Jumat, 16 Oktober 2015

1 Muharam 1437, Hari Santri Nasional

1 Muharam 1437, Hari Santri Nasional

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
                                                      JAWA POS, 14 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

JANJI sudah diucapkan setahun silam. Di Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur, Joko Widodo pernah bersepakat untuk mengadakan Hari Santri Nasional. Kita masih ingat predikat Joko Widodo belum presiden. Pada 27 Juni 2014, Joko Widodo adalah calon presiden. Janji itu digenapi dengan pengucapan bismillahirrahmanirrahim serta tanda tangan. Di depan ulama dan santri, Joko Widodo turut bersepakat agar peringatan 1 Muharam berarti juga peringatan Hari Santri Nasional.

Janji pantas ditagih setelah Joko Widodo berhasil menjadi presiden Republik Indonesia (2014–2019). Apakah janji itu harus segera terwujud? Kalangan ulama dan santri tampak tak sabar menanti penetapan Hari Santri Nasional. Janji sudah berusia setahun. Mereka terus menagih. Tapi, Joko Widodo sedang sibuk bekerja mengurusi asap dan korupsi serta menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kita mengira Joko Widodo tak melupakan janji.

Di banyak kota dan desa, peringatan 1 Muharam 1437 Hijriah tetap ramai dengan berbagai acara dan renungan religius. Selebrasi kultural pun tersaji demi mengerti kesejarahan waktu di Nusantara. Hari Santri Nasional belum bisa diperingati berbarengan dengan peringatan 1 Muharam 1437 H. Acaraacara yang berwujud pengajian, doa bersama, festival, kirab, dan kesenian tetap digelar rutin untuk peringatan 1 Muharam 1437 H.

Mereka telah berikhtiar dengan ”mengubah” janji. Semula, Hari Santri Nasional diinginkan bertepatan dengan 1 Muharam 1437 H. Pilihan tanggal tersebut berubah. Janji masih mungkin diperbarui tanpa merusak mufakat. Di Masjid Istiqlal pada 14 Juni 2015, ulama dan santri NU bertemu lagi dengan Joko Widodo sebagai presiden. Pertemuan berbeda nuansa saat harapan-harapan ingin diwujudkan. Pertemuan berlangsung di masjid, bukan lagi di pondok pesantren. Mereka masih mengurusi Hari Santri Nasional. Janji itu teramat penting, sulit dilupakan atau diremehkan meski detik-detik bergerak sangat cepat. Joko Widodo dalam acara NU itu terbukti masih ingat janji, belum lupa atau ingkar. Beliau tetap memastikan bakal mengadakan Hari Santri Nasional. 

Penetapan hari peringatan tersebut sesuai dengan misi besar pemerintah: revolusi mental. Makna selebrasi Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk menguatkan revolusi mental di kalangan santri. Harapan semakin membesar.
Janji pun berubah. Di kalangan NU, usulan peringatan Hari Santri Nasional dikehendaki pada 22 Oktober 2015. Dulu, janji dikehendaki untuk diwujudkan pada 1 Muharam 1437 H. Joko Widodo menampung usulan, berharap mengerti argumentasi perubahan tanggal. Usulan pilihan tanggal beragam dari pelbagai kalangan. NU tampak ambisius memilih 22 Oktober 2015, mengacu ke ingatan hari bersejarah tahun 1945. Pemaknaan Hari Santri Nasional diinginkan bereferensi sejarah dan pembuktian peran santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Santri menjadi simbol gerakan nasionalisme dan pemuliaan Indonesia. Simbol itu memerlukan acuan peristiwa.

Saat isi janji diubah, Indonesia sedang berada dalam suasana muktamar. NU dan Muhammadiyah mengadakan muktamar dengan seruan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan. Urusan Hari Santri Nasional mungkin terselip alias agak tersingkir oleh kemunculan pidatopidato dan tulisan-tulisan yang menjelaskan Islam Nusantara serta Islam Bekemajuan. Di kalangan NU, pilihan tanggal sudah jelas. Tapi, di kalangan Muhammadiyah, belum ada suara atau usulan gamblang untuk turut menentukan Hari Santri Nasional. Situasi itu cenderung bernuansa NU. Para petinggi NU terus berikhtiar agar penetapan berhasil. Mereka juga mengungkapkan bahwa keinginan tersebut tak melulu dari NU. Berbagai organisasi Islam telah bertemu, rapat, dan bertanda tangan di lembaran-lembaran resmi demi kesuksesan Hari Santri Nasional.

Barangkali ada pihak yang ragu, kebermaknaan Hari Santri Nasional itu milik NU atau Indonesia. Jutaan santri memang menempuh pembelajaran agama di ribuan pesantren bercap NU. Mereka pantas memberikan makna paling terbesar dan terdalam. Apakah murid-murid di sekolah umum atau madrasah diperbolehkan turut memperingati Hari Santri Nasional? Kita gampang memberikan jawaban: boleh. Siapa santri? Jawaban patut diberikan para penggagas, ulama NU, menteri agama, presiden, atau tokoh agama. Jawaban mesti gamblang dan berdasar referensi sejarah, kultural, agama, pendidikan, sosial, serta nasionalisme. Jawaban masih ditunggu dengan sabar, tak usah tergesa.

Kita mending ikut mencari penjelasan soal pilihan tanggal 22 Oktober 2015 sebagai Hari Santri Nasional oleh NU. Tanggal itu mengingatkan kejadian di Surabaya, 22 Oktober 1945. Para santri membentuk laskar demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ribuan santri dan ulama berani berkorban demi Indonesia. Mereka melawan penjajah, tak takut mati. Kejadian itu bersambung dengan peristiwa bersejarah 10 November 1945. Kejadian- kejadian tersebut merupakan argumentasi paling ampuh dalam penjelasan nasionalisme para santri di sejarah Indonesia! Kita diajak lagi melek sejarah agar tak meremehkan peran ulama dan santri. Sejarah memang tak melulu mencatat nama-nama dari kalangan partai politik, militer, atau kaum muda. Barangkali pilihan tanggal itu juga bermaksud ke penulisan sejarah santri di Indonesia.

Kini 1 Muharam 1437 H ”gagal” ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Para petinggi NU dan santri sudah berjanji mengadakan acara meriah untuk peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015. Barangkali Joko Widodo masih sibuk. NU menjanjikan bahwa peringatan bakal bermakna dan memicu persetujuan Joko Widodo. Acara terpenting dalam Hari Santri Nasional adalah kirab dari Tugu Pahlawan (Surabaya) sampai Tugu Proklamasi (Jakarta). Kirab diadakan pada 18–22 Oktober 2015. Barangkali kirab itu sudah dianggap sebagai ”pengesahan” Hari Santri Nasional meski terkesan ambisius dan belum melibatkan pelbagai pihak secara representatif. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar