Mantan
Polisi, Bekas Selebritas
Reza
Indragiri Amriel, PSIKOLOG
Sumber
: KORAN TEMPO, 10 Desember 2011
Norman Kamaru tidak lagi berpangkat brigadir satu. Polisi yang dibuat
tenar lewat rekaman lipsync-nya di laman youtube.com itu dipecat dengan
tidak hormat dari institusi Kepolisian RI. Bagi Norman, dijatuhi sanksi
pemecatan secara tidak hormat tampaknya bukan persoalan. Di ruang publik,
Norman tetap tampil high profile. Walau persidangan etik profesi atas dirinya
belum rampung, Norman justru hinggap dari satu etalase ke etalase selebritas lainnya.
Iming-iming kekayaan, sulit diingkari, menjadi pesona yang begitu
menggiurkan. Walau perlu diingat, kesejahteraan finansial yang membaik—bisa
jadi—bukan satu-satunya motif yang mendorong Norman sehingga berani banting
setir dari pelayan masyarakat menjadi penghibur masyarakat. Salah satu fakta
yang diidentifikasi sebagai sumber stres yang signifikan di organisasi kepolisian
adalah pengakuan.
Tingginya tuntutan tugas, termasuk risiko bahaya, dapat mengisap
personel kepolisian
ke dalam pusaran ketidaknyamanan kerja. Pada saat yang sama,
institusi kepolisian direpresentasikan oleh penyelia tidak memiliki waktu dan
kepedulian memadai terhadap kebutuhan manusiawi bawahannya. Tekanan terhadap
polisi juga datang dari masyarakat. “Sempurna”sudah, menjadi polisi sama
artinya dengan menjadi manusia super, yang pantang takut, haram mengaku letih,
dan aib berkata sedih. Pokoknya bekerja, titik.
Berprofesi sebagai polisi berarti mendekatkan diri pada keadaan
dehumanisasi. Suasana hati yang demikian galau, serta terus-menerus berada di luar jarak pandang
organisasi, akan menjadi faktor risiko bagi munculnya perilaku
yang tak pantas (misconducts). Wujudnya bisa sikap apatis, bisa pula
yang memangsa, semisal korupsi
dan perilaku brutal. Semuanya adalah manifestasi aspirasi personel
yang tidak terpenuhi dan atensi lembaga yang tidak memadai.
Dari situ, keputusan Norman mengundurkan diri dari institusi Polri
barangkali seharusnya justru memberikan inspirasi, bahkan alternatif solusi,
bagi sistem pengembangan sumber daya
manusia Polri, yang oleh banyak kalangan dinilai masih
belum sepenuhnya obyektif dan transparan berbasis kinerja—tanpa
menihilkan sentuhan kemanusiaannya.
Kalau selama ini keluar dari Polri lebih berawal dari penyikapan
lembaga, sebagai sanksi atas pelanggaran personel, misalnya, di masa mendatang
perlu didorong agar undur diri lebih banyak berangkat dari inisiatif pribadi
personel. Para punggawa tribrata memeriksa dan menakar diri masing-masing guna
menjawab apakah mereka masih pantas atau sudah tak layak berada di korps Polri.
Keluarnya personel dari kepolisian tidak selamanya menjadi kabar
buruk bagi institusi
kepolisian. Turnover merupakan kesempatan bagi lembaga
mengganti para aparatnya yang tidak efektif bekerja dan tidak menjunjung etika.
Secara keseluruhan, turnover adalah peluang pembenahan sistem
dan—terlebih—kultur organisasi.
Di atas itu semua, yang menjadi pertimbangan utama sebenarnya
adalah kepentingan
masyarakat. Logikanya sederhana: ketika jiwa pengabdian sudah
pupus dari batin personel, dan digantikan oleh obsesiobsesi baru, kebutuhan
publik akan layanan terbaik kepolisian harus tetap berada di prioritas
tertinggi. Dengan kata lain, apa
boleh buat, sudah menjadi risiko “kodrati” profesi: dalam kondisi
seburuk apa pun,
tetap polisi yang harus memahami masyarakat, bukan masyarakat yang
harus mendengarkan keluh-kesah polisi.
Walau terkesan positif, pengunduran diri personel kepolisian
menyisakan persoalan
menyangkut biaya finansial yang telanjur dikeluarkan guna merekrut
dan membina
personel-personel tersebut. Hal ini yang melatari penilaian bahwa
problem turnover
pada organisasi kepolisian di sejumlah negara sudah mencapai titik
kritis. Contoh dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat, tingkat
pengunduran diri polisi (14 persen) lebih tinggi daripada profesi perawat (12
persen) dan guru (13 persen). Masa kerja mereka rata-rata 33 bulan sejak
bergabung. Yang terbanyak adalah personel yang masih berada pada usia emas,
yakni 26-30 tahun dan 31-36 tahun.
Tapi, karena mempertahankan personel yang tidak layak berimbas
pada lebih besarnya
biaya ataupun beban yang harus ditanggung oleh lembaga dan
masyarakat, turnover tetap dipandang sebagai kenyataan dengan efek
kerugian lebih minimal.
Norman bagaimana?
Atas diri Norman sendiri, saya hanya mengkhawatirkan pilihan
kariernya setelah —kasarnya—dipecat dari Polri. Norman selama ini dikenal,
bahkan dielu-elukan masyarakat, karena ia adalah polisi yang bernyanyi.Tidak
sungguh-sungguh bernyanyi
sebenarnya.Kunci ketenaran Norman adalah tatkala ia mengenakan
seragam Brimob dan berlenggak-lenggok tanpa mengeluarkan sepatah nada pun dari
mulutnya. Publik tidak pernah mendengar, apalagi mengagumi, tarikan suaranya.
Jangan-jangan, hanya dengan formula serupa Norman tetap asyik ditonton
khalayak. Norman yang berbusana selain seragam polisi tidak akan dilirik orang.
Norman yang bernyanyi dengan suaranya sendiri juga tidak akan didengar orang.
Ah, nasib orang siapa tahu! Wallahualam.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar