Memperkuat
Undang-Undang KPK
Roby Arya Brata, ANALIS
ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 3 Desember 2011
Bagian
Kedua / Terakhir
Bagian
terakhir tulisan ini mengatasi kelemahan desain kebijakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah dianalisis dalam tulisan
sebelumnya. Revisi UU KPK haruslah memperkuat efektivitas dan akuntabilitas
organisasi, serta fungsi pencegahan dan penindakan KPK. Sepuluh isu krusial
yang menjadi agenda kebijakan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembahasan revisi UU KPK (Koran Tempo, 26 Oktober 2011) juga akan
dibahas dalam tulisan ini.
Penguatan Organisasi
Masalah
krusial yang harus segera diatur dalam revisi UU KPK adalah memperkuat mekanisme
akuntabilitas KPK, baik akuntabilitas internal maupun eksternal. KPK harus
dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya. Mekanisme akuntabilitas
harus didesain, sehingga KPK tidak menyalahgunakan atau bertindak di luar
kewenangannya (ultra vires).
Penguatan
akuntabilitas demikian perlu segera dilakukan, lebih-lebih dengan sistem
rekrutmen
pemimpin, penyidik, dan penuntut KPK seperti sekarang ini. Pemimpin, penyidik,
dan penuntut KPK yang ditentukan atau berasal dari institusi yang akan menjadi
“korban”KPK tentu saja rawan terhadap bias dan konflik kepentingan. Dengan
melakukan lima bentuk utama penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebutkan
dalam tulisan pertama, pemimpin, penyidik, dan penuntut demikian dapat melemahkan
KPK dari dalam.
Inilah
yang harus dicegah. Mekanisme checks and balances dengan menciptakan
kekuatan
penyeimbang (balancing forces) yang efektif haruslah dirancang untuk mengawasi
penggunaan kekuasaan KPK yang besar itu.
Di
sinilah urgensi pembentukan pengawas eksternal yang independen. Sebenarnya pembentukan
komisi pengawas atau inspektur eksternal independen untuk mengawasi
penyalahgunaan wewenang atau pembusukan internal oleh oknum pemimpin dan pegawai
KPK pernah saya usulkan (lihat Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, dan Vivanews,
4 Januari 2010). Sekarang ini sudah ada Komite Pengawas KPK yang dibentuk oleh
masyarakat antikorupsi dan Dewan Etik ad hoc, tapi itu tidaklah cukup.
KPK
akuntabel dalam setiap tindakan dan keputusannya terhadap komisi pengawas ini.
Anggota komisi ini terdiri atas para tokoh masyarakat yang kompeten dan kredibel.
Komisi pengawas dapat melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran etik
dan penyalahgunaan kewenangan oleh pemimpin dan pegawai KPK. Komisi dapat memberikan
sanksi dari yang ringan sampai pemecatan. Apabila ditemukan bukti pelanggaran
pidana oleh pemimpin KPK, komisi ini dapat merekomendasikan dilakukan proses
pidana terhadap mereka.Komisi ini juga dapat memberikan rekomendasi agar
pemimpin KPK tertentu tidak dipilih lagi karena integritas dan kinerjanya yang
buruk.
Komisi
atau inspektur pengawas independen semacam inilah yang telah berhasil memperbaiki
dan menjaga reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan publik kepada Independent Commission
Against Corruption (ICAC) Hong Kong dan New South Wales
(Australia).
Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika, ICAC Hong Kong, misalnya,
akuntabel dan diawasi oleh Chief Executive/Executive Council, Legislative
Council, Independent Judiciary, Media,Advisory Committees, ICAC Complaints
Committee, dan Internal Monitoring. ICAC Complaints Committee (independen dan
eksternal) menangani pelanggaran nonpidana, sedangkan Internal
Monitoring
mengusut pelanggaran pidana oleh pemimpin dan staf ICAC.
Pencegahan
Strategi
manakah yang lebih utama bagi KPK untuk memberantas korupsi: pencegahan
(prevention)
atau penindakan (law enforcement)? Strategi yang paling efektif adalah dengan
penggunaan yang seimbang (balanced approach), sinergis, serta
terintegrasi
antara
strategi pencegahan dan penindakan. Terlalu berfokus pada strategi penindakan
adalah ibarat membersihkan lantai yang basah dan kotor tanpa menutup atau memperbaiki
genting yang bocor. Sistem dan proses pemerintahan yang “bocor” atau memberi
peluang terjadinya korupsi haruslah juga diperbaiki. Sebaliknya, dari
modus-modus korupsi hasil proses investigasi akan diketahui (lessons learned)
mengapa sistem dan proses pemerintahan itu bocor, dan kemudian diperbaiki.
Karena
itu, gagasan agar KPK hanya berfokus pada strategi pencegahan atau penindakan
harus ditolak. Kedua pendekatan ini saling mengisi, sinergis, terintegrasi, dan
hanya akan efektif bila dilakukan oleh satu institusi. Fungsi pencegahan dan
penindakan dilakukan juga oleh ICAC Singapura, Hong Kong, dan Australia (NSW). Kunci
keberhasilan ICAC Hong Kong, misalnya, adalah menggempur korupsi dari tiga sisi
(three-pronged approach), yaitu mencegah, menindak, dan mendidik.
Pencegahan, penindakan, atau perang terhadap korupsi hanya akan berhasil bila
masyarakat, juga pejabat publik, dididik
agar malu dan membenci perilaku korup. Karena itu, agar berfokus dan efektif, pemimpin
KPK cukup tiga orang yang membidangi ketiga strategi ini.
Bidang
pencegahan inilah yang masih lemah atau belum optimal dilakukan oleh KPK. Dari
hasil penelitian saya, terutama wawancara saya dengan Ketua KPK periode I, Taufiequrachman
Ruki, banyak rekomendasi KPK terhadap perbaikan sistem manajemen pemerintahan
diabaikan oleh pemimpin lembaga pemerintah.
Hal
ini ternyata di antaranya disebabkan oleh lemahnya kewenangan KPK dalam bidang
pencegahan korupsi. Karena itu, penguatan kewenangan pencegahan ini harus
didesain
agar KPK memiliki kemampuan dan kewenangan yang kuat untuk mendeteksi serta
mencegah korupsi secara dini, dan “memaksa” birokrasi pemerintahan memperbaiki
sistem manajemennya. Misalnya, setiap birokrasi pemerintah diwajibkan
miliki
grand design strategi pencegahan korupsi dan wajib melaporkan
pelaksanaannya
kepada
KPK. Apabila pemimpin birokrasi publik tidak melaksanakan rekomendasi KPK tanpa
argumentasi yang dapat diterima atau gagal memperbaiki sistem administrasi yang
korup, KPK dapat memberikan rekomendasi agar pemimpin tersebut dicopot dari
jabatannya. Bentuk punishment lainnya adalah publikasi, pengurangan
remunerasi, penundaan pangkat dan promosi, serta sanksi administratif lainnya.
Penindakan
Kelemahan
mendasar pelaksanaan fungsi penindakan KPK tidak hanya terletak pada kelemahan
UU KPK, tapi juga pada peraturan perundang-undangan terkait lainnya, terutama
UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Ibarat menjala ikan (koruptor) yang begitu banyak, peraturan perundang-undangan
ini hanya memberi KPK jala yang kecil dan mudah sobek. Perbaikan terhadap
peraturan perundang-undangan antikorupsi harus terus dilakukan.
Kekeliruan
dalam penindakan tipikor adalah terlalu menekankan aspek kerugian negara. Hal
ini tentunya tidak lepas dari penekanan unsur kerugian negara dalam
definisi
korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Akibatnya, banyak koruptor yang
dibebaskan karena unsur kerugian negara tidak atau sulit dibuktikan. Padahal dampak
korupsi bersifat multidimensi, bukan hanya kerugian negara. Karena itu, undang-undang
antikorupsi di Australia, Hong Kong, dan Singapura lebih menekankan hal “abuse
of office for personal gain”.
Penguatan
fungsi penindakan harus diarahkan agar KPK dapat dengan mudah dan efektif
mendeteksi, mengungkap, dan membuktikan korupsi.Kecepatan adalah faktor kunci
keberhasilan dalam membuktikan kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat victimless
crime dan konspiratif. Karena itu,
penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan penangkapan tersangka korupsi tidak
perlu izin pengadilan terlebih dulu. Pasal 10C undang-undang antikorupsi Hong
Kong tidak mensyaratkan search warrant untuk menyita, menggeledah, dan
menangkap tersangka korupsi.
Hanya,
KPK hendaknya yang berwenang menangani kasus korupsi, baik petty maupun
grand
corruption. Hal ini karena kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian
dan kejaksaan dalam mengusut korupsi telah runtuh. Grand corruption tidak
(hanya) dapat dilihat dari jumlah uang yang dikorup, tapi lebih pada dampaknya.
Jual-beli pasal, korupsi kebijakan, state capture, korupsi (calo)
anggaran, dan politik uang dalam pemilihan umum adalah bentuk grand
corruption, meskipun dalam beberapa kasus jumlah uang dalam transaksi korup
ini tidak besar.
Selain
itu, untuk menghindari konflik kepentingan dan efektivitas pemberantasan korupsi
di institusi penegak hukum, KPK harus berwenang merekrut penyidik serta
penuntut di luar kepolisian dan kejaksaan. Pembuktian terbalik harus
diberlakukan dan pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya
dianggap melakukan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar