Banjir
Pangan Impor
Khudori, PEGIAT
ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI)
Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011
Secara agregat,
kinerja sektor pertanian Indonesia tidak mengecewakan. Selama puluhan tahun
neraca perdagangan pertanian masih surplus.Tahun lalu, nilai surplus
US$ 18,537
miliar atau Rp 166,83 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar AS), naik 40 persen
dari angka pada
2009 (US$ 13,14 miliar). Surplus selalu terjadi karena didukung terus
membaiknya kinerja subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Tahun lalu, surplus
subsektor perkebunan mencapai US$ 24,674 miliar, naik 39,9 persen dari angka
pada 2009 (US$ 17,632 miliar).
Sebaliknya,
neraca subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan selalu
negatif. Kinerja
ketiga subsektor ini jauh dari menggembirakan. Dari ketiganya, defisit paling
mencemaskan terjadi di subsector tanaman pangan dan peternakan. Pada 2009,
defisit terbesar dialami subsector tanaman pangan. Pada 2010, dengan defisit
US$ 3,505 miliar, peternakan menggeser posisi subsektor tanaman pangan (US$
3,416 miliar).
Tahun ini, impor
pangan tetap mengalir deras. Pada semester I 2011, impor pangan
mencapai US$
6,35 miliar, naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun lalu (US$
5,35 miliar).
Impor meliputi beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula
pasir, gula
tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa
sawit, lada,
kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, bawang merah, dan kentang. Melihat
cakupannya, betapa luasnya pangan impor kita. Karena begitu luasnya, impor
pangan sering kali menimbulkan masalah.Yang terbaru adalah impor kentang. Para
petani kentang sampai turun ke jalan karena usaha taninya terancam oleh kehadiran
kentang impor murah.
Defisit
subsektor pangan, peternakan, dan hortikultura memiliki implikasi serius bagi
Indonesia. Sebab, sampai saat ini ketiga subsektor tersebut menjadi gantungan hidup
jutaan warga. Menurut Kementerian Pertanian, pada 2009 jumlah tenaga kerja di
subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa, 10 juta di antaranya menekuni kelapa
sawit. Adapun subsektor pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap tenaga kerja
jauh lebih besar. Subsektor tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dan tebu) saja
ditekuni 17,8 juta keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan terdiri atas empat orang,
berarti jumlahnya 71,2 juta jiwa (29,7 persen warga Indonesia). Membanjirnya komoditas
pangan, peternakan, dan hortikultura impor akan membuat produksi petani/peternak
domestik terdesak. Ini bukan semata-mata soal daya saing, tapi lebih karena
taktik dan politik dagang yang tidak fair.
Hampir semua
bahan pangan penting dan pokok dunia, seperti gandum, beras, jagung, gula,
kedelai, daging sapi, dan daging unggas, harganya terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi
domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor. Sejumlah
negara juga
sering membuat kebijakan pembatasan impor, baik negara yang nett importer maupun
yang nett exporter. Inilah yang membuat harga pangan di pasar
dunia amat
artifisal, antara ada dan tidak ada, dan tidak menggambarkan tingkat
efisiensi.
Menjadikan harga pangan dunia sebagai basis referensi efisiensi jelas menyesatkan.
Karena itu, ketika ada sebuah produk pangan domestik terdesak
oleh pangan
impor yang harganya murah, tidak bisa serta-merta produk pangan kita
dicap tidak
efisien dan tidak bisa bersaing.
Harga pangan di
pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor. Argumen
yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah-payah memproduksi
pangan sendiri
kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik ini adalah soal
daya saing.
Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa
menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi, karena harga itu
terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktekkan sejumlah negara maju. Pendapatan
petani beras, gula, dan daging sapi di negara-negara OECD yang berasal dari
bantuan pemerintah masing-masing mencapai 78 persen, 51 persen, dan 33 persen.
Artinya, hanya 22
persen
pendapatan petani beras di negara OECD yang berasal dari usaha tani. Sisanya
dari subsidi
pemerintah (Sawit, 2007).
Di Amerika
Serikat, ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi pemerintah. Dari US$
24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70-80 persen diterima 20 komoditas ini.
Lima komoditas penting adalah beras, jagung, kedelai, gandum, dan kapas. Meskipun
dalam perjanjian WTO subsidi itu harus dikurangi, dari tahun ke tahun subsidi
tidak berkurang, melainkan terus bertambah dengan beras. Ujung dari beleid subsidi
berlebihan itu adalah dumping. Setelah Farm Bill pada 1996, dumping kedelai AS
naik dari 2 persen menjadi 13 persen, dumping beras naik dari 13,5 persen menjadi
19,2 persen, dan jagung naik dari 6,8 persen menjadi 19,2 persen.
Untuk menjaga
pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor. Pada 2001 kredit ekspor
mencapai US$ 750 juta. Fasilitas khusus ini diberikan kepada importir kedelai
Indonesia. Saat
itu harga impor cuma Rp 1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp 2.500
per kg. Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor.Kebijakan
itu kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari.
Bea masuk 5-10 persen sama sekali tidak mampu melindungi petani kedelai dari
gempuran impor. Akibatnya, kini kita bergantung pada impor kedelai hampir
mutlak dari AS.
Akibat kebijakan
pro-impor, tanpa banyak disadari, ketergantungan kita pada pangan impor nyaris
tidak berubah. Sampai saat ini Indonesia belum bisa keluar dari ketergantungan
impor sejumlah bahan pangan penting: susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30
persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70
persen), daging
sapi (30 persen), induk ayam, dan telur.Ketika harga naik, impor pangan akan
menguras devisa. Pada saat yang sama, impor membuat kita kian bergantung pada
pangan dari luar negeri. Padahal pasar pangan dunia jauh dari sempurna, hanya
dikuasai segelintir pelaku, dan jumlah yang diperdagangkan tipis.
Mengimpor pangan
dari luar negeri, walaupun dengan harga lebih murah dari pada pharga pangan
petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya,
kalau mengimpor
pangan dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu
apa yang dalam ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect). Sebaliknya,
jika membeli pangan petani domestik, meskipun lebih mahal, akan menciptakan
efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi,
pendapatan, dan
penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan
efisiensi sosial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar