Mengakhiri Pro Revisi UU KPK
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Oktober 2015
SEJAK semula, eksistensi dan
masa depan KPK terganggu dengan tiga bentuk ancaman. Pertama, membatasi
otoritas atau wewenang lembaga antirasywah ini menggunakan jalur hukum berupa
pengajuan permohonan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah
Konstitusi. Setidaknya, sejauh ini, telah hampir 20 kali UU No 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diuji
konstitusionalitasnya di Medan Merdeka Barat. Terakhir, langkah serupa tengah
dicoba pula oleh OC Kaligis. Alhamdulillah, Mahkamah Konstitusi tetap
mengukuhkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua, resistensi dari
lembaga-lembaga penegak hukum konvensional. Paling tidak ancaman berupa
resistensi tersebut bisa dilacak dari beberapa kali ketegangan yang terjadi
antara KPK dan kepolisian. Melacak serangkaian ketegangan yang pernah terjadi
di antara kedua institusi ini, pengalaman himpitan peristiwa yang terjadi
dari awal tahun 2015 merupakan tragedi yang paling mengkhawatirkan. Sebagaimana
diketahui, dampak dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai
tersangka, kepolisian menetapkan pula beberapa pihak di KPK sebagai
tersangka. Sulit dibantah, implikasi dari rangkaian peristiwa ini, KPK
benar-benar berada dalam situasi paling sulit sejak kehadirannya.
Sekiranya hendak memberikan
pandangan secara jujur, tragedi yang menimpa beberapa pihak di KPK, termasuk
Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dipicu Pasal 32 ayat (2) UU No 30/2002
yang mengatur, bila pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya. Karena penyusunan norma yang begitu
terbuka, siapa saja pimpinan KPK dengan mudah bisa dijadikan tersangka karena
kemungkinan melakukan tindak pidana sebelum menjadi bagian dari lembaga
antirasywah ini.
Selain dari kedua ancaman di
atas, ancaman ketiga dapat dilacak dari rencana revisi UU No 30/2002. Sejak
semula saya berpandangan, upaya menghambat laju KPK melalui proses legislasi
dapat dikatakan amat serius. Sekalipun Mahkamah Konstitusi telah berulang
kali meneguhkan posisi KPK, langkah merevisi UU No 30/2002 amat mungkin
melumpuhkan KPK sebagai lembaga yang ditempelkan status extraordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi sejak
reformasi. Misalnya, membaca draf usulan perubahan UU No 30/2002 yang terkuak
ke masyarakat dalam beberapa hari terakhir keinginan untuk melumpuhkan KPK
menjadi sulit dibantah.
Lisan menjadi tulisan
Meskipun pada bagian terdahulu
dikemukakan bahwa rencana revisi UU No 30/2002 telah muncul begitu KPK mulai
menunjukkan sepak-terjangnya dalam memberantas korupsi, semuanya masih berada
dalam bingkai diskursus alias wacana lisan. Dari perkembangan yang ada,
langkah konkret merevisi UU No 30/2002 mulai terlihat dengan upaya
memasukkannya ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2011. Di tengah
rencana ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi menegaskan bahwa DPR
tidak akan memangkas kewenangan penuntutan KPK. Boleh jadi sebagai bagian
dari rencana tersebut, Maret 2012, sejumlah anggota Komisi III studi banding
ke luar negeri mempelajari komisi independen seperti KPK.
Langkah konkret berikutnya, 3
Juli 2012, rapat internal Komisi III DPR sampai pada kesepakatan bahwa semua
fraksi setuju merevisi terhadap UU No 30/2002. Saat itu muncul pemahaman dari
Komisi III DPR bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc, KPK tak diperkenankan merekrut penyidik sendiri, dan KPK
harus mengantongi izin pengadilan saat menyadap seseorang (Kompas, 9/10).
Untungnya, kesepakatan revisi UU No 30/2002 belum memunculkan naskah konkret
seperti sekarang. Bahkan, lebih beruntung lagi, saat berpidato di Istana
Negara (8/10/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa
perubahan UU No 30/2002 belum tepat dilakukan.
Setelah terhenti beberapa
waktu, berbarengan dengan ketegangan hubungan KPK dan polisi, awal Februari
2015, beberapa kekuatan politik di DPR memunculkan kembali rencana revisi UU
No 30/2002. Rencana ini tidak mendapat perhatian yang begitu luas. Rencana
ini benar-benar mendapat perhatian ketika Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR (16/6). Sekalipun Yasonna
menyatakan usul revisi berasal dari DPR, pernyataan `pemerintah tidak dapat
menolak usulan DPR' sangat mengejutkan dan benar-benar menunjukkan langkah
serius merevisi UU No 30/2002.
Terlepas dari asal rancangan
revisi UU No 30/200, naskah yang beredar luas di masyarakat dalam beberapa
waktu terakhir menunjukkan bahwa upaya merevisi ini tidak pernah berhenti. Di
atas itu semua, naskah perubahan yang beredar di tengah masyarakat menjadi
bukti konkret bergeraknya wacana (dalam bahasa lisan) menjadi naskah tertulis
rancangan naskah usulan perubahan. Artinya, bentangan fakta yang muncul
beberapa hari terakhir menjadi gambaran dan sekaligus keprihatinan bahwa masa
depan KPK benar-benar tengah berada dalam ancaman serius. Bahkan, kejadian
belakangan dapat dikatakan yang paling serius.
Alasan merevisi
Ihwal revisi, sebagaimana
dikemukakan dalam “Belum Waktunya Merevisi UU KPK“ (Media Indonesia, 22/6),
saya mengemukakan bahwa jikalau hendak menilik kembali UU No 30/2002, memang
terdapat alasan melakukan perubahan. Misalnya, potensi bom waktu
kriminalisasi yang tersimpan di dalam Pasal 32 ayat (2) dapat dijadikan salah
satu argumentasi merevisi UU No 30/2002. Tidak hanya itu, kebutuhan adanya
penyidik yang direkrut KPK sendiri dapat dijadikan sebagai alasan lain.
Sebagaimana diketahui, meski
tidak ada larangan untuk merekrut penyidik sendiri dan langkah ini telah
dimulai KPK, keberadaan penyidik yang direkrut sendiri selalu dipersoalkan.
Selain kebutuhan di atas, dari
sistem legislasi kita, semua pihak memang dapat mengajukan usul perubahan
atau revisi sebuah UU. Bahkan, tidak hanya revisi, sebagai pemegang kuasa
legislasi DPR dan/atau pemerintah dapat mengajukan UU yang sama sekali baru.
Namun demikian, sebagai bagian dari upaya mewujudkan sistem hukum nasional,
pembentukan dan penyusunan UU dimulai melalui Prolegnas. Dalam hal ini, UU No
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011)
menyatakan bahwa Prolegnas merupakan instrumen perencanaan dalam program
pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Sebagaimana dinukilkan
sebelumnya (Media Indonesia, 26/6),
secara hukum, merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No 12/2011, presiden atau DPR
diberikan kesempatan untuk mengajukan rancangan undangundang di luar
Prolegnas dengan kondisi yang sangat ketat. Artinya, rancangan di luar
Prolegnas hanya dibenarkan apabila terdapat prakondisi yang bertujuan
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam.
Kondisi kedua, keadaan tertentu
lainnya, memastikan adanya urgensi nasional terhadap rancangan undang-undang
yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi dan menteri hukum dan HAM.
Dalam batas penalaran yang
wajar, adanya pengaturan bahwa tahap awal dari proses legislasi bermula dari
pencantuman dalam Prolegnas agar pembentukannya benar-benar terencana. Perencanaan
diperlukan agar pembentukan, baik merupakan revisi maupun rancangan yang
benar-benar baru sama sekali, harus dilakukan secara terencana dan tidak
didasarkan kepentingan sesaat. Bagaimanapun, kehadiran masuk dalam Prolegnas
dapat juga dimaknai sebagai warning
bagi semua pihak yang terkait dengan usulan sebelum rancangan undang-undang
benar-benar dibahas ketika tahap pembahasan bersama di DPR.
Sekalipun secara substansial dan
sistem perundang-undangan memungkinkan guna melakukan revisi terhadap UU No
30/2002, melihat perkembangan yang terjadi sekarang bukanlah waktu yang tepat
untuk merevisi terhadap UU yang menjadi dasar hadir lembaga antirasywah ini.
Dengan membaca draf rancangan revisi UU No 30/2002 yang muncul ke publik,
tergambar betapa besarnya keinginan untuk mereduksi KPK. Bisa dipastikan,
bilamana konsep dalam draf naskah tersebut benar-benar menjadi UU, KPK akan
kehilangan peran dan arti pentingnya dalam desain besar pemberantasan korupsi
di negeri ini.
Yang perlu dicatat, berbagai
pihak khawatir, bilamana langkah melakukan revisi UU No 30/2002 dilakukan di
tengah suasana ketidaksukaan dan kemarahan terhadap KPK, maka hampir dapat
dipastikan revisi akan hadir dengan norma yang membunuh dan mengangkangi
semangat kehadiran KPK sebagaimana termaktub dalam sejumlah produk hukum di
awal reformasi. Misalnya, gagasan memberi waktu 12 tahun dalam naskah yang
muncul ke publik, dapat dikatakan tidak memahami bahaya ancaman korupsi
terhadap masa depan Indonesia.
Sebagai perbandingan, negara tetangga kita
Thailand memahami betul ancaman korupsi sehingga mereka memasukkan lembaga
seperti KPK ke level konstitusi. Pertanyaannya, apakah ancaman korupsi di
Indonesia lebih kecil dibanding Thailand hingga muncul rencana mengurangi
kewenangan KPK?
Benteng terakhir
Saya dan juga banyak kalangan
yang konsen atas masa depan agenda pemberantasan korupsi, naskah yang beredar
ke masyarakat belum tentu keinginan semua kekuatan politik di DPR. Paling
tidak, melihat perkembangan mutakhir, jumlah kekuatan politik yang menolak
rencana revisi UU No 30/2002 akan semakin menguat. Bagaimanapun, mayoritas
kalangan DPR pasti masih dan sangat menyadari bahaya korupsi terhadap masa
depan Indonesia.
Bilamana kesadaran akan ancaman korupsi masih besar maka
tidak cukup alasan merevisi UU No 30/2002. Artinya, revisi masih mungkin
dilakukan jika hanya bertujuan memperkuat KPK.
Namun demikian, bilamanapun
mayoritas kekuatan politik di DPR masih tidak berubah sikap, sistem kita
masih memiliki benteng terakhir untuk mempertahankan masa depan KPK. Melihat
desain legislasi dalam UUD 1945 ancaman melalui produk legislasi akan benar-benar
terjadi bila presiden (pemerintah) juga memiliki keinginan yang sama dengan
mayoritas kekuatan politik DPR.Artinya, selama presiden berada pada posisi
yang berbeda, ancaman pemangkasan wewenang KPK masih bisa diatasi melalui
proses legislasi. Terkait dengan hal ini, rasanya kita masih bisa memiliki
rasa optimisme karena Presiden Joko Widodo telah berulang kali mengemukakan
bahwa Istana tidak dalam posisi hendak merevisi UU No 30/2002.
Sebagai benteng terakhir untuk
menjaga masa depan KPK dengan wewenang seperti yang masih eksis, tidak salah
mengikuti langkah yang pernah dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono, baiknya Presiden Jokowi menyampaikan
langsung dan secara terbuka bahwa sikap ini. Jika perlu, pernyataan tersebut disampaikan dan dihadiri oleh
pembantu presiden yang terkait dengan isu revisi UU No 30/2002. Saya percaya,
jika ini dilakukan, pro-kontra di sekitar revisi UU No 30/2002 bisa dikurangi
dan juga dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar