Jumat, 16 Desember 2011

Mempermalukan Koruptor

Mempermalukan Koruptor
Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH)     
Sumber : SINDO, 16 Desember 2011




Korupsi di negeri ini begitu centang-perenang. Bayangkan, hampir semua urusan yang memerlukan pelayanan dari pemerintah bisa dipercepat asalkan ada uang “pelicin”.

Tak aneh jika dikarenakan “tradisi” itu muncul pelesetan “SUMUT” yang artinya “semua urusan mesti uang tunai”. Jika tersandung perkara,“kasih uang habis perkara”(KUHP). Di kalangan elite politik (wakil rakyat) dan pemerintah juga berlaku praktik “kasih uang dapat uang”. Artinya, kalau (pemerintah) ingin agar anggaran untuk sebuah proyek segera cair, setorlah uang (kepada wakil rakyat) terlebih dulu.

Dijamin, kalau setorannya pas,dana pun mengucur.Itu sebabnya banyak wakil rakyat yang berkeberatan dengan wacana pembubaran Badan Anggaran di lembaga legislatif. Alasannya jelas: itu “proyek” mereka. Inilah Indonesia. Benar, hampir dalam semua urusan mesti ada uang tunainya. Untuk memarkir kendaraan, misalnya, hampir-hampir tak ada lahan publik yang bebas dari petugas parkir, baik yang berseragam resmi maupun tidak.

Tapi keduanya sama saja: sama-sama tidak memberikan karcis parkir meski kita sudah membayar ongkos parkir. Berikut ini saya kutipkan beberapa berita aktual. Pertama, 17 Oktober lalu, Bupati (nonaktif) Lampung Timur Satono divonis bebas dari dakwaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp119 miliar.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang,Bandar Lampung, menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan seluruh pasal yang didakwakan secara berlapis. Padahal,jaksa menuntut 12 tahun penjara.Hanya selisih dua hari, 19 Oktober, giliran mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna Jaya divonis bebas dari tuntutan 10 tahun penjara dalam perkara korupsi APBD senilai Rp28 miliar.

Beberapa hari sebelum itu, ada juga terdakwa korupsi yang dibebaskan. Mochtar Muhammad,Wali Kota Bekasi (nonaktif), dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Mochtar dituntut 12 tahun penjara dan denda subsider enam bulan oleh jaksa KPK karena didakwa melakukan empat perkara. Bayangkan, ketiga pejabat yang didakwa korup dan dituntut hukuman minimal 10 tahun penjara itu bebas.

Tidakkah ini merupakan indikator bahwa pemberantasan korupsi di Tanah Air menapaki jalan terjal? Sudah sanksi hukum bagi para koruptor lemah, komisi antikorupsi (KPK) pun terusmenerus dilemahkan oleh berbagai pihak. Tak pelak, bersoraklah para pelaku kejahatan luar biasa itu karena Indonesia masih merupakan surga bagi mereka.

Maka, jangan heran kalau hasil survei KPK barubaru ini menyebutkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Ironis! Para birokrat yang pekerjaan sehariharinya mengurusi agama justru paling rakus mencuri uang negara.

Mempermalukan

Atas dasar itulah upayaupaya memerangi korupsi dari segala sisi patut didukung pelbagai pihak dan kalangan.Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus pemberian remisi bagi para koruptor, misalnya, jelas harus didukung.Tak penting benar apakah kebijakan itu disebut “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan itu: demi semakin menggentarkan para koruptor (maupun calon koruptor) agar tak mudah melaksanakan niat busuknya.

Kita harus menyadari bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan luar biasa. Karena itulah kita harus memeranginya dengan cara-cara yang luar biasa pula. Maka ide yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD baru-baru ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan antikorupsi berikutnya. Menurut Mahfud, para koruptor layak ditempatkan di kebun khusus yang didirikan di sebelah kebun binatang.”Saya putus asa (menghadapi koruptor).

Saya punya ide gila. Buat saja kebun koruptor di samping kebun binatang. Kalau Bambang Widjojanto terpilih (sebagai ketua KPK),saya mau mengusulkan itu,” ujar Mahfud beberapa waktu lalu. Kini Bambang Widjojanto telah terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK.Meskipun Bambang tidak menjadi ketua komisi antikorupsi itu, kiranya Mahfud tetap bersemangat memperjuangkan ide gilanya itu menjadi kenyataan.

Meski ide tersebut,menurut Mahfud, terkesan main-main, kita berharap kelak dapat menjadi terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sungguh kita tak dapat membayangkan apa jadinya bangsa ini ke depan jika tumor korupsi bukannya menjinak, tetapi justru mengganas. Mungkin selama ini negara memang salah bersikap terhadap koruptor.

Bayangkan,selain memberi “hadiah”berupa diskon masa tahanan setiap tahunnya, negara pun pernah memberi “anugerah” berupa pengampunan kepada seorang koruptor karena alasan sakit parah. Setelah bebas, si koruptor langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektare yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.

Ternyata ia masih kaya-raya.Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau begitu mampukah praktik korupsi diperangi secara signifikan? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata, “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tak layak dihormati.

Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect.” (Tempo, 16/9/2007).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar