Selasa, 27 Maret 2018

Bubar

Bubar
Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                      TEMPO.CO, 24 Maret 2018



                                                           
Apa yang sesungguhnya terjadi pada negeri kita di tahun 2030? Apakah betul negara ini bubar? Padahal ada yang bilang justru pada tahun-tahun itulah ekonomi kita membaik. "Ah, jadi bingung," ini keluhan cucu saya, anak kelas VI sekolah dasar.

Apa yang ia katakan sudah saya sarikan kalimatnya. Saya tak kaget. Dia generasi milenial yang akrab dengan media sosial dan sering dimarahi ibunya karena tak bisa lepas dari handphone. Tapi pemahamannya tentu tetap sebatas anak-anak. Maka, jawaban saya adalah, "Kamu jangan berpikir yang berat, kamu tak akan kuat. Kakek saja yang mikir."

Sulit menjelaskan kepada bocah itu Indonesia bubar dari sepotong pidato Ketua Umum Gerindra Prabowo, yang hanya berdurasi satu menit 19 detik. Prabowo, yang konon anti-asing itu, justru menyebut Indonesia bubar dari kajian orang asing. Dan, astaga, kajian yang dimaksudkan ternyata dari sebuah novel.

Cucu saya pasti tidak paham bahwa kita sebagai manusia tak bisa sungguh-sungguh tahu apa yang terjadi pada waktu yang akan datang. Itu rahasia Tuhan. Apalagi tahun 2030, yang akan terjadi pada Juni nanti pun belum bisa kita ketahui. Siapa yang akan menang dalam pilkada Jawa Barat atau Jawa Timur, kita tak tahu. Tapi orang bisa memprediksi dari gejala yang muncul. Dan prediksi itu sesungguhnya masih dalam wilayah apa yang disebut ramalan.

Adapun ramalan tak bisa dipastikan kebenarannya. Tapi ramalan sering kali dijadikan bahan untuk introspeksi atau berjaga-jaga. Besok diramalkan akan hujan, maka kita siapkan payung kalau bepergian. Ternyata tidak hujan, ya, payungnya disimpan. Seminggu ke depan diramalkan gunung akan erupsi lebih hebat, maka kita siapkan perlindungan. Bahwa gunung itu tidak jadi erupsi, justru itu yang kita harapkan, termasuk permohonan dalam setiap doa. Jadi, ramalan yang berkonotasi buruk memberi kesempatan kepada kita untuk berjaga-jaga. Sedangkan ramalan yang konotasinya baik tidak membuat kita takabur. Dengan kata lain, prediksi atau ramalan tak boleh membuat kita jadi takut. Jika ketakutan yang muncul, kita telah kalah sebagai manusia.

Yang lebih rumit adalah jika ramalan dikaitkan dengan keyakinan. Atau, dengan bahasa sederhana, ada keyakinan yang sumbernya dalam kitab rujukan agama bahwa suatu masa, kelak, akan terjadi sesuatu--misalnya peristiwa buruk. Cobalah lacak YouTube, begitu maraknya ada pertanda akan datangnya hari kiamat. Tanda-tanda akhir zaman itu diucapkan para ustad dengan merujuk ke kitab suci Al-Quran dan dipatut-patutkan dengan situasi di Arab atau belahan dunia lainnya yang mayoritas Islam. Apakah orang menyikapinya dengan ketakutan kalau kiamat itu sudah muncul pertandanya? Seharusnya tidak. Justru orang berlomba berbuat yang terbaik, siapa tahu hari akhir itu memang benar-benar terjadi secara tak terduga.

Namun, bagaimana kalau ada yang tidak yakin? Kalau kiamat pertandanya sudah ada menurut keyakinan umat Islam-barangkali tidak mewakili seluruh umat-bagaimana dengan umat non-Islam? Hindu mengenal kiamat itu sebagai mahapralaya, dan belum ada tanda-tanda akan datang sesuai dengan keyakinan Hindu. Kalau begitu, bumi yang cuma satu ini mengikuti kiamat yang mana? Kan tak mungkin sebagian kiamat dan sebagian tidak.

Begitu pulalah kalau disebutkan Indonesia akan bubar pada 2030. Indonesia-nya siapa yang Anda yakini? Indonesia-nya Prabowo atau Jokowi? Keduanya punya "ramalan" yang berbeda. Karena ternyata Indonesia cuma satu, mari ikuti Jokowi yang optimistis dan juga ikuti Prabowo untuk berjaga-jaga, agar negeri yang indah ini tidak sampai bubar. ●

1 komentar: