Dampak Melorotnya Anggaran Dikti
Jasman J Ma'ruf ; Rektor Universitas Teuku Umar, Meulaboh,
Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Oktober 2015
RESAH dan gelisah. Begitulah
perasaan Rektor PTN menunggu dan berharap terjadi perubahan besaran pagu
alokasi dana APBN Pendidikan Tinggi yang diplotkan melalui Kementerian Riset,
Tekonologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Betapa tidak,
ketika APBN 2016 (Rp2.121,3 triliun) naik jika dibandingkan APBN-P 2015
(Rp1.984,1 triliun), pagu anggaran pendidikan di Kemenristek dan Dikti justru
menurun tajam, sebelumnya (2015) sebesar Rp43,6 triliun menjadi Rp38 triliun
(pemangkasannya mencapai 12,8%). Yang lebih merisaukan lagi ialah harga naik
dan nilai rupiah jika dibanding dengan valuta asing pun semakin merosot.
Perasaan Rektor PTN semakin
resah dan gelisah saat membayangkan dampak pemotongan dana APBN di
Kementerian yang mengurus pendidikan tinggi itu. Dipastikan akan terjadi
pengurangan anggaran prioritas, seperti beasiswa peningkatan prestasi
akademik (PPA), beasiswa sarjana mendidik di daerah terdepan, tertinggal, dan
terluar (SM3T), biaya operasional kepada perguruan tinggi negeri (BOPTN), dan
beasiswa dosen S-2/S-3.
Pada 2015, pemerintah
menyediakan beasiswa untuk 20.700 dosen, sedangkan pada 2016 jumlah
penerimanya turun sangat tajam, yaitu menjadi 7.500 dosen. Beasiswa SM3T 2015
diberikan kepada 10.400 sarjana, tapi pada 2016 merosot menjadi 7.000
sarjana. Penurunan kuota paling parah terjadi dalam jumlah penerima beasiswa
PPA. Pada 2015, penerima beasiswa itu mencapai 121.000 siswa, sedangkan pada
2016 penerima beasiswa hanya mencapai 50 ribu siswa. Bahkan, banyak lagi
program penting lainnya yang terabaikan dan belum mendapat alokasi sama
sekali, antara lain seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN),
seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), pengabdian kepada
masyarakat, dan pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan.
Gundah gulana
Dengan adanya pemangkasan yang
amat signifikan ini, wajar jika para sivitas akademik PTN gundah gulana.Pasalnya,
yang merasakan dampak secara langsung ialah para mahasiswa harapan bangsa
yang selama ini sudah dijadikan program prioritas Pemerintah. Negeri ini
milik mereka. Merekalah yang nantinya menjadi penentu keberhasilan atau
kegagalan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar global yang
semakin kompetitif dalam waktu dekat ini.
Andai SDM tidak dipersiapkan
dengan baik, Indonesia akan menjadi penonton dan bahkan akan menjadi korban
dalam persaingan yang semakin ketat di pasar masyarakat ekonomi ASEAN yang
sudah ada di depan mata kita. Lembaga yang dipercaya dapat mempersiapkan
dengan baik SDM yang prima dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di
lingkungan global ini ialah perguruan tinggi.Semakin bermutu perguruan tinggi
tertentu, semakin besar pula peluang menghasilkan SDM yang hebat.
Bagaimana pun, salah satu
variabel penentu mutu perguruan tinggi ialah ketercukupan dana yang digunakan
dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan tinggi. Namun, sayangnya,
anggaran pendidikan tinggi kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Hal itu
dibuktikan dengan pagu anggaran Kemenristek dan Dikti 2016 yang diplotkan
sebesar Rp38 T atau hanya 1,79% dari APBN 2016 yang besarnya Rp2.121,3 T. Apa
yang bisa diharap dengan anggaran pendidikan tinggi yang kurang dari 2% APBN?
Sungguh berat rasanya mengharapkan PTN Indonesia sejajar dengan perguruan
tinggi di luar negeri. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, pendanaan yang kuat
ialah tulang punggung berjalannya fungsi-fungsi dalam sistem pendidikan tinggi.
Sesuai dengan putusan Mahkamah
Konstitusi No 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN. Alokasi anggaran pendidikan
lebih spesifik dituangkan dalam Pasal 49 UU No 20/2003 Pasal 1, yaitu dana pendidikan,
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20%
dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Dengan demikian, pagu dana
pendidikan APBN 2016 ialah 20% dari Rp 2.121,3T atau setara dengan Rp424,26
T. Jika dibandingkan dengan pagu anggaran Kemenristek dan Dikti (Rp38 T)
dengan total dana pendidikan (Rp424,26 T), terdapat ketimpangan yang amat
nyata. Praktis dana Dikti hanya 8,95% dari total anggaran pendidikan
nasional.
Peluang tersisa
Jika dibandingkan dengan
negara-negara yang sukses mengelola pendidikan, besaran pengaloka sian
anggaran pendidikan tinggi dengan total dana pendidikan cenderung
proporsional dan rasional. Misalnya, Prancis (18,99% dari total dana
pendidikan), Inggris (22,22%), Turki (30%), Austria (30,97%), Denmark
(40,70%), dan Finlandia (46,36%). Perguruan tinggi sebagai pusat pembangunan
peradaban bangsa tentu harus mendapat perhatian lebih.
Mutu pendidikan level mana pun
amat bergantung pada mutu pendidikan perguruan tinggi. Perguruan tinggi juga
memiliki peran sebagai pusat kreativitas, inovasi, dan pembangunan karakter
bangsa.
Dengan beban berat yang
dipundakkan pada perguruan tinggi, wajar jika PTN harus mendapatkan penga
lokasian dana pendi dikan yang lebih propor sional dan rasional.
Masyarakat kita sering
mengkritik posisi rangking PTN yang tidak menempati posisi terbaik di pering
kat global atau Asia. Bah kan, sekali pun jika diban dingkan dengan Thailand,
Malaysia, atau Singapura, sebagian besar PTN kita masih berada jauh di ba wah
universitas dari ketiga negara tersebut.
Sementara itu, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kapabilitas dosen di PTN jika dibandingkan
dengan dosen-dosen di negara-negara ASEAN. Diduga, salah satu variabel
penentu rendahnya rangking PTN jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di
negara-negara ASEAN ialah sumber daya energi finansial yang terbatas sehingga
tak mampu menggerakkan dengan sempurna fungsi-fungsi dalam sistem perguruan
tinggi berkenaan.
Di satu sisi, masyarakat
mengkritik, di sisi lain, meskipun SDM PTN memiliki kapabilitas yang memadai,
kapabilitas tersebut tak bisa bekerja dengan baik karena tidak didukung
energi finansial sebagai penggerak yang memadai.
Akhirnya, harapan lagi-lagi
sukar diwujudkan. Hampir semua PTN di Indonesia memiliki visi ingin menjadi
salah satu universitas terbaik di peringkat global.
Visi tersebut tentu sukar
diwujudkan jika tidak disertai sumber daya finansial yang sewajarnya. Kata
sahibul hikayat, fenomena semacam ini disebut nafsu kuat tenaga kurang. Akhirnya,
visi tinggal visi, yang diimpi tak pernah terealisasi. Agar hal ini tak
terjadi, mulai hari ini, mari kita melihat dengan hati yang jernih
permasalahan ini, lalu siapkan perencanaan keuangan pendidikan tinggi yang
matang, dan kemudian diimplementasikan dalam kebijakan nasional yang pro
kemajuan pendidikan tinggi nasional.
Selain itu, penting bagi setiap
perguruan tinggi di Indonesia untuk membuka diri seluas-luasnya mencari
hubungan kerja sama dengan semua pemangku kepentingan pendidikan tinggi, misalnya,
dunia usaha, industri, dan lembaga-lembaga donor yang juga menyediakan banyak
ragam bantuan. Hal itu harus dilakukan, mengingat output perguruan tinggi
ialah dunia usaha dan industri serta masyarakat secara umum.Karena itu,
membuat inisiatif yang imajinatif dengan mendorong setiap program studi
membuat asesmen terhadap dunia usaha dan industri harus segera dilakukan. Kekurangan
anggaran tidak harus diratapi secara pasif sehingga perguruan tinggi
kehilangan kreativitas dan imajinasi untuk membangun relasi yang bisa
menguntungkan semua pihak. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar