Senin, 19 Desember 2011

Jakarta: Skenario 2050

Jakarta: Skenario 2050
Nirwono Joga, KETUA KELOMPOK STUDI ARSITEKTUR LANSEKAP INDONESIA
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011




Fenomena pemanasan global telah membawa dampak perubahan iklim ekstrem. Perubahan iklim yang tidak menentu memberi akibat nyata berbagai bencana lingkungan dan menurunkan kualitas lingkungan hidup.

Seperti apa kondisi Jakarta pada tahun-tahun 2020, 2030, atau 2050? Bagaimana keadaan Jakarta dalam pusaran fenomena pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem? Anomali cuaca yang semakin sulit diduga dan fakta-fakta dampak perubahan iklim kini semakin nyata dalam kehidupan kita. Ironisnya, pembangunan kota yang tak berkelanjutan telah membawa Jakarta ke upaya bunuh diri ekologis (ecological suicide) kota.

Bunuh Diri Perkotaan

Berita bencana lingkungan terus hadir di tengah-tengah kita. Kawasan utara Jakarta telah merasakan dampak kenaikan paras muka laut (2-4 sentimeter per tahun),sementara penurunan muka tanah berkisar 4-26 sentimeter per tahun—tergantung beban lingkungan.Rob (limpasan air laut) menggenangi kawasan utara setinggi 10–100 sentimeter hampir tiap pekan, yang menjorok hingga dua kilometer ke daratan.

Penurunan muka tanah juga terjadi di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, seiring penyedotan air tanah yang tak terkendali. Intrusi air laut mengisi rongga-rongga air tanah yang kosong,terdeteksi sudah menyusup hingga 14 kilometer atau sepertiga wilayah Jakarta, sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Pembangunan yang memangsa ruang terbuka hijau (RTH) membuat luas genangan banjir meluas,50% (2002) menjadi 60% (2007).

Melihat kecenderungan di lapangan, di mana daerah resapan air masih kurang,sungai-sungai masih penuh lumpur dan sampah, serta kondisi saluran drainase yang belum terhubung maksimal bisa diperkirakan ancaman pada tahun 2012 menjadi lebih luas lagi daerah yang akan terkena banjir. Perkembangan kota yang mengarah ke timur,barat,dan semakin masif ke selatan secara cepat telah mengurangi luasan daerah RTH dan daerah resapan air terutama di Selatan Jakarta.

Terkini, bencana banjir di Kampung Pulo,Pondok Labu, Jakarta Selatan.Di musim kemarau,Jakarta seperti biasa akan dipenuhi berita kebakaran dan kesulitan air bersih di kawasan padat penduduk.Jadi sebenarnya tidak ada yang baru soal Jakarta,lebih dari 50 tahun kita masih berkutat kepada halhal itu saja: banjir,macet,kemiskinan, dan gusur (BMKG). Lalu apa yang dapat dilakukan?

Kota Hijau

Kota dan kita harus segera melakukan tindakan nyata dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Salah satunya dengan membangun kota hijau. Untuk mewujudkan kota hijau, Jakarta dituntut untuk menerapkan secara bertahap standar lingkungan kota hijau (8 atribut kota hijau). Pertama, perencanaan dan perancangan kota (green planning and design) Jakarta harus meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau,upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Kedua, pembangunan RTH (green open space) bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik Kota Jakarta, dengan target RTH 30% yang terbagi atas RTH Publik 20%,dan RTH Privat 10% (UU No 26/2007: Penataan Ruang). Ketiga, peningkatan kualitas air (dan udara) (green water and air) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoffserta penanaman pohon besar secara massal (UU No 7/2004: Sumber Daya Air dan Perda No 2/2005: Pengendalian Pencemaran Udara).

Keempat, pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (green waste) dengan menerapkan konsep zero waste (reduce,reuse,recycle) secara konsisten (UU No 18/2008: Pengelolaan Sampah). Kelima, pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy) mulai dari bangunan hingga transportasi (UU No 30/2009: Ketenagalistrikan).

Keenam, pengembangan sistem transportasi massal yang berkelanjutan (green transportation) dan mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan (busTransJakarta,kereta api), serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek. Ketujuh, seluruh bangunan publik harus menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau (green building) (UU No 28/2002:
Bangunan Gedung, Perda No 7/2010: Bangunan).

Kedelapan, pengembangan jaringan kerja sama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat, di mana pertumbuhan komunitas hijau harus lebih dioptimalkan dalam pembangunan kota (green community).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar