Tantangan
dan Harapan Demokrasi (1)
R William Liddle, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK THE OHIO
STATE UNIVERSITY
Sumber
: REPUBLIKA, 16 Desember
2011
Di mana-mana dewasa ini, demokrasi
mengecewakan banyak orang. Tiga tahun lalu, Presiden Barack Obama menjanjikan
sebuah permulaan baru buat Amerika, negara demokratis tertua di dunia, namun
dia belum berhasil mengabulkan semua tuntutan masyarakatnya. Usaha presiden
langsung direspons pemberontakan Tea Party ("Partai Teh"). Partai Teh
terdiri atas aktivis kanan yang ingin menciutkan peran pemerintah, membebaskan
pebisnis dari apa yang mereka anggap belenggu peraturan negara, serta
menjatuhkan Obama.
Baru-baru ini, Obama dipukul lagi oleh Occupy Wall Street ("Menduduki Wall Street"), pemrotes kiri yang justru ingin mengencangkan peraturan tersebut dan mengutuk Obama selaku kaki-tangan pebisnis dan bankir besar.
Di Indonesia, dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipilih kembali dengan mayoritas mutlak suara pemilih, suatu prestasi yang luar biasa. Namun, setelah itu, dukungan rakyat merosot terus menurut hasil survei pendapat umum. Di Jakarta, Yudhoyono kini diserang dari segala penjuru angin. Para aktivis kiri menganggapnya antek kapitalis Barat atau "neo-liberal", sementara aktivis propasar mengeluh atas keengganannya menurunkan subsidi bahan bakar minyak. Begitu juga lainnya yang menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk mundur.
Mengingat keadaan ini, apa yang harus kita perbuat untuk memperbaiki mutu demokrasi? Bagi saya dan banyak pengamat lain, hambatan utama terhadap perbaikan demokrasi di negara modern adalah kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.
Tentu saya memaklumi bahwa serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan oleh teoretikus sosial Karl Marx pada pertengahan abad ke-19. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita untuk mengerti apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Justru sebaliknya, mereka cenderung menyuruh kita untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian (throw out the baby with the bathwater).
Padahal, kedua-duanya perlu diselamatkan. Dalam usaha penyelamatan itu, ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat. Machiavelli terkenal selaku teoretikus kejahatan politik-dan reputasi buruk itu wajar belaka. Namun, yang lebih pokok dan penting, pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.
Lepas dari kontribusi Machiavelli beserta penerus modernnya, kita perlu pula membicarakan langsung masalah penciptaan, distribusi, dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi yang bermutu tinggi di masa depan. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah itu sedang dilakukan atas nama "pendekatan kemampuan" (capabilities approach) oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf. Perintisnya adalah Amartya Sen dan Martha Nussbaum.
Cak Nur
Perhatian saya kepada perlunya teori tindakan diilhami pengalaman saya selaku pengamat up close, dari dekat, politik Indonesia. Ketika saya masih pengamat muda, Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur oleh semua orang, sangat memengaruhi pemikiran saya (Liddle 1996, khususnya Bab 5; Mujani dan Liddle 2009).
Pada 1960-an, teori-teori mapan mengenai negara-negara sedang berkembang yang saya pelajari di Amerika terasa sulit diterapkan di Indonesia. Misalnya, ramalan teori modernisasi tentang susutnya peran agama dalam politik modern tidak dibenarkan penelitian saya di Sumatra Utara. Teori dependencia, ketergantungan, yang popular di Amerika Latin pada dasawarsa 1960-an hingga 1980-an, juga kurang tajam sebagai pisau analitis untuk menguraikan keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia waktu itu.
Terdorong rasa kecewa saya dengan teori-teori mapan, saya mencoba membuka mata dan otak saya kepada ide dan wawasan baru setiap kali saya kunjungi Indonesia. Akhirnya, saya temukan beberapa aktor penting, individu-individu di dunia politik, yang secara sadar memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat. Dalam sejumlah tulisan, saya berusaha menguraikan pilihan dan tindakan Presiden Soeharto (Liddle 1996).
Menurut analisis saya, dampak pilihan dan tindakan tersebut pada masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Burma di bawah Jendral Ne Win atau masyarakat Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos.
Dari hampir awal Orde Baru, Cak Nur termasuk aktor penting yang memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat Indonesia. Berikut ringkasan analisis saya: "Bagi banyak orang Muslim Indonesia, dunia berubah pada 2 Januari 1970 ... Nurcholish secara kreatif mendefinisikan kembali hubungan antara akidah dan ibadah dalam Islam demi memenuhi keperluan duniawi dan ukhrawi sebagian masyarakat yang berpotensi luar biasa besar." (Mujani dan Liddle 2009:586).
Kemudian, lama-kelamaan, di Columbus, pendekatan baru saya dibentuk oleh lima penulis yang saya anggap sekaligus ilmuwan, aktivis politik, serta panutan: Niccolo Machiavelli (2008 [1527]); Richard E Neustadt (1990 [1960]); James MacGregor Burns (2010 [1978]); John W Kingdon (1995 [1984]); dan Richard J Samuels (2003). Kecuali Machiavelli, mereka adalah ilmuwan politik masa kini-setelah Perang Dunia Kedua-di Amerika.
Sumbangan Dahl
Menurut Robert Dahl, tantangan terbesar terhadap demokrasi yang bermutu tinggi di masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Secara ideal, setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negaranya.
Setidaknya, demokrasi dimaknai sebagai political equality, kesetaraan politik antara semua warga negara. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di masyarakat ekonomi bersistem kapitalisme pasar (capitalist market economies), baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Menjelang akhir kariernya, dalam On Democracy (1998), Dahl meringkaskan lima kesimpulan tentang hubungan antara kapitalisme pasar dan demokrasi. Ringkasan itu merupakan sekaligus penjelasan paling canggih mengenai hubungan ini dan titik berangkat yang penting bagi semua usaha serius untuk memperbaiki mutu demokrasi pada zaman kita.
Pertama, sepanjang sejarah modern, demokrasi hanya bertahan di negara-negara dengan ekonomi kapitalis pasar serta belum pernah bertahan di negara-negara dengan ekonomi nonpasar. Kedua, akrabnya hubungan empiris itu beralasan. Dalam ekonomi pasar, aktor-aktor utama sebagian besar terdiri atas individu-individu dan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak sendiri, didorong oleh insentif untung-rugi, tanpa arahan sebuah pusat.
Ketiga, demokrasi dan kapitalisme pasar berseteru terus sambil saling mengubah sifatnya masing-masing. Di Inggris menjelang pertengahan abad ke-19, kapitalisme dalam bentuk ideologi laissez faire (propasar bebas murni) berhasil menaklukkan semua pesaingnya.
Keempat, kesimpulan Dahl bahwa potensi demokrasi bermutu tinggi di sebuah negara dibatasi kapitalisme pasar yang menciptakan beberapa ketidaksamaan penting dalam distribusi sumber daya politik. Sumber daya politik didefinisikan sebagai "semua hal yang bisa digunakan untuk memengaruhi, langsung atau tidak langsung, perilaku orang lain."
Kesimpulan kelima dan terakhir Dahl mengemukakan tensi tak terelakkan di masa kini dan depan yang juga merupakan ironi besar. Pada satu segi, terciptanya lembaga-lembaga demokrasi sangat dimungkinkan dan dibantu oleh kapitalisme pasar.
Di mana-mana selama berabad-abad, negara-negara otoriter diruntuhkan ketika kelas-kelas tuan tanah (yang menguasai hampir semua sumber daya politik dalam masyarakat pramodern) dan petani (yang kurang sekali sumber daya politiknya) digantikan dengan struktur kelas yang lebih rumit.
Tugas Kita
Menurut saya, Dahl telah menunjukkan secara implisit namun jelas dua tugas pokok kita, baik di Amerika maupun di Indonesia sebagai anggota bangsa modern. Pertama, kita dianjurkan untuk bertindak selaku full citizens, warga negara penuh, sambil menyadari bahwa sementara ini sumber daya politik di tangan kita bersifat amat terbatas. Kita harus ikut main di lapangan politik meskipun kita tahu bahwa lapangan itu tidak datar melainkan curam. Segelintir pemain mengungguli pemain lain dalam jumlah dan bobot sumber daya politik yang dikuasainya.
Kedua, kita dianjurkan secara implisit oleh Dahl untuk mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik menuju distribusi yang lebih merata dan demokratis. Hal ini tidak sederhana sebab kita belum punya kerangka konseptual yang memadai tentang makna dan perincian konsep sumber daya politik. Jadi, tugas ini bersifat lebih menyeluruh atau jangka panjang. ●
Baru-baru ini, Obama dipukul lagi oleh Occupy Wall Street ("Menduduki Wall Street"), pemrotes kiri yang justru ingin mengencangkan peraturan tersebut dan mengutuk Obama selaku kaki-tangan pebisnis dan bankir besar.
Di Indonesia, dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipilih kembali dengan mayoritas mutlak suara pemilih, suatu prestasi yang luar biasa. Namun, setelah itu, dukungan rakyat merosot terus menurut hasil survei pendapat umum. Di Jakarta, Yudhoyono kini diserang dari segala penjuru angin. Para aktivis kiri menganggapnya antek kapitalis Barat atau "neo-liberal", sementara aktivis propasar mengeluh atas keengganannya menurunkan subsidi bahan bakar minyak. Begitu juga lainnya yang menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk mundur.
Mengingat keadaan ini, apa yang harus kita perbuat untuk memperbaiki mutu demokrasi? Bagi saya dan banyak pengamat lain, hambatan utama terhadap perbaikan demokrasi di negara modern adalah kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.
Tentu saya memaklumi bahwa serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan oleh teoretikus sosial Karl Marx pada pertengahan abad ke-19. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita untuk mengerti apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. Justru sebaliknya, mereka cenderung menyuruh kita untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian (throw out the baby with the bathwater).
Padahal, kedua-duanya perlu diselamatkan. Dalam usaha penyelamatan itu, ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat. Machiavelli terkenal selaku teoretikus kejahatan politik-dan reputasi buruk itu wajar belaka. Namun, yang lebih pokok dan penting, pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.
Lepas dari kontribusi Machiavelli beserta penerus modernnya, kita perlu pula membicarakan langsung masalah penciptaan, distribusi, dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi yang bermutu tinggi di masa depan. Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah itu sedang dilakukan atas nama "pendekatan kemampuan" (capabilities approach) oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf. Perintisnya adalah Amartya Sen dan Martha Nussbaum.
Cak Nur
Perhatian saya kepada perlunya teori tindakan diilhami pengalaman saya selaku pengamat up close, dari dekat, politik Indonesia. Ketika saya masih pengamat muda, Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur oleh semua orang, sangat memengaruhi pemikiran saya (Liddle 1996, khususnya Bab 5; Mujani dan Liddle 2009).
Pada 1960-an, teori-teori mapan mengenai negara-negara sedang berkembang yang saya pelajari di Amerika terasa sulit diterapkan di Indonesia. Misalnya, ramalan teori modernisasi tentang susutnya peran agama dalam politik modern tidak dibenarkan penelitian saya di Sumatra Utara. Teori dependencia, ketergantungan, yang popular di Amerika Latin pada dasawarsa 1960-an hingga 1980-an, juga kurang tajam sebagai pisau analitis untuk menguraikan keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia waktu itu.
Terdorong rasa kecewa saya dengan teori-teori mapan, saya mencoba membuka mata dan otak saya kepada ide dan wawasan baru setiap kali saya kunjungi Indonesia. Akhirnya, saya temukan beberapa aktor penting, individu-individu di dunia politik, yang secara sadar memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat. Dalam sejumlah tulisan, saya berusaha menguraikan pilihan dan tindakan Presiden Soeharto (Liddle 1996).
Menurut analisis saya, dampak pilihan dan tindakan tersebut pada masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan apa yang dialami masyarakat Burma di bawah Jendral Ne Win atau masyarakat Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos.
Dari hampir awal Orde Baru, Cak Nur termasuk aktor penting yang memilih, bertindak, dan berdampak luas pada masyarakat Indonesia. Berikut ringkasan analisis saya: "Bagi banyak orang Muslim Indonesia, dunia berubah pada 2 Januari 1970 ... Nurcholish secara kreatif mendefinisikan kembali hubungan antara akidah dan ibadah dalam Islam demi memenuhi keperluan duniawi dan ukhrawi sebagian masyarakat yang berpotensi luar biasa besar." (Mujani dan Liddle 2009:586).
Kemudian, lama-kelamaan, di Columbus, pendekatan baru saya dibentuk oleh lima penulis yang saya anggap sekaligus ilmuwan, aktivis politik, serta panutan: Niccolo Machiavelli (2008 [1527]); Richard E Neustadt (1990 [1960]); James MacGregor Burns (2010 [1978]); John W Kingdon (1995 [1984]); dan Richard J Samuels (2003). Kecuali Machiavelli, mereka adalah ilmuwan politik masa kini-setelah Perang Dunia Kedua-di Amerika.
Sumbangan Dahl
Menurut Robert Dahl, tantangan terbesar terhadap demokrasi yang bermutu tinggi di masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Secara ideal, setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil negaranya.
Setidaknya, demokrasi dimaknai sebagai political equality, kesetaraan politik antara semua warga negara. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di masyarakat ekonomi bersistem kapitalisme pasar (capitalist market economies), baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Menjelang akhir kariernya, dalam On Democracy (1998), Dahl meringkaskan lima kesimpulan tentang hubungan antara kapitalisme pasar dan demokrasi. Ringkasan itu merupakan sekaligus penjelasan paling canggih mengenai hubungan ini dan titik berangkat yang penting bagi semua usaha serius untuk memperbaiki mutu demokrasi pada zaman kita.
Pertama, sepanjang sejarah modern, demokrasi hanya bertahan di negara-negara dengan ekonomi kapitalis pasar serta belum pernah bertahan di negara-negara dengan ekonomi nonpasar. Kedua, akrabnya hubungan empiris itu beralasan. Dalam ekonomi pasar, aktor-aktor utama sebagian besar terdiri atas individu-individu dan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak sendiri, didorong oleh insentif untung-rugi, tanpa arahan sebuah pusat.
Ketiga, demokrasi dan kapitalisme pasar berseteru terus sambil saling mengubah sifatnya masing-masing. Di Inggris menjelang pertengahan abad ke-19, kapitalisme dalam bentuk ideologi laissez faire (propasar bebas murni) berhasil menaklukkan semua pesaingnya.
Keempat, kesimpulan Dahl bahwa potensi demokrasi bermutu tinggi di sebuah negara dibatasi kapitalisme pasar yang menciptakan beberapa ketidaksamaan penting dalam distribusi sumber daya politik. Sumber daya politik didefinisikan sebagai "semua hal yang bisa digunakan untuk memengaruhi, langsung atau tidak langsung, perilaku orang lain."
Kesimpulan kelima dan terakhir Dahl mengemukakan tensi tak terelakkan di masa kini dan depan yang juga merupakan ironi besar. Pada satu segi, terciptanya lembaga-lembaga demokrasi sangat dimungkinkan dan dibantu oleh kapitalisme pasar.
Di mana-mana selama berabad-abad, negara-negara otoriter diruntuhkan ketika kelas-kelas tuan tanah (yang menguasai hampir semua sumber daya politik dalam masyarakat pramodern) dan petani (yang kurang sekali sumber daya politiknya) digantikan dengan struktur kelas yang lebih rumit.
Tugas Kita
Menurut saya, Dahl telah menunjukkan secara implisit namun jelas dua tugas pokok kita, baik di Amerika maupun di Indonesia sebagai anggota bangsa modern. Pertama, kita dianjurkan untuk bertindak selaku full citizens, warga negara penuh, sambil menyadari bahwa sementara ini sumber daya politik di tangan kita bersifat amat terbatas. Kita harus ikut main di lapangan politik meskipun kita tahu bahwa lapangan itu tidak datar melainkan curam. Segelintir pemain mengungguli pemain lain dalam jumlah dan bobot sumber daya politik yang dikuasainya.
Kedua, kita dianjurkan secara implisit oleh Dahl untuk mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik menuju distribusi yang lebih merata dan demokratis. Hal ini tidak sederhana sebab kita belum punya kerangka konseptual yang memadai tentang makna dan perincian konsep sumber daya politik. Jadi, tugas ini bersifat lebih menyeluruh atau jangka panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar