Minggu, 25 Maret 2018

Erotika Hidung dan Identitas

Erotika Hidung dan Identitas
Jean Couteau  ;   Penulis Kolom UDAR RASA di Kompas Minggu
                                                        KOMPAS, 25 Maret 2018



                                                           
Berstatus orang bule di Indonesia, saya kerap menghabiskan waktu untuk menyangkal adanya perbedaan yang berarti antara kultur dan ras. Saya berupaya untuk menyatukan impian universalis Perancis, warisan Revolusi 1789 itu, dengan impian universalisme khas Indonesia, di mana manusia sama-sama merupakan warga Tuhan (Pancasila 1945).

Akhir-akhir ini, ada beberapa hal yang membuat saya mempertanyakan universalisme ini. Oh! Tenang aja, saya tidak mau memperdebatkan keunggulan agama ini atau itu. Tidak! Saya hanya mau membicarakan suatu hal di mana perbedaan mencolok justru karena tidak pernah dibicarakan. Soal hidung.

Saya telah lama percaya bahwa istri saya telah memilih saya karena semacam keunggulan intelektual yang, pikir saya dengan bodoh, inheren pada diri saya. Arogan khas bule Perancis! Akan tetapi, akhir-akhir ini, saya baru menyadari betapa saya keliru. ”Waktu bertemu sama Jean,” ucap dia baru-baru ini, ”yang paling saya sukai adalah hidungnya, mancung, dengan semacam belahan di ujungnya.”Jadi, yang paling disukai ibu dosen pada penulis yang maunya kondang ini adalah bentuk hidungnya!! Saya kaget, dan seketika, sembari hidung saya naikkan, arogansi intelektual saya turun sederajat. Lalu, dia berbicara tentang orang berhidung bagus yang pernah dia temui. Turun sederajat lagi. Namun, syukurlah, pikiran saya masih normal. Dan dari pengalaman pribadi di atas ini muncul berbagai pertimbangan.

Yang pertama menyangkut erotika kepala. Di dalam konteks tradisional Indonesia, jangan coba menggigit kuping orang yang disayangi. Reaksinya bisa garang. Jangan mengelus dahi dan ubun- ubunnya—tempat di mana roh kehidupan masuk dan keluar; dianggap menghina. Jangan juga mencoba berkecup-kecupan. Menjijikkan. Tinggal hidung. Di situ, no problem, bebas. Digesek kanan-kiri, atas-bawah, boleh, tetapi yang paling diminati adalah mengendus atau ”menciumi” hidung lawan jenisnya. Jadi, tak ayal hidung adalah fokus dari erotika khas Nusantara. Dengan puncak sublimasi tarian ”Tambulilingan” di Bali. Dan puncak lainnya entah apa lagi.

Dari erotika kepala ini muncul pertanyaan yang, mau tidak mau, bersifat rasis. Mengapa orang bule jarang mempraktikkan ciuman hidung: apakah karena gesekannya terhalangi batang hidung yang memang terlampau menonjol? Bisa jadi: saya memang agak sulit mengesek-gesek hidung istri. Maka, bukankah ada semacam kodrat alamiah yang menyebabkan orang bule terpaksa mengalihkan fokus erotika dari hidung ke mulut, seperti apa pun baunya? Tidak mustahil. Apalagi konon ciuman mulut itu dibawa dari India ke Eropa (Yunani) oleh tentara Iskandar Agung pada abad ke-4 SM; dan hidung orang India memang rada mancung, kan? Kenyataan ini telah memunculkan pertanyaan susulan di kalangan cendekiawan terhormat seperti saya: Sejauh mana segi kodrati hidung menjadi determinan sikap ras: apakah memang ada dua kategori manusia, ras berhidung pesek di satu pihak, yang secara alamiah cenderung mengendus, yaitu berciuman dengan hidung; dan ras berhidung mancung di lain pihak, yang karena gesekannya terhalangi kemancungannya, terpaksalah ia berkecupan. Menurut Mc Willis (2006: 201), pembagian manusia berdasarkan bentuk hidung ini perlu mendapat perhatian dari para ahli genetika dan semiotika. Lebih penting daripada warna kulit, karena menentukan gairah dan reproduksi! Serius lho….

Sayangnya, dibantu imperialisme Amerika, sebuah pasta gigi dan demam film Hollywood, kebiasaan berkecupan tengah memukul mundur ciuman hidung asli Nusantara. Menurut penelitian LSAN (Lembaga Survey Andal Nusantara), yang mengacu pada kategori rasial Mc Willis di atas, tak kurang dari 67 persen warga metropolitan Jakarta, yang 99 persen berhidung pesek, telah beralih ke pola berciuman ala hidung mancung. Ini nyata lho!

Namun, nasib para hidung pesek bukan tanpa harapan. Menurut Kumar Baba (2002: 8), abad ke-21 ini adalah Abad Asia, yang akan disertai perubahan dari keseluruhan sistem nilai. Memang ketika gesekan hidung aktor China akan se-erotis French kiss-nya ala Marlon Brando, orang Jakarta pun tak ayal akan kembali ke jati diri berhidung pesek, lengkap dengan endusannya. Lalu, yang akan menjadi fokus identitas bukan lagi agama atau etnisitas, melainkan kepesekan hidung khas Nusantara. Imperialisme kultural pada akhirnya akan lunglai.

Sementara itu, siapa tahu, nun di kota-kota Eropa, atau bahkan di Indonesia, akan ada satu-dua bule berhidung mancung, seperti saya, yang akan terus menggesek-gesek hidung istri Nusantaranya karena tidak percaya pada perbedaan mutlak etnisitas, agama, atau apa pun lainnya. ●

1 komentar: