Jumat, 16 Desember 2011

RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik

RUU Konflik yang Mendatangkan Konflik
Yesmil Anwar, DOSEN HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN (UNPAD) DAN
UNIVERSITAS PASUNDAN (UNPAS), BANDUNG
Sumber : SINDO, 16 Desember 2011



Konflik merupakan hal yang lumrah dalam hidup bermasyarakat karena konflik merupakan bagian dari keberadaan individu yang berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Hal tersebut disebabkan heterogenitas eksistensi individu yang melahirkan berbagai kepentingan yang tidak jarang bertabrakan satu sama lain.Bahkan kadang konflik dibutuhkan dalam suatu masyarakat sebagai upaya untuk melakukan perubahan. Yang terpenting adalah memahami konflik dan memanajemeninya dengan tata kelola yang baik, dari hulu sampai ke hilir anatomi konflik.

Atas dasar latar belakang pemikiran di atas, pertamatama penulis ingin mengkritik bakal aturan yang sedang dibahas mengenai konflik ini,yaitu RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Judul RUU ini terkesan kurang memberikan kejelasan substansi yang diaturnya dan tampak sempitnya pemahaman perancang RUU terhadap permasalahan konflik sosial. Dalam RUU ini terlihat bahwa dari segi makna, kata “penanganan” konflik sosial lebih berorientasi pada tindakan yang dilakukan saat konflik terjadi.

Keterbelahan Konsep

Dalam RUU ini pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah pencegahan konflik sosial kurang jelas dan kabur. Selain itu definisi konflik sosial hanya bersifat fisikal. Contohnya sebagaimana tertulis bahwa benturan konflik sosial adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan atau jatuhnya korban jiwa,kerugian harta benda berdampak luas,

dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Padahal konflik sosial dapat bersifat nonkekerasan atau bersifat laten seperti dalam persaingan perdagangan, ekonomi, diskriminasi pendidikan. Itu semua juga bisa berujung pada kekerasan fisik.

Fungsi pengamanan dalam RUU ini akan menimbulkan masalah karena tidak adanya kepastian hukum yang disebabkan konsep pendekatan adat yang sangat dominan.Padahal keberadaan aparat kepolisian sangatlah penting dalam penangan konflik sosial,terutama pada saat terjadinya konflik. Dan di dalam UU kepolisian maupun dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, langkah-langkah pengamanan sudah diatur secara jelas.

Penangan secara adat yang dominan akan menyebabkan tergerusnya kepastian hukum.Mestinya kedua penangan tersebut dapat bersinergi satu sama lain dengan Polri sebagai koordinator di lapangan. Seharusnya sistem peringatan dini yang merupakan tulang punggung dari pengelolaan konflik diatur secara terperinci dan terintegrasi dalam sistem hukum positif.

Banyak UU yang sudah mengatur peringatan dini,di antaranya dalam UU Penanganan Bencana, UU Kepolisian maupun UU Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Namun dalam RUU ini pasal-pasalnya belum mengatur secara jelas substansi sistem peringatan dini.Untuk itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).

Revisi

Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam merevisi RUU ini, di antaranya sebagai berikut. Pertama,RUU ini juga kurang menyentuh masalah ekonomi yang sering menjadi akar masalah konflik sosial dan kecemburuan sosial.Termasuk eksploitasi habis-habisan sumber daya alam suatu wilayah seperti yang terjadi sekarang di Papua (Freeport). Kedua, dalam pengaturan pengamanan, mekanisme resolusi konflik belum diatur secara jelas. Ketiga, pelimpahan penanganan konflik sosial dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah harus diatur secara hati-hati agar tidak ada benturan kepentingan di daerah.

Keempat,RUU ini akan melahirkan suatu bentuk ketidakpastian hukum karena ada kewenangan ganda, yaitu penyelesaian konflik melalui pranata adat dan versi penegak hukum.Kelima,dalam RUU ini tidak diatur dengan jelas mengenai kesebandingan antara besar kecilnya konflik dengan upaya pengamanan yang dilakukan Polri sehingga sulit untuk memprediksi seberapa besar kekuatan Polri boleh digunakan dalam mengendalikan suatu konflik sosial.

RUU penanganan konflik ini hanya berorientasi pada penanganan konflik (conflict manifest), tetapi belum memuat proses pengelolaan konflik (conflict management) secara utuh menyeluruh. Untuk itu revisi benar-benar harus menukik pada beberapa substansi tahap awal terjadinya konflik sosial, yaitu, pertama, di mana mulai tersemai benih-benih masalah. Kedua, semakin sering dan semakin banyak benih-benih tersebut.

Ketiga, tahap pematangan, adanya kelompok yang terorganisasi dalam konflik. Keempat, tahap pemanasan,yaitu coba-coba (testing the water). Kelima, tahap letupan dengan korban-korban fisik dan manusia. RUU Penangan Konflik Sosial ini berkecenderungan hanya mengatur tahap kelima. Oleh sebab itu RUU Penanganan Konflik ini harus dirombak atau ditolak oleh DPR karena jangan sampai nantinya menjadi sebuah UU tentang PenangananKonflikSosialyangmendatangkan konflik sosial.

Kedaulatan Bangsa dan Negara

Dalam RUU ini dicantumkan pula Pasal 53 ayat 3 dan ayat 4 yang melibatkan pihak internasional dalam penanganan konflik di dalam negara RI. Namun, naskah akademiknya justru mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa pihak internasional adalah salah satu faktor yang sering menjadi penyebab konflik sosial di berbagai negara.

Tentunya dalam hal ini harus dianalisis secara mendalam sehingga kedaulatan negara tidak terlukai meskipun tidaklah dapat dimungkiri segi-segi positif dari keberadaan masyarakat internasional dalam penanganan konflik di suatu negara. Kita punya pengalaman tentang hal ini, contohnya di Aceh.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar