Papua
yang Sulit Didekati
Anggun Trisnanto, DOSEN
HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG
Sumber : KORAN TEMPO, 6 Desember 2011
Sekitar lima
orang berteriak dan berkumpul sambil membawa bendera Bintang Kejora di depan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. Walaupun teriakan mereka
lantang, pesan yang dibawa tidak jelas. Dalam bahasa Indonesia yang kurang
fasih, para simpatisan gerakan OPM ini berteriak lantang: “Indonesia pembunuh!
Indonesia penjajah! Merdeka Papua!” Pemandangan ini tampak biasa-biasa
saja.Tidak ada penjagaan polisi, apalagi barikade tentara Kerajaan Belanda.
Menyuarakan
Papua merdeka bukan lagi hal yang aneh.Tidak hanya di Den Haag, di mana para
simpatisan ini banyak berkumpul, tetapi wacana ini sudah menjadi menu pokok
perbincangan di kalangan elite politik Jakarta. Namun yang jelas adalah, apa
yang disuarakan dan dipersepsikan oleh lima pemuda di Den Haag itu (yang
kesemuanya sebenarnya secara morfologi tidak menunjukkan fisik orang Papua kebanyakan)
dan para elite politik di Jakarta atau pembaca surat kabar biasa bisa jadi
berbeda.
Mengapa bisa
terjadi seperti ini? Dalam kacamata epistemologi, untuk bisa berpendapat dibutuhkan
bukti atau fakta segar yang lengkap dari obyek yang diteliti. Inilah kemudian
yang menjadi “bahan bakar” untuk menilai suatu obyek masalah. Dalam kasus
Papua, diskresi informasi muncul di mana semua orang bisa berpendapat semau mereka
tanpa risalah atau referensi berupa fakta yang benar. Lebih lanjut, sulit untuk
memberi argumen obyektif untuk kasus Papua ketika informasi yang beredar benar-benar
tidak ada linearitas (kesesuaian).
Bagaimana
mungkin ada informasi yang menyebutkan bahwa tambang Freeport sekarang dijaga
oleh sekumpulan tentara asing (tentara AS). Selain hal ini begitu
mengejutkan,
terlebih lagi adalah apakah benar memang ada hal seperti itu yang terjadi.
Kasus Papua benar-benar bisa dikategorikan sebagai kasus yang sangat tertutup, kalaupun
belum bisa dikategorikan masuk dalam kasus luar biasa. Yang kemudian banyak
muncul adalah argumen atau penilaian yang abstrak tentang apa yang terjadi.
Sampai saat ini, belum ada riset ilmiah atau risalah dokumenter yang bisa
dipertanggungjawabkan
secara publik. Kalaupun ada, hanya bukti catatan perjalanan
misionaris atau
riset terdahulu yang menyimak kehebatan suku Asmat, Dani, dan Baliem.
Apakah mungkin
berlarutnya kasus Papua memang terjadi karena interpretasi yang salah atau
berlebihan tentang Papua? Jelas kelima pemuda yang berdemo di depan
KBRI itu tidak
bisa dijadikan panutan. Kalaupun kita harus memilih, seharusnya pemerintah
memberi penjelasan atas simpang-siurnya informasi yang ada. Sebagai
khalayak umum,
yang kita tahu hanya efek dari masalah yang terjadi di sana. Bisa berupa jumlah
korban, intensitas konflik, atau hasil perundingan. Kalaupun terpaksa, hanyalah
“update status”dari teman-teman yang aktif di jejaring sosial yang
kebetulan berasal dari Papua atau yang pernah bekerja di sana. Lalu, ke mana perginya
fakta konkret tentang Papua?
Parahnya lagi
adalah apabila kesimpangsiuran informasi ini digunakan oleh pihak tertentu atau
bahkan dipolitisasi untuk kepentingan beberapa pihak. Alasannya mungkin mudah
ditebak, yaitu membuat kasus Papua seperti “floating mass” tidak jelas,
tak tentu arah, dan tidak selesai. Sedangkan di pihak lain, masyarakat di sana
masih terkungkung dalam kemiskinan, lemahnya birokrasi, dan layanan sosial atau
minimnya fasilitas pendidikan. Yang jelas, hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi
atau minimal diupayakan untuk “dibongkar” atau ditemukan fakta yang sahih atas
apa yang terjadi di Papua.
Mungkin berbeda
tapi bisa dijadikan pembanding adalah bagaimana rezim di Timur Tengah (Mesir,
Libya,Aljazair) tumbang. Serupa tapi tak sama, mereka juga mengalami kasus
seperti Papua dalam artian informasi yang ada sangat tidak bisa diandalkan. satu-satunya
media alternative adalah suara Al Jazeera, yang memberitakan hari per
hari apa yang sedang terjadi. Dalam hal ini juga, media jejaring sosial di sana
menjadi faktor kunci keberhasilan gerakan.
Sangat sulit
untuk mengandalkan informasi dari masyarakat Papua, mengingat infrastruktur
yang terbatas, sehingga berita dan fakta pun akhirnya menjadi barang
langka.Tetapi,
sangat mungkin untuk dicoba, menyatukan informasi melalui serpihan-
serpihan cerita
dari teman atau karib yang sedang ada di sana.Yang dibutuhkan hanya kemauan
untuk mencatat, mengkoordinasikan fakta, dan mencari celah di mana linearitas
itu muncul sehingga member gambar terang tentang fakta. Secara epistemologi,
hal ini sangat mungkin terjadi walaupun butuh waktu dan upaya yang
dahsyat.
Walaupun solusi
belum bisa didapatkan, setidaknya benang merah kasus Papua teridentifikasi. Hanya
tinggal memilah mana informasi yang sahih dan mana yang telah
direkayasa.
Semoga hal ini membantu.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar