1 Muharam 1437, Hari Santri Nasional
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 14 Oktober 2015
JANJI sudah diucapkan setahun
silam. Di Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur, Joko Widodo pernah
bersepakat untuk mengadakan Hari Santri Nasional. Kita masih ingat predikat
Joko Widodo belum presiden. Pada 27 Juni 2014, Joko Widodo adalah calon
presiden. Janji itu digenapi dengan pengucapan bismillahirrahmanirrahim serta
tanda tangan. Di depan ulama dan santri, Joko Widodo turut bersepakat agar
peringatan 1 Muharam berarti juga peringatan Hari Santri Nasional.
Janji pantas ditagih setelah
Joko Widodo berhasil menjadi presiden Republik Indonesia (2014–2019). Apakah
janji itu harus segera terwujud? Kalangan ulama dan santri tampak tak sabar
menanti penetapan Hari Santri Nasional. Janji sudah berusia setahun. Mereka
terus menagih. Tapi, Joko Widodo sedang sibuk bekerja mengurusi asap dan
korupsi serta menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kita mengira Joko Widodo tak
melupakan janji.
Di banyak kota dan desa,
peringatan 1 Muharam 1437 Hijriah tetap ramai dengan berbagai acara dan
renungan religius. Selebrasi kultural pun tersaji demi mengerti kesejarahan
waktu di Nusantara. Hari Santri Nasional belum bisa diperingati berbarengan dengan
peringatan 1 Muharam 1437 H. Acaraacara yang berwujud pengajian, doa bersama,
festival, kirab, dan kesenian tetap digelar rutin untuk peringatan 1 Muharam
1437 H.
Mereka telah berikhtiar dengan
”mengubah” janji. Semula, Hari Santri Nasional diinginkan bertepatan dengan 1
Muharam 1437 H. Pilihan tanggal tersebut berubah. Janji masih mungkin
diperbarui tanpa merusak mufakat. Di Masjid Istiqlal pada 14 Juni 2015, ulama
dan santri NU bertemu lagi dengan Joko Widodo sebagai presiden. Pertemuan
berbeda nuansa saat harapan-harapan ingin diwujudkan. Pertemuan berlangsung
di masjid, bukan lagi di pondok pesantren. Mereka masih mengurusi Hari Santri
Nasional. Janji itu teramat penting, sulit dilupakan atau diremehkan meski
detik-detik bergerak sangat cepat. Joko Widodo dalam acara NU itu terbukti
masih ingat janji, belum lupa atau ingkar. Beliau tetap memastikan bakal
mengadakan Hari Santri Nasional.
Penetapan hari peringatan tersebut sesuai
dengan misi besar pemerintah: revolusi mental. Makna selebrasi Hari Santri
Nasional dimaksudkan untuk menguatkan revolusi mental di kalangan santri.
Harapan semakin membesar.
Janji pun berubah. Di kalangan
NU, usulan peringatan Hari Santri Nasional dikehendaki pada 22 Oktober 2015.
Dulu, janji dikehendaki untuk diwujudkan pada 1 Muharam 1437 H. Joko Widodo
menampung usulan, berharap mengerti argumentasi perubahan tanggal. Usulan
pilihan tanggal beragam dari pelbagai kalangan. NU tampak ambisius memilih 22
Oktober 2015, mengacu ke ingatan hari bersejarah tahun 1945. Pemaknaan Hari
Santri Nasional diinginkan bereferensi sejarah dan pembuktian peran santri
dalam mempertahankan kemerdekaan. Santri menjadi simbol gerakan nasionalisme
dan pemuliaan Indonesia. Simbol itu memerlukan acuan peristiwa.
Saat isi janji diubah,
Indonesia sedang berada dalam suasana muktamar. NU dan Muhammadiyah
mengadakan muktamar dengan seruan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan.
Urusan Hari Santri Nasional mungkin terselip alias agak tersingkir oleh
kemunculan pidatopidato dan tulisan-tulisan yang menjelaskan Islam Nusantara
serta Islam Bekemajuan. Di kalangan NU, pilihan tanggal sudah jelas. Tapi, di
kalangan Muhammadiyah, belum ada suara atau usulan gamblang untuk turut
menentukan Hari Santri Nasional. Situasi itu cenderung bernuansa NU. Para
petinggi NU terus berikhtiar agar penetapan berhasil. Mereka juga
mengungkapkan bahwa keinginan tersebut tak melulu dari NU. Berbagai
organisasi Islam telah bertemu, rapat, dan bertanda tangan di
lembaran-lembaran resmi demi kesuksesan Hari Santri Nasional.
Barangkali ada pihak yang ragu,
kebermaknaan Hari Santri Nasional itu milik NU atau Indonesia. Jutaan santri
memang menempuh pembelajaran agama di ribuan pesantren bercap NU. Mereka
pantas memberikan makna paling terbesar dan terdalam. Apakah murid-murid di
sekolah umum atau madrasah diperbolehkan turut memperingati Hari Santri
Nasional? Kita gampang memberikan jawaban: boleh. Siapa santri? Jawaban patut
diberikan para penggagas, ulama NU, menteri agama, presiden, atau tokoh
agama. Jawaban mesti gamblang dan berdasar referensi sejarah, kultural,
agama, pendidikan, sosial, serta nasionalisme. Jawaban masih ditunggu dengan
sabar, tak usah tergesa.
Kita mending ikut mencari
penjelasan soal pilihan tanggal 22 Oktober 2015 sebagai Hari Santri Nasional
oleh NU. Tanggal itu mengingatkan kejadian di Surabaya, 22 Oktober 1945. Para
santri membentuk laskar demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ribuan santri dan ulama berani berkorban demi Indonesia. Mereka melawan
penjajah, tak takut mati. Kejadian itu bersambung dengan peristiwa bersejarah
10 November 1945. Kejadian- kejadian tersebut merupakan argumentasi paling
ampuh dalam penjelasan nasionalisme para santri di sejarah Indonesia! Kita
diajak lagi melek sejarah agar tak meremehkan peran ulama dan santri. Sejarah
memang tak melulu mencatat nama-nama dari kalangan partai politik, militer,
atau kaum muda. Barangkali pilihan tanggal itu juga bermaksud ke penulisan
sejarah santri di Indonesia.
Kini 1 Muharam 1437 H ”gagal”
ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Para petinggi NU dan santri sudah
berjanji mengadakan acara meriah untuk peringatan Hari Santri Nasional pada
22 Oktober 2015. Barangkali Joko Widodo masih sibuk. NU menjanjikan bahwa
peringatan bakal bermakna dan memicu persetujuan Joko Widodo. Acara terpenting
dalam Hari Santri Nasional adalah kirab dari Tugu Pahlawan (Surabaya) sampai
Tugu Proklamasi (Jakarta). Kirab diadakan pada 18–22 Oktober 2015. Barangkali
kirab itu sudah dianggap sebagai ”pengesahan” Hari Santri Nasional meski
terkesan ambisius dan belum melibatkan pelbagai pihak secara representatif.
Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar