Rabu, 07 Desember 2011

Papua yang Sulit Didekati

Papua yang Sulit Didekati
Anggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG
Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011


Sekitar lima orang berteriak dan berkumpul sambil membawa bendera Bintang Kejora di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. Walaupun teriakan mereka lantang, pesan yang dibawa tidak jelas. Dalam bahasa Indonesia yang kurang fasih, para simpatisan gerakan OPM ini berteriak lantang: “Indonesia pembunuh! Indonesia penjajah! Merdeka Papua!” Pemandangan ini tampak biasa-biasa saja.Tidak ada penjagaan polisi, apalagi barikade tentara Kerajaan Belanda.

Menyuarakan Papua merdeka bukan lagi hal yang aneh.Tidak hanya di Den Haag, di mana para simpatisan ini banyak berkumpul, tetapi wacana ini sudah menjadi menu pokok perbincangan di kalangan elite politik Jakarta. Namun yang jelas adalah, apa yang disuarakan dan dipersepsikan oleh lima pemuda di Den Haag itu (yang kesemuanya sebenarnya secara morfologi tidak menunjukkan fisik orang Papua kebanyakan) dan para elite politik di Jakarta atau pembaca surat kabar biasa bisa jadi berbeda.

Mengapa bisa terjadi seperti ini? Dalam kacamata epistemologi, untuk bisa berpendapat dibutuhkan bukti atau fakta segar yang lengkap dari obyek yang diteliti. Inilah kemudian yang menjadi “bahan bakar” untuk menilai suatu obyek masalah. Dalam kasus Papua, diskresi informasi muncul di mana semua orang bisa berpendapat semau mereka tanpa risalah atau referensi berupa fakta yang benar. Lebih lanjut, sulit untuk memberi argumen obyektif untuk kasus Papua ketika informasi yang beredar benar-benar tidak ada linearitas (kesesuaian).

Bagaimana mungkin ada informasi yang menyebutkan bahwa tambang Freeport sekarang dijaga oleh sekumpulan tentara asing (tentara AS). Selain hal ini begitu
mengejutkan, terlebih lagi adalah apakah benar memang ada hal seperti itu yang terjadi. Kasus Papua benar-benar bisa dikategorikan sebagai kasus yang sangat tertutup, kalaupun belum bisa dikategorikan masuk dalam kasus luar biasa. Yang kemudian banyak muncul adalah argumen atau penilaian yang abstrak tentang apa yang terjadi. Sampai saat ini, belum ada riset ilmiah atau risalah dokumenter yang bisa
dipertanggungjawabkan secara publik. Kalaupun ada, hanya bukti catatan perjalanan
misionaris atau riset terdahulu yang menyimak kehebatan suku Asmat, Dani, dan Baliem.

Apakah mungkin berlarutnya kasus Papua memang terjadi karena interpretasi yang salah atau berlebihan tentang Papua? Jelas kelima pemuda yang berdemo di depan
KBRI itu tidak bisa dijadikan panutan. Kalaupun kita harus memilih, seharusnya pemerintah memberi penjelasan atas simpang-siurnya informasi yang ada. Sebagai
khalayak umum, yang kita tahu hanya efek dari masalah yang terjadi di sana. Bisa berupa jumlah korban, intensitas konflik, atau hasil perundingan. Kalaupun terpaksa, hanyalah “update status”dari teman-teman yang aktif di jejaring sosial yang kebetulan berasal dari Papua atau yang pernah bekerja di sana. Lalu, ke mana perginya fakta konkret tentang Papua?

Parahnya lagi adalah apabila kesimpangsiuran informasi ini digunakan oleh pihak tertentu atau bahkan dipolitisasi untuk kepentingan beberapa pihak. Alasannya mungkin mudah ditebak, yaitu membuat kasus Papua seperti “floating mass” tidak jelas, tak tentu arah, dan tidak selesai. Sedangkan di pihak lain, masyarakat di sana masih terkungkung dalam kemiskinan, lemahnya birokrasi, dan layanan sosial atau minimnya fasilitas pendidikan. Yang jelas, hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi atau minimal diupayakan untuk “dibongkar” atau ditemukan fakta yang sahih atas apa yang terjadi di Papua.

Mungkin berbeda tapi bisa dijadikan pembanding adalah bagaimana rezim di Timur Tengah (Mesir, Libya,Aljazair) tumbang. Serupa tapi tak sama, mereka juga mengalami kasus seperti Papua dalam artian informasi yang ada sangat tidak bisa diandalkan. satu-satunya media alternative adalah suara Al Jazeera, yang memberitakan hari per hari apa yang sedang terjadi. Dalam hal ini juga, media jejaring sosial di sana menjadi faktor kunci keberhasilan gerakan.

Sangat sulit untuk mengandalkan informasi dari masyarakat Papua, mengingat infrastruktur yang terbatas, sehingga berita dan fakta pun akhirnya menjadi barang
langka.Tetapi, sangat mungkin untuk dicoba, menyatukan informasi melalui serpihan-
serpihan cerita dari teman atau karib yang sedang ada di sana.Yang dibutuhkan hanya kemauan untuk mencatat, mengkoordinasikan fakta, dan mencari celah di mana linearitas itu muncul sehingga member gambar terang tentang fakta. Secara epistemologi, hal ini sangat mungkin terjadi walaupun butuh waktu dan upaya yang
dahsyat.

Walaupun solusi belum bisa didapatkan, setidaknya benang merah kasus Papua teridentifikasi. Hanya tinggal memilah mana informasi yang sahih dan mana yang telah
direkayasa. Semoga hal ini membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar