LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Salah
Urus pada Hasil Bumi
Sumber : KOMPAS, 16 Desember
2011
Sepanjang 2011, karut-marut mewarnai tata
niaga sejumlah komoditas hasil bumi. Perkaranya terkait kebijakan ekspor-impor
yang berimbas pada kehidupan pelaku usaha dari hulu hingga hilir. Kasus yang
menonjol di antaranya rotan, hasil perikanan, dan hortikultura.
Rotan dan hasil perikanan contoh anomali
kebijakan. Keran ekspor rotan mentah ditutup demi industri mebel dalam negeri.
Sebaliknya, keran impor ikan dibuka untuk menghidupi industri perikanan dalam
negeri. Kebijakan dan solusinya bersifat jalan pintas dan parsial.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun
2011 melarang ekspor rotan mentah, asalan, dan setengah jadi. Rotan hanya boleh
diekspor dalam bentuk produk mebel. Aturan ini membidik nilai tambah rotan.
Masalahnya, daya serap industri mebel dalam
negeri selama ini hanya 15 persen dari 250.000 ton produksi rotan Indonesia per
tahun. Dari sekitar 300 jenis spesies rotan yang tumbuh di hutan tropis
Indonesa, hanya 7-8 jenis di antaranya yang bisa terpakai oleh industri mebel
dalam negeri. Sisanya mau diapakan?
Agar nilai tambah tercipta dan tidak membuat
kalangan pemetik rotan dan pelaku industri ”berhadap-hadapan”, kebijakan itu
sejatinya tidak hanya berhenti pada pelarangan ekspor rotan mentah. Harus ada
kelanjutan berupa pembangunan industri rotan baru di daerah bahan baku, seperti
Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Dengan begitu, industri tidak hanya
terpusat di Jawa. Sebetulnya hal ini sudah pernah dijanjikan pemerintah enam
tahun silam, tetapi belum terwujud.
Mewujudkan janji memang tidak semudah
membalik telapak tangan. Persoalannya tidak lepas dari soal infrastruktur. Juru
bicara Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia, Badruddin Hambali,
menyebutkan, untuk pabrik rotan skala besar dengan kapasitas produksi 100
kontainer per bulan dibutuhkan 1 hektar lahan, 500 tenaga kerja, dan 30.000
watt listrik. Adapun pabrik skala kecil berkapasitas di bawah 100 kontainer
butuh minimal 15.000 watt listrik.
Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh
yang menyatakan siap membangun industri rotan di daerahnya perlu berhitung
cermat. Potensi listrik di Sulbar masih jauh dari memadai. Tenaga listrik 1.800
megawatt yang digadang-gadang dari PLTA Karama masih sebatas wacana. Selain
infrastruktur, juga perlu transformasi kecakapan pengrajin rotan dari sentra
industri ke daerah penghasil rotan.
Menembak Negeri Sendiri
Mengekspor rotan ibarat memang memberi peluru
kepada negara lain untuk menembak negeri sendiri. China yang agresif membeli
rotan mentah dianggap pesaing karena produknya bisa dibuat lebih murah daripada
produk Indonesia. Namun, apakah fair apabila negara lain yang lebih efisien dan
berdaya saing di kancah global dijadikan momok tanpa mengintrospeksi negeri sendiri?
Lisman Sumardjani, peneliti dari Yayasan
Rotan Indonesia, mengungkapkan, di Indonesia biaya logistik mebel dari pabrik
ke pelabuhan yang berjarak 60 kilometer mencapai 775 dollar AS. Di China, untuk
jarak yang sama biayanya kurang dari 300 dollar AS. Biaya logistik di Indonesia
menyedot 30 persen dari biaya produksi. Sementara di China, biayanya kurang
dari 10 persen.
Mahalnya biaya produksi di Indonesia terutama
karena jauhnya jarak sumber bahan baku dengan industri. Rotan mentah harus
dikapalkan dari luar Jawa ke Cirebon (Jabar) dan Surabaya (Jatim).
Upaya memberi nilai tambah pada rotan
hendaknya ditangani menyeluruh. Terapi kebijakan tutup ekspor jangan sampai
seperti memberi obat penurun panas kepada anak yang demam, sementara penyakit
sesungguhnya kanker kronis. Penutupan keran ekspor hendaknya mempertimbangkan
secara arif kehidupan 5 juta pemetik rotan di hulu. Kebijakan parsial akan
melesukan 1.600 usaha rotan skala rumahan yang menghidupi sekitar 600.000
pekerja di hilir.
Jangan lupa, di tengah polemik buka-tutup
keran impor, rotan plastik yang merupakan produk substitusi rotan alam kini
terus merambah pasar dalam negeri. Di saat rotan alam yang menjadi sumber
penghidupan jutaan rakyat Indonesia ”direcoki”, pengusaha rotan plastik malah
bisa melenggang tenang. Indonesia selaku penghasil 85 persen rotan dunia
sejatinya ”terlarang” untuk rotan plastik. Lagipula rotan plastik tidak sejalan
dengan kampanye produk ramah lingkungan.
Jalan Pintas
Bagaimana sektor perikanan? Impor ikan
dibiarkan mengalir terus demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam
negeri. Ironisnya, koperasi nelayan ikut jadi agen pengimpor. Pembiaran ini
mengkhianati hakikat koperasi yang sejatinya melindungi ekonomi kerakyatan.
Impor ikan mengimpit 2,6 juta nelayan.
Dengan garis pantai sepanjang 95.000
kilometer, produksi ikan Indonesia baru 10,82 juta ton per tahun. Dari potensi
itu yang diekspor baru 1,05 juta ton. Di tengah timpangnya angka produksi dan
impor, justru impor perikanan mencapai 318.000 ton, mencakup ikan tongkol,
lele, dan teri. Diduga, ikan impor itu berasal dari negeri sendiri yang
distempel impor China, Malaysia, Vietnam, dan India.
Impor sayuran juga mengalir. Impor bawang
putih mencapai 400.000 ton atau 90 persen dari kebutuhan. Wortel juga harus
diimpor 20.000 ton karena produksi hanya memenuhi 400.000 ton dari kebutuhan
450.000 ton. Impor buah tak perlu diurai dengan statistik. Sebab, jeruk,
durian, dan pisang dari luar negeri terpajang di kedai kaki lima hingga
restoran mewah.
Perekonomian yang sehat hanya bisa dicapai
dengan meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan produksi dan
konsumsi domestik, bukan mengimpor. Ini mencerminkan betapa pihak terkait tak
ingin memberdayakan sumber daya lokal, termasuk nelayan. Buka-tutup keran
ekspor-impor adalah jalan pintas.
●
(Nasrullah Nara/ Harry Susilo/Dwi
Bayu Radius/Rini Kustiasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar