Senin, 05 Desember 2011

Nurani Rakyat Papua


Nurani Rakyat Papua
Benny Susetyo, PASTOR DAN PEMERHATI MASALAH SOSIAL
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Desember 2011



Para tokoh lintas agama Papua dalam pertemuan dengan tokoh lintas agama di Maarif Institute Jakarta beberapa waktu lalu menyerukan dukacita terdalam. Perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat mengherankan karena
kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru hingga kini), khususnya untuk menghadapi saudara-saudara kita di Bumi Cenderawasih.

Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kerasan yang dilakukan aparat memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua. Watak represi negara dipraktekkan dengan mengabaikan segala pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh pendekatan, kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komnas HAM, ada empat jenis pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa itu. Pertama, perampasan hak hidup (rights to life), karena ada tiga orang mengalami pembunuhan di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing). Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.Terdapat temuan yang menunjukkan adanya
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga yang ditangkap. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Jelas bahwa peristiwa ini menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh semua pihak, baik masyarakat di sekitar tempat kejadian maupun di wilayah Jayapura dan Papua umumnya.Kelima, pelanggaran hak milik. Akibat peristiwa
tersebut, sejumlah harta benda hancur.

Akar Masalah

Peristiwa seperti demikian mengingatkan kita pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka. Di tengah isu kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme.

Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide serta pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa.Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka lebih dari setengah abad lalu, tapi nation-building memerlukan dinamika baru secara dinamis.

Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa “yang belum selesai”justru lahir pertanyaan haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri atas semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata ancaman. Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, tapi bila gejolak
itu dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orde Baru.

Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman, saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme, memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agama. Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini.

Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep utama kebangsaan ini, yang perlu diperhatikan bagaimana cara menegakkannya dengan landasan keadilan.

Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi “agama baru” akan melahirkan imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat mereka membayangkan agama yang mereka peluk.Konsekuensinya, mereka harus menjaganya dari serangan musuh yang mencoba mengganggunya. Nasionalisme diperlakukan dengan segala macam cara, termasuk yang paling utama kekerasan,
agar tak roboh.

Upaya nation-building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.

Berikan Keadilan

Kita harus membaca persoalan Papua ini dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu becermin pada diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini—yang tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang menegakkan Bumi Pertiwi—belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat berlimpah.

Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua.Kekayaan alam yang begitu berlimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini akan mengajak kita  bersama berpikir ulang, di manakah tanggung jawab republik ini, agar kita bersama-sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua. Harus diakui itu adalah bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka.

Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa.Keadilan belum
pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua, bila ada kemauan
politik ke sana.

Pemerintah harus mengoreksi kebijakan yang tidak memberi kesempatan kepada rakyat Papua memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. Rakyat Papua bisa menjadi “Indonesia”hanya bila politik Jakarta berorientasi memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan
dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua.

Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru dengan sumber alam yang harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar