan Laut Arafura. Jika diperkirakan kebocoran stok kita akibat
penangkapan liar mencapai 1,6 juta ton per tahun, jumlah ini setara dengan
potensi ikan pelagis di tiga wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Natuna,
Arafura, dan Selat Makassar, yang mencapai 1,695 juta ton. Dengan demikian,
kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi dari stok di wilayah ini.
Kedua,
melalui modernisasi dan rasionalisasi usaha penangkapan dan pengolahan.
Kegiatan penangkapan dan pengolahan harus dikembangkan sesuai daya dukung
perikanan dan daya dukung produksi. Melalui kedua langkah di atas, pengelolaan
produksi perikanan dapat berlangsung tanpa impor ikan dan menyejahterakan
nelayan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar