Senin, 19 Desember 2011

Hukum Belum Jadi Panglima


Hukum Belum Jadi Panglima
Muladi, MANTAN MENTERI KEHAKIMAN
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011




Penegakan hukum di Tanah Air tak terelakan masih dikategorikan compangcamping. Hukum yang semestinya menjadi panglima terkalahkan berbagai kepentingan seperti politik dan akumulasi kapital individu penegak hukum.

Yang terjadi sekarang sistem hukum tidak berjalan baik dan sangat lemah. Kunci penegakan hukum, yakni perangkat perundangan dan penegak hukum,gampang bisa disalahgunakan.Kondisi ini semakin parah lantaran degradasi budaya hukum di tataran elite eksekutif, yudikatif, dan legislatif justru berjalan masif.

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia,selain dilihat dari ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus besar,juga bisa dilihat dari survei yang dilakukan sejumlah lembaga hukum. Survei Bribe Payer Index (BPI) 2011 yang dilakukan terhadap 28 negara misalnya menempatkan Indonesia menduduki negara keempat terkorup. Survei BPI dilakukan secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia,dengan total rasio foreign direct investment(FDI) dan ekspor global sebesar 78%.

Transparansi Internasional (TI) dalam rilis corruption perception index (CPI) yang diluncurkan baru-baru ini menunjukkan skor Indonesia naik 0,2 poin menjadi 3.0. Namun,kenaikan ini dianggap tidak berarti karena faktanya negeri ini masih berkutat di jajaran bawah negara paling koruptor, di posisi ke-100.

Kriteria yang menunjukkan indikasi perubahan persepsi korupsi antara 2010 dan 2011 adalah perubahan skor minimal 0,3 didukung dengan perubahan yang konsisten dari minimal setengah dari sumber data penyusun indeks. Mantan Menteri Kehakiman Muladi menyebutkan, pertimbangan politis menjadi faktor utama penegak hukum,khususnya kepolisian dan kejaksaan, hingga gamang dalam melaksanakan tugasnya secara maksimal.

Sumber daya manusia yang masih bermental korup menjadikan integritas penegakan hukum di Tanah Air semakin anjlok. Selain itu, sistem perundangan juga masih perlu diperbaiki. Misalnya aturan yang menyebutkan bahwa pemeriksaan kepala daerah mesti atas izin presiden harus diubah. Hal itulah yang menghambat pengungkapan kasus korupsi.“Pada intinya, perundang-undangan kita ketinggalan zaman.UU kita warisan kolonial. Padahal banyak negara sudah mengubah aturan dalam penegakan hukumnya, ”lanjut dia.

Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Fajrul Falaakh membenarkan bobroknya aparat penegak hukum kita.Dia menyebutkan, 70% aparat penegak hukum terindikasi korupsi.Satusatunya institusi penegakan hukum yang masih lebih baik hanyalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Realitas itu pula yang menjadikan aparat penegak hukum di Indonesia belum berpihak pada masyarakat kecil.

“Keadilan di Indonesia seperti dua sisi mata pedang, tajam buat masyarakat kecil dan tumpul bagi orang-orang besar yang memiliki dukungan finansial dan politik.Jika kondisi ini terus dipertahankan, hukum dan keadilan hanya milik mereka yang kaya,bertahta,dan dukungan politik kuat,” tandasnya. Kebobrokan aparat penegak hukum kian diperparah dengan merajalelanya mafia hukum yang mudah mengintervensi penegakan hukum pada lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum lainnya.

Para mafioso ini juga masuk pada ranah legislatif dan eksekutif. “Sehingga harus saya katakan bahwa hukum dan penegakan hukum tidak bertaring menghadapi kejahatan kerah putih. Sebaliknya, penegakan hukum sangat nyata dalam kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin.Penegakan hukum seperti mata tombak yang tajam ke bawah,tetapi tumpul ke atas,”ungkapnya. Muladi melihat hukum bisa menjadi panglima di negeri ini jika hadir sosok pemberani dan tidak takut dengan intervensi penguasa.

Tidak pandang bulu dalam menumpas para penjahat negara. “Dulu kita punya sosok Baharuddin Loppa, kenapa sekarang tidak bisa. Saya percaya dengan sosok pemberani seperti beliau. Sekarang ada sosok Bambang Widjojanto,mungkin dia bisa memperbaiki semuanya,” harapnya. Dia menunjukkan contoh beberapa negara yang sukses menegakkan hukum setelah mengalami masa suram.

Hong Kong misalnya.Pada medio 1974, negara jajahan Inggris ini memecat seluruh polisinya dan menggantinya dengan polisi Inggris,India, dan Australia dalam masa peralihan. Pada akhirnya Hong Kong menjadi negara maju dan terkenal dengan kedisiplinan hukum yang tinggi. Indonesia juga bisa mencontoh Peru dalam kemauan untuk menegakkan hukum.

Baru-baru ini Presiden Peru Ollanta Humala memecat 30 dari 55 jenderal polisi yang terindikasi melakukan korupsi. Sebelumnya negara yang terletak di Amerika Selatan ini memiliki 55 jenderal, 900 kolonel, dan lebih dari 2.000 komandan.Humala bahkan memecat kepala kepolisian nasionalnya. Korea Selatan juga patut ditiru.

Di negara itu mantan presiden yang terindikasi korupsi dan melakukan tindak pidana lainnya,Chun Doo Hwan, ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Meski pada akhirnya mantan penguasa itu mendapat amnesti, itu menjadi bukti keseriusan negara dalam penegakan hukum dan memberi efek jera bagi siapa pun yang akan melakukan korupsi.
  (krisiandi sacawisasra/fefy dwi haryanto/m purwadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar