Kamis, 15 Oktober 2015

Dampak Melorotnya Anggaran Dikti

Dampak Melorotnya Anggaran Dikti

Jasman J Ma'ruf  ;  Rektor Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh
                                             MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RESAH dan gelisah. Begitulah perasaan Rektor PTN menunggu dan berharap terjadi perubahan besaran pagu alokasi dana APBN Pendidikan Tinggi yang diplotkan melalui Kementerian Riset, Tekonologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Betapa tidak, ketika APBN 2016 (Rp2.121,3 triliun) naik jika dibandingkan APBN-P 2015 (Rp1.984,1 triliun), pagu anggaran pendidikan di Kemenristek dan Dikti justru menurun tajam, sebelumnya (2015) sebesar Rp43,6 triliun menjadi Rp38 triliun (pemangkasannya mencapai 12,8%). Yang lebih merisaukan lagi ialah harga naik dan nilai rupiah jika dibanding dengan valuta asing pun semakin merosot.

Perasaan Rektor PTN semakin resah dan gelisah saat membayangkan dampak pemotongan dana APBN di Kementerian yang mengurus pendidikan tinggi itu. Dipastikan akan terjadi pengurangan anggaran prioritas, seperti beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA), beasiswa sarjana mendidik di daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (SM3T), biaya operasional kepada perguruan tinggi negeri (BOPTN), dan beasiswa dosen S-2/S-3.

Pada 2015, pemerintah menyediakan beasiswa untuk 20.700 dosen, sedangkan pada 2016 jumlah penerimanya turun sangat tajam, yaitu menjadi 7.500 dosen. Beasiswa SM3T 2015 diberikan kepada 10.400 sarjana, tapi pada 2016 merosot menjadi 7.000 sarjana. Penurunan kuota paling parah terjadi dalam jumlah penerima beasiswa PPA. Pada 2015, penerima beasiswa itu mencapai 121.000 siswa, sedangkan pada 2016 penerima beasiswa hanya mencapai 50 ribu siswa. Bahkan, banyak lagi program penting lainnya yang terabaikan dan belum mendapat alokasi sama sekali, antara lain seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), pengabdian kepada masyarakat, dan pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan.

Gundah gulana

Dengan adanya pemangkasan yang amat signifikan ini, wajar jika para sivitas akademik PTN gundah gulana.Pasalnya, yang merasakan dampak secara langsung ialah para mahasiswa harapan bangsa yang selama ini sudah dijadikan program prioritas Pemerintah. Negeri ini milik mereka. Merekalah yang nantinya menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar global yang semakin kompetitif dalam waktu dekat ini.

Andai SDM tidak dipersiapkan dengan baik, Indonesia akan menjadi penonton dan bahkan akan menjadi korban dalam persaingan yang semakin ketat di pasar masyarakat ekonomi ASEAN yang sudah ada di depan mata kita. Lembaga yang dipercaya dapat mempersiapkan dengan baik SDM yang prima dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di lingkungan global ini ialah perguruan tinggi.Semakin bermutu perguruan tinggi tertentu, semakin besar pula peluang menghasilkan SDM yang hebat.

Bagaimana pun, salah satu variabel penentu mutu perguruan tinggi ialah ketercukupan dana yang digunakan dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan tinggi. Namun, sayangnya, anggaran pendidikan tinggi kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan pagu anggaran Kemenristek dan Dikti 2016 yang diplotkan sebesar Rp38 T atau hanya 1,79% dari APBN 2016 yang besarnya Rp2.121,3 T. Apa yang bisa diharap dengan anggaran pendidikan tinggi yang kurang dari 2% APBN? Sungguh berat rasanya mengharapkan PTN Indonesia sejajar dengan perguruan tinggi di luar negeri. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, pendanaan yang kuat ialah tulang punggung berjalannya fungsi-fungsi dalam sistem pendidikan tinggi.

Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN. Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan dalam Pasal 49 UU No 20/2003 Pasal 1, yaitu dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

Dengan demikian, pagu dana pendidikan APBN 2016 ialah 20% dari Rp 2.121,3T atau setara dengan Rp424,26 T. Jika dibandingkan dengan pagu anggaran Kemenristek dan Dikti (Rp38 T) dengan total dana pendidikan (Rp424,26 T), terdapat ketimpangan yang amat nyata. Praktis dana Dikti hanya 8,95% dari total anggaran pendidikan nasional.

Peluang tersisa

Jika dibandingkan dengan negara-negara yang sukses mengelola pendidikan, besaran pengaloka sian anggaran pendidikan tinggi dengan total dana pendidikan cenderung proporsional dan rasional. Misalnya, Prancis (18,99% dari total dana pendidikan), Inggris (22,22%), Turki (30%), Austria (30,97%), Denmark (40,70%), dan Finlandia (46,36%). Perguruan tinggi sebagai pusat pembangunan peradaban bangsa tentu harus mendapat perhatian lebih.
Mutu pendidikan level mana pun amat bergantung pada mutu pendidikan perguruan tinggi. Perguruan tinggi juga memiliki peran sebagai pusat kreativitas, inovasi, dan pembangunan karakter bangsa.

Dengan beban berat yang dipundakkan pada perguruan tinggi, wajar jika PTN harus mendapatkan penga lokasian dana pendi dikan yang lebih propor sional dan rasional.

Masyarakat kita sering mengkritik posisi rangking PTN yang tidak menempati posisi terbaik di pering kat global atau Asia. Bah kan, sekali pun jika diban dingkan dengan Thailand, Malaysia, atau Singapura, sebagian besar PTN kita masih berada jauh di ba wah universitas dari ketiga negara tersebut.

Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kapabilitas dosen di PTN jika dibandingkan dengan dosen-dosen di negara-negara ASEAN. Diduga, salah satu variabel penentu rendahnya rangking PTN jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di negara-negara ASEAN ialah sumber daya energi finansial yang terbatas sehingga tak mampu menggerakkan dengan sempurna fungsi-fungsi dalam sistem perguruan tinggi berkenaan.

Di satu sisi, masyarakat mengkritik, di sisi lain, meskipun SDM PTN memiliki kapabilitas yang memadai, kapabilitas tersebut tak bisa bekerja dengan baik karena tidak didukung energi finansial sebagai penggerak yang memadai. 

Akhirnya, harapan lagi-lagi sukar diwujudkan. Hampir semua PTN di Indonesia memiliki visi ingin menjadi salah satu universitas terbaik di peringkat global.
Visi tersebut tentu sukar diwujudkan jika tidak disertai sumber daya finansial yang sewajarnya. Kata sahibul hikayat, fenomena semacam ini disebut nafsu kuat tenaga kurang. Akhirnya, visi tinggal visi, yang diimpi tak pernah terealisasi. Agar hal ini tak terjadi, mulai hari ini, mari kita melihat dengan hati yang jernih permasalahan ini, lalu siapkan perencanaan keuangan pendidikan tinggi yang matang, dan kemudian diimplementasikan dalam kebijakan nasional yang pro kemajuan pendidikan tinggi nasional.

Selain itu, penting bagi setiap perguruan tinggi di Indonesia untuk membuka diri seluas-luasnya mencari hubungan kerja sama dengan semua pemangku kepentingan pendidikan tinggi, misalnya, dunia usaha, industri, dan lembaga-lembaga donor yang juga menyediakan banyak ragam bantuan. Hal itu harus dilakukan, mengingat output perguruan tinggi ialah dunia usaha dan industri serta masyarakat secara umum.Karena itu, membuat inisiatif yang imajinatif dengan mendorong setiap program studi membuat asesmen terhadap dunia usaha dan industri harus segera dilakukan. Kekurangan anggaran tidak harus diratapi secara pasif sehingga perguruan tinggi kehilangan kreativitas dan imajinasi untuk membangun relasi yang bisa menguntungkan semua pihak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar