Rabu, 14 Oktober 2015

Meruwat Lakon Gugurnya KPK

Meruwat Lakon Gugurnya KPK

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                       KOMPAS, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mimpi buruk lalimnya tirani korupsi yang telah menaklukkan nurani para wakil rakyat untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi tampaknya belum usai. Berbagai cara telah mereka lakukan, antara lain dengan mencoba menghilangkan sifat lex specialis dalam menyusun RUU KUHP dan merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Alasan pokoknya, UU itu menjadikan KPK lembaga super yang nyaris tidak dapat dikontrol karena itu perlu direvisi agar tidak ditunggangi ambisi dan kepentingan politik.

Upaya mutakhir adalah munculnya draf revisi UU KPK yang oleh beberapa pihak isinya dinilai mengejutkan. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengaku belum membaca naskahnya, tetapi terpaksa menandatangani usulan revisi UU KPK karena terdesak waktu. Dalam proses semacam itu, tidak terlalu salah jika publik merasa penyusunan naskah RUU itu dilakukan secara sembarangan, mendadak, dan grusa-grusu. Akibatnya, tidak heran jika muncul dugaan revisi itu sarat kepentingan politik.

Ketentuan di draf revisi UU KPK yang dikhawatirkan mengakibatkan komisi anti rasuah itu gugur, antara lain, adalah batas eksistensi KPK 12 tahun, penghapusan kewenangan penuntutan, pembatasan penanganan perkara kerugian negara harus di atas Rp 50 miliar, kewenangan penyadapan, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta tiadanya kewenangan merekrut penyelidik dan penyidik independen.

Upaya merevisi UU No 30/2002 sendiri bukanlah perbuatan haram. Namun, di tengah ganasnya tirani korupsi yang mengancam eksistensi bangsa dan negara, sentimen publik sangat peka terhadap gagasan regulasi yang dianggap dapat melumpuhkan KPK. Oleh sebab itu, sekiranya revisi UU KPK diperlukan, misalnya agar kontrol terhadap komisi itu diperketat, niat politiknya harus untuk penguatan KPK. Sebab, publik masih sangat percaya kepada KPK karena lembaga itu dinilai berhasil memenjarakan elite politik dan parpol yang menyalahgunakan kekuasaan. Kepercayaan publik terhadap KPK jauh lebih besar dibandingkan kepada lembaga penegak hukum lain, seperti kejaksaan dan kepolisian.

Pada awal reformasi, sentimen publik sejalan dengan niat politik para pengambil keputusan. Maka, sasaran utama kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah aparat penegak hukum. Hal itu secara terang benderang ditegaskan dalam Tap MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Tap MPR itu antara lain dinyatakan ”arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum”.

Kisah lakon gugurnya KPK apabila tidak dilakukan pencegahan dikhawatirkan akan berlanjut ke kematian lembaga anti rasuah tersebut. Jika nalar sudah membal, akal budi sudah dicengkeram nafsu angkara murka, maksiat batin telah menggantikan suara hati, kearifan lokal menawarkan ritual ruwatan untuk mencegah terjadinya aib yang menyengsarakan banyak orang. Inti spirit upacara itu adalah membersihkan batin dari segala dosa untuk menangkal musibah.

Metafora itu dalam konteks kekinian adalah membangkitkan kekuatan dan partisipasi penuh rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Nalar publik harus lebih perkasa dari rasionalitas elite yang sudah aus karena digerogoti nafsu serakah. Kekuatan publik harus bangkit agar demokrasi tidak terjebak, yang dalam ungkapan sinikal Lippman, dikutip oleh Noam Chomsky (2015), dalam buku How The World Works, rakyat yang semestinya berdaulat, praktiknya hanya sebagai kerumunan manusia yang kebingungan (bewildered herd). Rakyat hanya penonton. Fungsinya, meratifikasi keputusan politik dan menyeleksi wakil rakyat melalui pemilu.

Kemungkinan lain, demokrasi terjebak dalam aliran ekstrem positivisme Thomas Hobbes (1558-1679) yang dikutip Otto Gusti Madung (2009) yang menyebutkan otoritas kekuasaan jadi satu-satunya sumber legitimasi hukum. Auctoritas, non veritas facit legem (otoritas, dan bukan kebenaran yang menciptakan hukum). Artinya, praktik demokrasi Indonesia mirip demokrasi kuno di Athena ribuan tahun lalu. Rakyat hanya dianggap sebagai kumpulan manusia yang punya fungsi amat primer, yaitu berburu makanan dan memproduksi keturunan. Karena itu, yang paling cocok, pemerintah harus dipimpin oleh kombinasi antara filosof dan kesatria.

Momentum revisi UU No 30/2002 belum tepat. Mungkin agenda yang lebih mendesak adalah menjabarkan gagasan RUU Dana Parpol yang antara lain telah lama menjadi wacana kalangan internal parpol. Bahkan, PDI-P telah membuka diri kepada masyarakat sipil untuk memberi masukan tentang isu tersebut. Agenda itu amat penting karena dapat menjadi titik awal mengontrol dana parpol yang selama ini tidak pernah jelas asal-usulnya. Harapan lain, semoga Presiden tetap kukuh menolak rencana revisi tersebut sehingga lakon gugurnya KPK tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar