Rabu, 07 Desember 2011

Manusia Indonesia Maritim

Manusia Indonesia Maritim
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011


Dalam acara bincang-bincang di stasiun televisi beberapa tahun lalu, saya bertanya kepada beberapa mahasiswa unggulan dari akademi pelayaran di Jakarta Utara. ”Apa yang dimaksud dengan budaya kelautan atau maritim?”

Tiga mahasiswa yang gagah ternyata hanya menggeleng. Kepala sekolah yang juga datang sebagai narasumber kemudian menjelaskan, budaya kelautan adalah semacam cara hidup para pelaut yang terpaksa tinggal berhari-hari atau berbulan-bulan di atas kapal yang berlayar.

Saya tercenung. Saya mencoba mengenang ide dan visi presiden pertama kita, Ir Soekarno, saat ia menggagas sekolah para calon pelaut Indonesia itu. Tentu saja, jawaban kepala sekolah di atas tidak termasuk di dalamnya.

Visi awal sekolah itu jauh lebih lapang dalam ruang dan waktu. Seorang pelaut semestinya memiliki kepekaan dan pemahaman ruang yang lebih kuat dan luas ketimbang mereka yang hidup sebagai ”manusia daratan”.

Visi dan kepekaan semacam ini sangatlah penting untuk kita, manusia Indonesia, terutama untuk memahami kenyataan kita sebagai insan, kelompok, masyarakat, bahkan juga bangsa.
Indonesia adalah miniatur terbaik bagi kodrat Bumi karena keduanya memiliki wilayah sama, yaitu dua pertiga diisi air. Maka, secara natural, sesungguhnya manusia Bumi (juga Indonesia) memiliki kodrat sebagai manusia maritim: manusia yang mengacu keberadaan dirinya secara eksistensial, memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis, pada tata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir.

Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan politiknya dalam sebuah kota pantai atau bandar. Di kota-kota bandar ini, manusia maritim Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah dan pengasuhan bandar: menjadi masyarakat hibrid (melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif.

Semua itu—sebagai hasil pembudayaan dan pemberadaban—berlangsung sangat lama karena ditransmisikan lewat cara-cara yang juga alamiah, antara lain tuturan (seni/sastra lisan), praktik, dan teladan.

Adab Daratan

Paparan di atas adalah untuk menegaskan kembali bahwa cara berpikir, pendekatan, hingga pola hidup kita yang keliru sebagai manusia, kelompok, atau bangsa selama ini, yakni pola hidup yang memaksakan satu pendekatan yang berpotensi konflik. Mengapa?

Pola hidup di atas selain mengingkari kodrat maritim juga menggunakan warisan adab dan budaya daratan. Sebagai adab, budaya daratan juga dipengaruhi kondisi geografis dan geologis di mana manusia harus ada karena perlawanan dan penguasaan terhadap sekitar (manusia, binatang, dan lingkungan). Tidaklah mengherankan jika adab daratan sejak awal Masehi dipenuhi konflik, bahkan perang yang sangat kejam.

Dalam peradaban besar yang tersusun selama 1,5 milenium dan terutama 2,5 abad terakhir inilah kita menyaksikan bagaimana dunia: manusia dan kebudayaannya, tercabik-cabik oleh perilaku yang menghamba pada kekuasaan. Sejarah di Jazirah Arab, misalnya, selalu penuh dengan perang dan darah. Konflik dan kekerasan memang menjadi ruh pembentukan bangsa dan negara di wilayah itu.

Sejarah tentu saja bukan hanya milik bangsa Arab. Sejumlah bangsa dan peradaban daratan lainnya: Mesir, India, China, Persia, hingga Eropa, juga memiliki cerita yang hampir sama hingga hari ini.

Maka sesungguhnya beruntunglah kita, manusia dan bangsa Indonesia, yang memiliki adab dan budaya maritim. Ia memiliki pendekatan dan cara hidup yang berbeda dalam mengelola diri sendiri, bersosialisasi, berpolitik, bernegara, dan berdiplomasi internal maupun eksternal.

Begitu pula seharusnya cara kita menghadapi berbagai persoalan di dalam negeri, khususnya pada beberapa isu kritis belakangan ini seperti korupsi, konflik lokal, otonomi daerah, hingga penyelenggaraan demokrasi. Harus diakui saat ini kita lebih menggunakan pendekatan yang lebih dipengaruhi adab daratan: konfliktif, dominatif, dan materialistik. Negara selalu berposisi sebagai pemerintah (dalam arti memberikan perintah yang wajib diikuti), pemecah masalah, pelaksana dan penanggung jawab utama dan pertama, serta lebih khusus lagi: harus jadi pemenang.

Berlangsung di Indonesia

Demikianlah cara-cara penyelesaian daratan dalam menangani berbagai persoalan mutakhir kita: terorisme, demonstrasi, kepala daerah yang membangkang, bahkan juga pembangunan ekonomi. Hal itu membuat kita terjebak dalam siklus konflik dan kekerasan tanpa putus. Pemerintah selalu berhadapan secara diametral dengan pihak lain, bahkan rakyatnya sendiri, yang diposisikan sebagai lawan yang harus ditundukkan.

Kasus Papua, misalnya, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan. Korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks.

Padahal, dalam adab dan kultur maritim, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan dengan sekadar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.

Berapa pun banyaknya fasilitas dan uang digelontorkan, masalah Papua tidak akan usai. Sesungguhnya rakyat Papua mempermasalahkan soal kultural yang membutuhkan pemahaman komprehensif multidisiplin. Ini berawal dari kekecewaan saudara Papua kita yang melihat penanganan masalah mereka selama ini oleh pemerintah justru semakin menihilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keberadaan mereka sebagai (suku) bangsa, warga sebuah negara.

Seperti suku-suku bangsa lain di Nusantara Maritim, orang Papua akan marah jika disuapi fasilitas tetapi dihina diri dan adatnya. Namun, sebagaimana juga pola pergaulan maritim, orang yang datang sebagai tamu akan mereka perlakukan dengan hormat dan sejajar. Itu pula yang mereka harapkan: diperlakukan sejajar seperti suku-suku Nusantara lainnya.

Maka, hanya dalam kesejajaran itu penyelesaian komprehensif dapat ditemukan. Secara simbolik, hal ini bisa dilakukan oleh seorang pemimpin (menteri, lebih bagus lagi presiden atau wakilnya) dengan datang ke Papua untuk berkunjung, menjadi tamu seorang kepala suku, tanpa representasi ratusan personel Paspampres dan senjata otomatis yang mengerikan. Itulah jalan kultural adab maritim.

Inilah jati diri kita sesungguhnya yang memiliki keunggulan akulturasi dinamik, yang pada akhirnya mengekalkan Indonesia sebagai bangsa maupun negara. Sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh ”rayuan pulau kelapa” ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar