Kamis, 15 Oktober 2015

Bulan Bahasa yang Getir

Bulan Bahasa yang Getir

Taufik Ikram Jamil  ;  Sastrawan
                                                 KORAN TEMPO, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berada dalam bulan Oktober, masa yang dijuluki sebagai bulan bahasa, ketika Republik Indonesia berusia 70 tahun seperti sekarang terasa begitu getir. Pertama kali dalam sejarah bahasa Indonesia, kepala negara seperti melupakan subyek yang mempersatukan bangsa ini. Presiden Joko Widodo menghapus ketentuan mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing untuk ikut menarik modal luar negeri.

Alkisah, bahasa Melayu yang dinamakan bahasa Indonesia itu menjadi mahkota suatu bangsa melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Tak disebut-sebut ihwal material dalam ikrar itu selain bertanah air, bertumpah darah, dan berbahasa satu: Indonesia. Untuk memecut kebersamaan dalam meraih kemerdekaan, posisi penting bahasa Indonesia dikonkretkan dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi pembebasan diri dari penjajah itu dikumandangkan. Juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang memperkuat posisi bahasa Indonesia dalam bernegara.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa apa yang dinamakan bahasa Indonesia itu adalah kekayaan besar negara ini. Pasalnya jelas, antara lain, bahasa Indonesia telah mempersatukan suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa sendiri-lebih dari 700 bahasa. Segala ragam pembeda tidak menjadi sekat bagi penggunaan bahasa Indonesia, yang diterima sebagai sesuatu yang sedia ada (given).

Meski harus dibenahi dari berbagai sisi, pemerintah telah berusaha membina bahasa Indonesia. Didasari peran bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, mungkin juga dengan alasan pragmatis untuk warga bangsa, mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang bekerja di negara ini merupakan suatu kewajiban. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013.

Tapi, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, kepada pers baru-baru ini mengatakan penghapusan syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing adalah hal yang spesifik berasal dari Presiden Jokowi. Maksudnya tak lain sebagai regulasi terhadap hambatan investasi asing sekaligus seperti hendak mengatakan bahwa bahasa Indonesia termasuk hal-ihwal perintang kemajuan ekonomi. Bagai tak cukup tanah, maklum, namanya pun permintaan pejabat nomor satu, keinginan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 tahun 2015.

Sesungguhnya patut diakui bahwa selama ini selalu muncul kesan bagaimana sebagian orang Indonesia tidak begitu peduli dengan perkembangan bahasa nasional itu sendiri. Mereka pun menganggap bahasa Indonesia lemah, lalu menomorduakannya. Tapi akan menjadi teramat lain, setidak-tidaknya ironis, jika alur sikap serupa tercetus dari seorang kepala negara, sesuatu yang secara institusi sebelumnya berslogan Trisakti-di antaranya berisi perihal berkepribadian sendiri. Sesuatu yang bahkan tak dilakukan penjajah baik Belanda, Inggris, maupun Jepang sekalipun, walau dengan latar belakang berbeda.

Belanda, misalnya, harus menerima kehadiran bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah setelah upaya memaksakan bahasa Belanda untuk itu tidak berhasil. Jepang pun menganjurkan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bentuk lain dari usaha Negeri Sakura mengepung pengaruh Belanda sambil sedikit-sedikit memasyarakatkan bahasa Jepang di tengah pribumi.

Aduhai, keberadaan bahasa Indonesia di tangan bangsanya sendiri kini terbiarkan tanpa pertimbangan identitas nasional, ketika ekonomi Indonesia morat-marit, yang konon amat memerlukan investasi asing. Rupiah yang tergerus terus, harga minyak yang makin jatuh, disusul penurunan harga komoditas rakyat banyak sampai pada titik memilukan, haruskah mengorbankan identitas, yakni bahasa, sedangkan identitas itu berkaitan dengan harga diri dan marwah? Apakah dapat dikatakan bahwa marwah bangsa pun harus disingkirkan untuk kepentingan ekonomi?

Maaf saja kalau pertanyaan-pertanyaan di atas mengundang bayangan tentang berduyun-duyunnya pekerja asing datang ke negeri ini, misalnya, mengiringi pembangunan tol laut dengan dana Rp 700 triliun yang mendapat dukungan besar dari Cina. Di sisi lain, baru terlihat Bali yang mengantisipasi bayangan tersebut dengan cara menyusun peraturan daerah tentang syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di daerahnya. Mudah-mudahan alasan Bali berkembang lebih besar daripada hanya menjaga kesempatan kerja untuk pekerja tempatan agar tak terampas pekerja dari luar negeri, misalnya, juga untuk membela marwah negeri supaya tidak makin tercabik-cabik.

Maaf juga kalau hal-hal di atas mengundang ingatan akan ungkapan pahlawan nasional bidang bahasa, Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas: "Hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa." Sebelumnya, tokoh bahasa Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, tanpa berselindung, melalui Hikayat Abdullah, menulis, "Adakah segala bangsa manusia dalam dunia ini membuangkan bahasanya sendiri, tiada bertempat belajar bahasanya itu, melainkan yang kulihat orang Melayulah yang tiada mengindahkan." Aih....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar