Sabtu, 24 Maret 2018

Literasi Politik Generasi Milenial

Literasi Politik Generasi Milenial
Muhammadun  ;   Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
                                               KORAN JAKARTA, 19 Maret 2018



                                                           
Hasil riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Januari 2018 terkait literatur keislaman mencatat generasi milenial banyak membaca literatur keislamaan terkait radikalisme. Ini sangat berbahaya karena mereka juga menyenangi bacaan instan di media sosial dan online tanpa sikap kritis atau mencari sumber asli.

Dalam riset ini juga dijelaskan literatur keislaman yang umum diakses generasi milenial bercorak jihad, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Corak ini berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya. Dalam hal ini, literatur jihad paling sedikit peminatnya, sedangkan islamisme popular paling banyak diminati.

Prof Noorhaidi Hasan (2018) menegaskan, literatur jihad menggambarkan dunia kini berada dalam situasi perang sehingga menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan Islam. Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas merujuk langsung sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat ini.

Sementara itu, literatur islamisme popular mengusung tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam kehidupan yang dikemas dalam fiksi, popular, dan komik. Menurut Dr Suhadi (2018), generasi milenial berkecenderungan mengonsumsi bacaan instan. Kalau menginginkan sesuatu, mereka serbacepat dan mudah.

Inilah yang mengantarkan mereka ke bacaan-bacaan yang tidak mendalam, sebagaimana dalam literatur klasik. Saat ini, kaum radikal mampu menyajikan bahan bacaan yang mudah dan ringan, sesuai dengan minta generasi milenial. Walaupun tidak banyak yang membaca literatur jihadi berbahaya, mereka tetap berbahaya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.

Riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini tentu saja berbeda ruang dan waktu dengan kasus cadar yang baru saja terjadi di UIN Sunan Kalijaga. Kasus cadar serupa juga terjadi di berbagai kampus Indonesia dan instansi tertentu. Tetapi keduanya saling terkait karena perempuan yang memakai cadar melihat sebagai keyakinan. Padahal, cadar dalam perspektif Islam merupakan produk riset, bukan doktrin/keyakinan. Para ulama pun berbeda pendapat terkait cadar.

Keyakinan mahasiswi bercadar sangat terkait dengan bacaan. Mereka adalah generasi milenial yang tidak mampu mengakses sumber ajaran Islam dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab dengan kekuatan sastra tinggi. Akhirnya, mereka mencari jalan pintas, memenuhi semangat beragama dari sumber bacaan paling mudah didapat.

Tanpa terjebak dalam bahasa “salah” dan “benar,” cadar mengindikasikan bahwa generasi milenial mempunyai semangat beragama tinggi, tetapi miskin literatur keislamaan dari sumber primer. Dalam riset tadi, generasi milenial banyak terjebak dalam bacaan yang condong kepada jihad dan radikalisme. Ini sangat berbahaya karena mereka berpotensi menjadi “ledakan politik” yang mambahayakan masa depan NKRI.

Terkait status cadar sendiri, menurut Imam Nakha’i (2018), mayoritas ulama, kecuali mazhab Syafi’iyyah, berpendapat mengenakan cadar tidak wajib. Bahkan Ulama Malikiyah berpendapat, pengenaan cadar bagian dari berlebih-lebihan dalam beragama. Bahkan sebagian mereka menyatakan bahwa mengenakan cadar justru menimbulkan fitnah, membuat kekacauan, dan segregasi sosial. Maka, cadar seharusnya ditinggalkan.

Para ulama tampaknya sepakat bahwa wajah dan telapak tangan perempuan, bukan aurat. Maka, beberapa lembaga yang melarang cadar karena niqab justru sebagai simbol aliran tertentu dan malah menimbulkan keresahan, tidaklah bertentangan dengan syariah, sebaliknya, justru didukung mayoritas ulama.

Terjebak

Dari sini, jelas sekali bahwa cadar bukanlah soal keyakinan/doktrin. Cadar adalah produk ijtihad para ulama. Hasilnya tidak menjadi keyakinan umat Islam. Kalau ada umat Islam yang baru-baru ini meyakininya sebagai keyakinan, menurut Al-Makin (2018), mereka terjebak dalam gerakan radikalisme yang menggunakan identitas keagamaan sebagai ideologi politik. Mereka bukannya mau memperjuangkan agama, tapi menggunakan agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Radikalisme pada ujungnya juga ingin berkuasa, mengambil alih negara.

Makanya, generasi milenial yang begitu mudah mengakses bacaan instan sangat rentan dengan gerakan radikalisme global. Mereka ini yang akan menjadi bom waktu dalam gejolak peradaban Islam. Hal ini terbukti dari berbagai kasus di Timur Tengah.

Karena berangkat dari bacaan instan, riset Pascasarjana UIN Suka juga mencatat, generasi milenial akan mudah sekali dibelokkan ideologinya ke arah gerakan radikal. Yang paling memungkinkan untuk melakukan lewat gerakan politik.

Makanya, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 sangat rentan menjadi dentuman perubahan generasi milenial dari islamisme populer menuju jihadi. Generai milenial termasuk lumbung suara nasional, sehingga akan menjadi rebutan peserta pilkada dan Pemilu 2019. Ini sangat berbahaya karena taruhannya masa depan NKRI.

Inilah tantangan kebangsaan yang harus menjadi refleksi bersama. Kasus cadar hanya sekelumit dari implikasi literatur keislaman yang dibaca generasi milenial. Masih banyak kasus lain yang bisa muncul kapan saja karena literatur keislamaan yang salah dibaca bisa menghasilkan doktrin ajaran yang sangat mengganggu pola tindakan.

Untuk itu, semua elemen bangsa harus bersama-sama mengimbangi bacaan instan generasi milenial dengan menghadirkan pustaka bacaan baru yang kritis dan mendidik. Generasi milenial akan terus berubah, sehingga bangsa ini harus terus mengaji dan mengevaluasi gerak langkah dalam menata kebangsaan dan kenegaraan.

Generasi milenial jangan sampai menjadi benalu bangsa. Mereka potensi membangun Indonesia masa depan. Bacaan kritis generasi milenial harus diberikan para akademisi secara serius. Menurut Prof Amin Abdullah (2017), kalau akademisi tidak serius melahirkan bacaan kritis bagi generasi milenial, masa depan mereka mengkhawatirkan.

Mereka harus tumbuh dalam secara kritis, agar mampu mencerna setiap persoalan secara komprehensif. Semua akademisi harus “turun gunung” secara kompak membangun arus baru yang menyegarkan generasi milenial.

Kaum akademisi juga harus melakukan literasi politik bagi generasi milenial untuk melahirkan kecerdasan kaum muda dalam memahami spektrum dunia politik, khususnya ideologi politik dan variannya. Dengan demikian, generasi milenial tidak antipolitik, namun tetap kritis dalam membaca setiap gejolak politik.

Literasi politik harus dikerjakan berbagai pihak, khususnya akademisi, tokoh agama/masyarakat, dan wakil rakyat. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan juga bertanggung jawab mendidik politik generasi milenial. Pilkada 2018 jangan sampai menghabiskan energi semata, tanpa mencerdaskan generasi milenial dalam menyongsong Indonesia masa depan. ●

1 komentar:

  1. Prediksi Togel Sgp Mbah Bonar 27 Februari 2020 <a href="https://indextogel.org/prediksi-togel/prediksi-togel-sgp-mbah-bonar-27-februari-2020/ > Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu hari ini </a> Gabung sekarang dan Dapatkan Potongan Setiap Hari !!!

    BalasHapus