Era Baru Pengelolaan Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-sekarang); Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN
SINDO, 09 Oktober 2015
Tata kelola
kebutuhan pokok, terutama pangan, memasuki era baru. Ini ditandai oleh
semakin kuatnya payung hukum pengaturan pangan.
Pertama tentu
UU No 18/2012 tentang Pangan dengan garis politik yang tegas: kedaulatan
pangan. Disusul kemudianUU No 7/2014 tentang Perdagangan. Pasal 25 UU
Perdagangan mengatur pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang
penting di seluruh wilayah Indonesia. Pasal ini memungkinkan pemerintah
mengintervensi saat terjadi kegagalan pasar (market failure), baik saat harga jatuh maupun melambung tinggi.
Harapannya
inflasi bisa dikendalikan. Payung hukum makin lengkap setelah pada 15 Juni
lalu terbit Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga
Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Kebutuhan pokok ada 11 barang, sebagian
besar pangan: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah,
gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam
ras, ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/ tuna/cakalang).
Sedangkan barang
penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3
kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan. Lewat perpres ini
pemerintah berharap bisa mengatasi rutinitas gejolak melalui penetapan harga
dan pengendalian stok.
Harus diakui,
Indonesia tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian
harga. Tidak usah jauh-jauh, dengan Malaysia, kita ketinggalan. Ketika di
Indonesia gejolak harga kebutuhan pokok jadi rutinitas, di Malaysia tidak
terjadi. Ini karena Malaysia memiliki The
Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang, sebagian besar
makanan, sejak 1946.
Juga The Control of Supplies Act pada 1961
yang mengatur keluar-masuk barang diperbatasan. Dalam UU tersebut harga 225
kebutuhan sehari warga masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar).
Sebaliknya, di Indonesia ada kecenderungan menyerahkan harga pangan pada
pasar.
Hampir semua
harga pangan, kecuali beras, diserahkan mekanisme pasar. Orientasi ini tak
salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan
konsumen pejal pada guncangan pasar. Instrumen stabilisasi juga terbatas.
Sejak Bulog
dikebiri, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan
besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Kini penyangga dan pengatur
harga itu diambil alih swasta. Mereka yang hanya segelintir itu menguasai
distribusi komoditas pangan.
Kehadiran UU
Pangan, UU Perdagangan, dan Perpres No 71/2015 telah memberi asa baru. Namun,
untuk menjalankan perangkat hukum ini masih diperlukan aturan turunan. Yang
mendesak tentu aturan turunan dari Perpres No 71/2015 dalam bentuk peraturan
menteri perdagangan (permendag) yang mengatur penetapan harga kebutuhan pokok
dan barang penting.
Permendag musti
memerinci harga tiap barang, pemberlakuan harga (khusus baik menjelang, saat,
dan setelah hari besar keagamaan atau saat terjadi gejolak harga), mekanisme
pengawasan, lembaga pengawas berikut sanksisanksinya. Berkaca pada Malaysia,
pengawasan harga berjalan efektif sejak dibentuk Majelis Harga Negara pada
2008.
Majelis
bertugas memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung
cadangan pangan nasional. Di tingkat bawah, ada Majelis Kawalan yang diisi
ibu-ibu sebagai volunter. Mereka rutinmelaporkanhasil monitoring ke Majelis
Harga. Jika ada penyimpangan, sanksi denda dan kurungan menanti.
Berkaca dari
pengungkapan penyimpangan pupuk bersubsidi, di Indonesia monitoring sebaiknya
melibatkan peran masyarakat. Juga memanfaatkan output Tim Pengendali Inflasi
Daerah. Tinggal formulasi sanksi. Jika bentuknya administratif, kemungkinan
tidak akan efektif.
Terkait
stabilisasi harga pangan, efektivitasnya amat bergantung pada formulasi harga
yang ditetapkan pemerintah berikut instrumen pendukungnya. Jika bentuknya
harga acuan dan harga pembelian pemerintah, mustahil akan efektif contohnya
HPP beras. HPP beras yang diatur sejak 2000 hingga 2015 tidak lebih dari
harga acuan. Dalam Inpres Perberasan No 5/2015 misalnya, HPP beras medium
ditetapkan Rp7.300/kg.
Di pasar harga
beras medium jauh di atas HPP, bahkan mencapai lebih Rp10 ribu/kg. Selain
itu, keberhasilan stabilisasi harga pangan amat ditentukan oleh instrumen
pendukung. Instrumen ini mencakup stok/cadangan, pengaturan impor (waktu dan
kuota), jumlah anggaran, dan lembaga pelaksana. Keberadaan stok/cadangan jadi
keniscayaan jika pemerintah berharap bisa melakukan intervensi saat terjadi
kegagalan pasar (market failure).
Jika harga
melambung tinggi, stok bisa digelontorkan ke pasar agar daya beli konsumen
terjaga. Sebaliknya, ketika harga jatuh, lewat lembaga yang ditunjuk negara
hadir sebagai penyelamat produsen pangan dengan membeli semua surplus
produksi. Terkait stok/cadangan, keberadaan Peraturan Pemerintah No 17/2015
tentang Ketahanan Pangan dan Gizi jadi amat penting. PP ini merupakan aturan
turunan dari UU Pangan.
Dalam PP itu
cadangan pangan terbagi tiga level: pemerintah pusat, daerah, dan desa. Di
Pasal 3 PP No 17/2015 diatur, cadangan hanya ada pada pangan pokok tertentu
yakni pangan yang diproduksi dan dikonsumsi sebagian besar masyarakat
Indonesiayangbilaketersediaan dan harganya terganggu dapat memengaruhi
stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Jenis pangan
pokok tertentu ini harus ditetapkan Presiden, dan jumlah cadangannya
ditetapkan kepala lembaga pemerintah. Hampir bisa dipastikan, jenis pangan
pokok tertentu ini tidak akan jauh dari 11 kebutuhan pokok yang diatur
Perpres No 71/2015. Jika benar demikian, agar rezim baru pengelolaan pangan
ini efektif, setidaknya diperlukan dua langkah.
Pertama,
Presiden segera menetapkan jenis pangan pokok tertentu yang diatur
cadangannya. Kedua, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan seperti
amanat Pasal 126-129 UU Pangan. Kemudian kepala lembaga ini menetapkan jumlah
cadangan pangan pokok tertentu.
Bulog bisa menjaditangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan
dan stabilisasi harga. Lembaga baru pangan ini nanti bertugas merumuskan
kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Didukung
anggaran yang memadai, sepertinya tak berlebihan berharap pengelolaan pangan
memasuki era baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar