Kamis, 15 Oktober 2015

Mengakhiri Pro Revisi UU KPK

Mengakhiri Pro Revisi UU KPK

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
                                             MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJAK semula, eksistensi dan masa depan KPK terganggu dengan tiga bentuk ancaman. Pertama, membatasi otoritas atau wewenang lembaga antirasywah ini menggunakan jalur hukum berupa pengajuan permohonan uji materiil  (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya, sejauh ini, telah hampir 20 kali UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diuji konstitusionalitasnya di Medan Merdeka Barat. Terakhir, langkah serupa tengah dicoba pula oleh OC Kaligis. Alhamdulillah, Mahkamah Konstitusi tetap mengukuhkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kedua, resistensi dari lembaga-lembaga penegak hukum konvensional. Paling tidak ancaman berupa resistensi tersebut bisa dilacak dari beberapa kali ketegangan yang terjadi antara KPK dan kepolisian. Melacak serangkaian ketegangan yang pernah terjadi di antara kedua institusi ini, pengalaman himpitan peristiwa yang terjadi dari awal tahun 2015 merupakan tragedi yang paling mengkhawatirkan. Sebagaimana diketahui, dampak dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, kepolisian menetapkan pula beberapa pihak di KPK sebagai tersangka. Sulit dibantah, implikasi dari rangkaian peristiwa ini, KPK benar-benar berada dalam situasi paling sulit sejak kehadirannya.

Sekiranya hendak memberikan pandangan secara jujur, tragedi yang menimpa beberapa pihak di KPK, termasuk Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dipicu Pasal 32 ayat (2) UU No 30/2002 yang mengatur, bila pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Karena penyusunan norma yang begitu terbuka, siapa saja pimpinan KPK dengan mudah bisa dijadikan tersangka karena kemungkinan melakukan tindak pidana sebelum menjadi bagian dari lembaga antirasywah ini.

Selain dari kedua ancaman di atas, ancaman ketiga dapat dilacak dari rencana revisi UU No 30/2002. Sejak semula saya berpandangan, upaya menghambat laju KPK melalui proses legislasi dapat dikatakan amat serius. Sekalipun Mahkamah Konstitusi telah berulang kali meneguhkan posisi KPK, langkah merevisi UU No 30/2002 amat mungkin melumpuhkan KPK sebagai lembaga yang ditempelkan status extraordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi sejak reformasi. Misalnya, membaca draf usulan perubahan UU No 30/2002 yang terkuak ke masyarakat dalam beberapa hari terakhir keinginan untuk melumpuhkan KPK menjadi sulit dibantah.

Lisan menjadi tulisan

Meskipun pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa rencana revisi UU No 30/2002 telah muncul begitu KPK mulai menunjukkan sepak-terjangnya dalam memberantas korupsi, semuanya masih berada dalam bingkai diskursus alias wacana lisan. Dari perkembangan yang ada, langkah konkret merevisi UU No 30/2002 mulai terlihat dengan upaya memasukkannya ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2011. Di tengah rencana ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi menegaskan bahwa DPR tidak akan memangkas kewenangan penuntutan KPK. Boleh jadi sebagai bagian dari rencana tersebut, Maret 2012, sejumlah anggota Komisi III studi banding ke luar negeri mempelajari komisi independen seperti KPK.

Langkah konkret berikutnya, 3 Juli 2012, rapat internal Komisi III DPR sampai pada kesepakatan bahwa semua fraksi setuju merevisi terhadap UU No 30/2002. Saat itu muncul pemahaman dari Komisi III DPR bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc, KPK tak diperkenankan merekrut penyidik sendiri, dan KPK harus mengantongi izin pengadilan saat menyadap seseorang (Kompas, 9/10). Untungnya, kesepakatan revisi UU No 30/2002 belum memunculkan naskah konkret seperti sekarang. Bahkan, lebih beruntung lagi, saat berpidato di Istana Negara (8/10/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa perubahan UU No 30/2002 belum tepat dilakukan.

Setelah terhenti beberapa waktu, berbarengan dengan ketegangan hubungan KPK dan polisi, awal Februari 2015, beberapa kekuatan politik di DPR memunculkan kembali rencana revisi UU No 30/2002. Rencana ini tidak mendapat perhatian yang begitu luas. Rencana ini benar-benar mendapat perhatian ketika Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR (16/6). Sekalipun Yasonna menyatakan usul revisi berasal dari DPR, pernyataan `pemerintah tidak dapat menolak usulan DPR' sangat mengejutkan dan benar-benar menunjukkan langkah serius merevisi UU No 30/2002.

Terlepas dari asal rancangan revisi UU No 30/200, naskah yang beredar luas di masyarakat dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa upaya merevisi ini tidak pernah berhenti. Di atas itu semua, naskah perubahan yang beredar di tengah masyarakat menjadi bukti konkret bergeraknya wacana (dalam bahasa lisan) menjadi naskah tertulis rancangan naskah usulan perubahan. Artinya, bentangan fakta yang muncul beberapa hari terakhir menjadi gambaran dan sekaligus keprihatinan bahwa masa depan KPK benar-benar tengah berada dalam ancaman serius. Bahkan, kejadian belakangan dapat dikatakan yang paling serius.

Alasan merevisi

Ihwal revisi, sebagaimana dikemukakan dalam “Belum Waktunya Merevisi UU KPK“ (Media Indonesia, 22/6), saya mengemukakan bahwa jikalau hendak menilik kembali UU No 30/2002, memang terdapat alasan melakukan perubahan. Misalnya, potensi bom waktu kriminalisasi yang tersimpan di dalam Pasal 32 ayat (2) dapat dijadikan salah satu argumentasi merevisi UU No 30/2002. Tidak hanya itu, kebutuhan adanya penyidik yang direkrut KPK sendiri dapat dijadikan sebagai alasan lain.

Sebagaimana diketahui, meski tidak ada larangan untuk merekrut penyidik sendiri dan langkah ini telah dimulai KPK, keberadaan penyidik yang direkrut sendiri selalu dipersoalkan.

Selain kebutuhan di atas, dari sistem legislasi kita, semua pihak memang dapat mengajukan usul perubahan atau revisi sebuah UU. Bahkan, tidak hanya revisi, sebagai pemegang kuasa legislasi DPR dan/atau pemerintah dapat mengajukan UU yang sama sekali baru. Namun demikian, sebagai bagian dari upaya mewujudkan sistem hukum nasional, pembentukan dan penyusunan UU dimulai melalui Prolegnas. Dalam hal ini, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011) menyatakan bahwa Prolegnas merupakan instrumen perencanaan dalam program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

Sebagaimana dinukilkan sebelumnya (Media Indonesia, 26/6), secara hukum, merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No 12/2011, presiden atau DPR diberikan kesempatan untuk mengajukan rancangan undangundang di luar Prolegnas dengan kondisi yang sangat ketat. Artinya, rancangan di luar Prolegnas hanya dibenarkan apabila terdapat prakondisi yang bertujuan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam.

Kondisi kedua, keadaan tertentu lainnya, memastikan adanya urgensi nasional terhadap rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri hukum dan HAM.

Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan bahwa tahap awal dari proses legislasi bermula dari pencantuman dalam Prolegnas agar pembentukannya benar-benar terencana. Perencanaan diperlukan agar pembentukan, baik merupakan revisi maupun rancangan yang benar-benar baru sama sekali, harus dilakukan secara terencana dan tidak didasarkan kepentingan sesaat. Bagaimanapun, kehadiran masuk dalam Prolegnas dapat juga dimaknai sebagai warning bagi semua pihak yang terkait dengan usulan sebelum rancangan undang-undang benar-benar dibahas ketika tahap pembahasan bersama di DPR.

Sekalipun secara substansial dan sistem perundang-undangan memungkinkan guna melakukan revisi terhadap UU No 30/2002, melihat perkembangan yang terjadi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merevisi terhadap UU yang menjadi dasar hadir lembaga antirasywah ini. Dengan membaca draf rancangan revisi UU No 30/2002 yang muncul ke publik, tergambar betapa besarnya keinginan untuk mereduksi KPK. Bisa dipastikan, bilamana konsep dalam draf naskah tersebut benar-benar menjadi UU, KPK akan kehilangan peran dan arti pentingnya dalam desain besar pemberantasan korupsi di negeri ini.

Yang perlu dicatat, berbagai pihak khawatir, bilamana langkah melakukan revisi UU No 30/2002 dilakukan di tengah suasana ketidaksukaan dan kemarahan terhadap KPK, maka hampir dapat dipastikan revisi akan hadir dengan norma yang membunuh dan mengangkangi semangat kehadiran KPK sebagaimana termaktub dalam sejumlah produk hukum di awal reformasi. Misalnya, gagasan memberi waktu 12 tahun dalam naskah yang muncul ke publik, dapat dikatakan tidak memahami bahaya ancaman korupsi terhadap masa depan Indonesia. 

Sebagai perbandingan, negara tetangga kita Thailand memahami betul ancaman korupsi sehingga mereka memasukkan lembaga seperti KPK ke level konstitusi. Pertanyaannya, apakah ancaman korupsi di Indonesia lebih kecil dibanding Thailand hingga muncul rencana mengurangi kewenangan KPK?

Benteng terakhir

Saya dan juga banyak kalangan yang konsen atas masa depan agenda pemberantasan korupsi, naskah yang beredar ke masyarakat belum tentu keinginan semua kekuatan politik di DPR. Paling tidak, melihat perkembangan mutakhir, jumlah kekuatan politik yang menolak rencana revisi UU No 30/2002 akan semakin menguat. Bagaimanapun, mayoritas kalangan DPR pasti masih dan sangat menyadari bahaya korupsi terhadap masa depan Indonesia. 
Bilamana kesadaran akan ancaman korupsi masih besar maka tidak cukup alasan merevisi UU No 30/2002. Artinya, revisi masih mungkin dilakukan jika hanya bertujuan memperkuat KPK.

Namun demikian, bilamanapun mayoritas kekuatan politik di DPR masih tidak berubah sikap, sistem kita masih memiliki benteng terakhir untuk mempertahankan masa depan KPK. Melihat desain legislasi dalam UUD 1945 ancaman melalui produk legislasi akan benar-benar terjadi bila presiden (pemerintah) juga memiliki keinginan yang sama dengan mayoritas kekuatan politik DPR.Artinya, selama presiden berada pada posisi yang berbeda, ancaman pemangkasan wewenang KPK masih bisa diatasi melalui proses legislasi. Terkait dengan hal ini, rasanya kita masih bisa memiliki rasa optimisme karena Presiden Joko Widodo telah berulang kali mengemukakan bahwa Istana tidak dalam posisi hendak merevisi UU No 30/2002.

Sebagai benteng terakhir untuk menjaga masa depan KPK dengan wewenang seperti yang masih eksis, tidak salah mengikuti langkah yang pernah dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono, baiknya Presiden Jokowi menyampaikan langsung dan secara terbuka bahwa sikap ini. Jika perlu, pernyataan tersebut disampaikan dan dihadiri oleh pembantu presiden yang terkait dengan isu revisi UU No 30/2002. Saya percaya, jika ini dilakukan, pro-kontra di sekitar revisi UU No 30/2002 bisa dikurangi dan juga dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar