Jumat, 16 Desember 2011

Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street


Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street
Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT,
PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI) 
Sumber : SINDO, 16 Desember 2011



Dua abad lalu, saat penduduk belum semiliar jiwa, Thomas Malthus tahun 1798 mengingatkan bahwa bumi tidak akan mampu memberi makan. Per 31 Oktober lalu, bumi telah dihuni 7 miliar jiwa, tapi mereka masih bisa makan.

Sepertinya dugaan Malthus meleset sehingga pendeta dan matematikawan itu jadi olok-olok.Apakah ”batas Malthus” dibuang ke tempat sampah? Sudut pandang Malthus tidak berbeda dari pandangan Adam Smith di jilid pertama The Wealth of Nations. “Tidak seorang pun yang berakal sehat meragukan jumlah penduduk harus berada dalam batasansumberdaya.

Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga sangat terbatas,”kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School of Economics, Inggris. Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025 diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa hidup hingga usia 46–48 tahun.

Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air? Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif, salinitas mencemari sawah,lahan rusak, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?

Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Untuk bisa memberi makan 9,5 juta miliar pada 2050,dunia harus meningkatkan produksi pangan sebesar 70% (FAO, 2011). Jika tidak, akan terjadi kelaparan massal. Bukankah saat ini ada sekitar semiliar manusia dengan perut lapar saat pergi ke tempat tidur?

Kelaparan masif ini sering kali dimanipulasi secara sesat dengan mengatakan terjadi kelangkaan pangan di planet bernama bumi. Dunia saat ini telah menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah penduduk bumi. Sejumlah studi menunjukkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa, populasi puncak planet ini (http://www.foodfirst.org/en/n ode/1778).

Suplai pangan yang melimpah itu tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan, terutama ketika harga pangan melambung tinggi. Argumen harga pangan melambung karena lonjakan permintaan dari China dan India,

dua negara berpenduduk besar, telah misleading alias tidak benar. Sementara argumen lain mengenai tekanan pasar dari sisi pasokan tidak mampu menjelaskan volatilitas ekstrem dan lonjakan harga di pasar pangan global dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2007–2008.

Bahan Spekulasi

Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan adalah hasil dari fenomena baru: penimbunan besar-besaran produk derivatif komoditas pangan. Menurut Executive Director Food First Eric Holt Gimenez (2011), ini produk keuangan khusus yang dikreasi lembaga keuangan kuat. Dimotori Wall Street, para investor institusional, baik bank investasi, hedge fund, reksa dana, dana pensiun maupun hibah universitas, berebut menimbun.

Cara kerjanya, pertama, investor institusional mengubah komoditas pangan jadi aset spekulatif. Keuntungan spekulatif, bukan permintaan riil, jadi pembimbing harga pangan. Kedua, investor kuat melobi dan menyuap anggota parlemen guna menderegulasi pasar keuangan dengan membebaskan mereka dari tanggung jawab publik. Ketiga, investor institusional menimbun produk derivatif dengan memperjualbelikan secara berulang-ulang sehingga menciptakan kelangkaan pangan (semu) di pasar berjangka.

Hasil dari serangkaian ini adalah harga meroket karena investor institusional telah menciptakan kejutan permintaan sehingga terjadi kelangkaanbuatan( semu) yangsangat besar di pasar pangan global. Hal itu terjadi pada rentang 2007–2008 saat krisis pangan mencapai puncak dan berulang pada 2010.Pada periode itu harga sejumlah pangan pokok seperti beras,gandum,dan jagung naik dua-tiga kali lipat.Kejutan permintaan itu menciptakan ratusan juta barisan warga miskin baru.

Sebaliknya,korporasi multinasional menangguk keuntungan besar lewat spekulasi. Misal, pada 2008 spekulasi berkontribusi pada sepertiga (USD1,5 miliar) laba Goldman Sachs (The Wall Street Journal, 19/11/2008). Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan akibat spekulasi memiliki ramifikasi rumit karena spekulan bukan perusahaan guram, tapi korporasi transnasional (TNCs) yang kekuatan kapitalnya jauh melampaui entitas sebuah negara.

Misalnya, per Maret 2008, dua korporasi (Morgan Stanley dan Goldman Sachs) di pasar komoditas menguasai 1,5 dari 11 miliar bushelkontrak berjangka jagung di Chicago Board of Trade (The Brock Report, 2008). Kedua perusahaan mendominasi pasar melalui penguasaan commodity index funds––gabungan dari 24 komoditas pertanian dan nonpertanian dalam satu instrumen investasi yang sering disebut “perjudian” harga (Suppan, 2009).

Pada 2006–2008, perusahaan-perusahaan yang tidak diatur (unregulated funds) ini mengontrol 33% dari seluruh kontrak berjangka komoditas pertanian (Christopher,2008). Ketika tenang,spekulan nyaman membiakkan investasi di pasar finansial: uang, modal, dan utang. Saat bergejolak, mereka berhamburan dari sarang membawa portofolio investasi.Mereka mencari tempat yang lebih aman untuk mengeramkan investasi, salah satunya di pasar komoditas.

Menurut Bank of International Settlements,investasi di pasar komoditas (di luar emas dan logam mulia) pada 2002 baru USD770 miliar, naik USD7 triliun pada Juni 2007, dan meledak jadi USD12,6 triliun pada Juni 2008. Sampai saat ini belum ada aturan ketat yang membatasi gerak perusahaan untuk berspekulasi di pasar komoditas.Tanpa aturan ketat, spekulasi di pasar komoditas akan membuat harga pangan tidak stabil karena kelangkaan semu. Para pemrotes Occupy Wall Street tidak salah menduduki Wall Street karena penggerak pasar keuangan itu menciptakan malapetaka.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar