Bulan Bahasa yang Getir
Taufik Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KORAN
TEMPO, 12 Oktober 2015
Berada dalam bulan Oktober, masa yang dijuluki sebagai bulan
bahasa, ketika Republik Indonesia berusia 70 tahun seperti sekarang terasa
begitu getir. Pertama kali dalam sejarah bahasa Indonesia, kepala negara
seperti melupakan subyek yang mempersatukan bangsa ini. Presiden Joko Widodo
menghapus ketentuan mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing untuk ikut
menarik modal luar negeri.
Alkisah, bahasa Melayu yang dinamakan bahasa Indonesia itu
menjadi mahkota suatu bangsa melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Tak
disebut-sebut ihwal material dalam ikrar itu selain bertanah air, bertumpah
darah, dan berbahasa satu: Indonesia. Untuk memecut kebersamaan dalam meraih
kemerdekaan, posisi penting bahasa Indonesia dikonkretkan dalam UUD 1945 yang
disahkan sehari setelah proklamasi pembebasan diri dari penjajah itu
dikumandangkan. Juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang memperkuat
posisi bahasa Indonesia dalam bernegara.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa apa yang dinamakan bahasa
Indonesia itu adalah kekayaan besar negara ini. Pasalnya jelas, antara lain,
bahasa Indonesia telah mempersatukan suku bangsa yang masing-masing memiliki
bahasa sendiri-lebih dari 700 bahasa. Segala ragam pembeda tidak menjadi
sekat bagi penggunaan bahasa Indonesia, yang diterima sebagai sesuatu yang
sedia ada (given).
Meski harus dibenahi dari berbagai sisi, pemerintah telah
berusaha membina bahasa Indonesia. Didasari peran bahasa Indonesia sebagai
identitas bangsa, mungkin juga dengan alasan pragmatis untuk warga bangsa,
mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang bekerja di negara ini
merupakan suatu kewajiban. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013.
Tapi, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, kepada pers baru-baru
ini mengatakan penghapusan syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja
asing adalah hal yang spesifik berasal dari Presiden Jokowi. Maksudnya tak
lain sebagai regulasi terhadap hambatan investasi asing sekaligus seperti
hendak mengatakan bahwa bahasa Indonesia termasuk hal-ihwal perintang
kemajuan ekonomi. Bagai tak cukup tanah, maklum, namanya pun permintaan
pejabat nomor satu, keinginan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 16 tahun 2015.
Sesungguhnya patut diakui bahwa selama ini selalu muncul kesan
bagaimana sebagian orang Indonesia tidak begitu peduli dengan perkembangan
bahasa nasional itu sendiri. Mereka pun menganggap bahasa Indonesia lemah,
lalu menomorduakannya. Tapi akan menjadi teramat lain, setidak-tidaknya ironis,
jika alur sikap serupa tercetus dari seorang kepala negara, sesuatu yang
secara institusi sebelumnya berslogan Trisakti-di antaranya berisi perihal
berkepribadian sendiri. Sesuatu yang bahkan tak dilakukan penjajah baik
Belanda, Inggris, maupun Jepang sekalipun, walau dengan latar belakang
berbeda.
Belanda, misalnya, harus menerima kehadiran bahasa
Melayu/Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah setelah upaya memaksakan
bahasa Belanda untuk itu tidak berhasil. Jepang pun menganjurkan pemakaian
bahasa Indonesia sebagai bentuk lain dari usaha Negeri Sakura mengepung
pengaruh Belanda sambil sedikit-sedikit memasyarakatkan bahasa Jepang di
tengah pribumi.
Aduhai, keberadaan bahasa Indonesia di tangan bangsanya sendiri
kini terbiarkan tanpa pertimbangan identitas nasional, ketika ekonomi
Indonesia morat-marit, yang konon amat memerlukan investasi asing. Rupiah
yang tergerus terus, harga minyak yang makin jatuh, disusul penurunan harga
komoditas rakyat banyak sampai pada titik memilukan, haruskah mengorbankan
identitas, yakni bahasa, sedangkan identitas itu berkaitan dengan harga diri
dan marwah? Apakah dapat dikatakan bahwa marwah bangsa pun harus disingkirkan
untuk kepentingan ekonomi?
Maaf saja kalau pertanyaan-pertanyaan di atas mengundang
bayangan tentang berduyun-duyunnya pekerja asing datang ke negeri ini,
misalnya, mengiringi pembangunan tol laut dengan dana Rp 700 triliun yang
mendapat dukungan besar dari Cina. Di sisi lain, baru terlihat Bali yang
mengantisipasi bayangan tersebut dengan cara menyusun peraturan daerah
tentang syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di daerahnya.
Mudah-mudahan alasan Bali berkembang lebih besar daripada hanya menjaga
kesempatan kerja untuk pekerja tempatan agar tak terampas pekerja dari luar
negeri, misalnya, juga untuk membela marwah negeri supaya tidak makin
tercabik-cabik.
Maaf juga kalau hal-hal di atas mengundang ingatan akan ungkapan
pahlawan nasional bidang bahasa, Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas:
"Hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa."
Sebelumnya, tokoh bahasa Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsji,
tanpa berselindung, melalui Hikayat Abdullah, menulis, "Adakah segala
bangsa manusia dalam dunia ini membuangkan bahasanya sendiri, tiada bertempat
belajar bahasanya itu, melainkan yang kulihat orang Melayulah yang tiada
mengindahkan." Aih.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar