Jumat, 16 Oktober 2015

Hijrah dari Kebencian

Hijrah dari Kebencian

Bayu Putra  ;  Wartawan Jawa Pos
                                                      JAWA POS, 15 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN baru Hijriah dirayakan seperti biasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pengajian di berbagai surau dan masjid, pawai obor, dan kegiatan ”Islami” lainnya.

Semua seremonial, meski memang mengharap rida Allah SWT. Sebagian lagi yang masih memercayai tradisi berbau mistis pasti sudah memandikan seluruh ”gadgetnya”. Keris, tombak, dan lainnya.

Sebagaimana perayaan-perayaan itu, tahun baru juga lazim dimaknai hijrah, atau bahasa kerennya saat ini move on, menuju kondisi yang lebih baik. Bisa berkaitan dengan sikap, perilaku, rezeki, mungkin juga jodoh *eh. Memasuki tahun 1437 Hijriah ini, ada satu hal yang paling memerlukan hijrah, yakni sifat pembenci ala umat Islam.

Sifat pembenci itu makin kentara beberapa tahun belakangan. Sebagian hasilnya mudah dilihat di media sosial yang isinya makin ”religius”. Ya, kedoknya religius, namun sebenarnya menebar kebencian.

Dikemas dengan ayat-ayat Allah untuk menjustifikasi kelompok tertentu dengan sebutan sesat, bukan Islam, atau sebutan sejenis. Meski, kelompok-kelompok itu menyatakan diri mereka Islam juga.

Berbagai cara dilakukan para muslim pembenci untuk mendiskreditkan kelompok yang dibencinya. Di media sosial, mereka mem-posting laman web yang menampilkan berbagai wajah buruk kelompok-kelompok tersebut, yang sudah jelas wajah buruk versi mereka.

Kampanye itu kebanyakan hasil mengaji dari KH Google. Sangat sedikit kampanye kebencian yang didasarkan pada kitab-kitab kuning, tafsir Alquran karya ulama ahli tafsir, atau sumber rujukan ilmu keislaman lainnya. Kalaupun ada, itu adalah hasil copy-paste ajaran KH Google atau memelintir isi kitab. Teori kebencian tidak akan ditemukan dalam rujukan Islam.

Dengan mudahnya beberapa santri Google itu menuding seorang ulama sebagai orang sesat, karena baru membuka laman web berisi tulisan yang menjelek-jelekkan sang ulama. Padahal, sang ulama sudah menelurkan kitab tafsir Alquran.

Ada pula yang sudah kepalang yakin bahwa kelompok tertentu sesat, lalu dia mencari dalil-dalil di berbagai laman web untuk memperkuat keyakinannya. Setelah ketemu, dia menampilkan tautan laman tersebut ke media sosialnya untuk mengampanyekan bahwa kelompok A sesat, kelompok B bukan Islam.
Kalau kita termasuk golongan yang pernah ikut menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu, coba dihitung seberapa sering kita menyebarkan kebencian itu. Lalu, bandingkan dengan frekuensi mengajak orang lain berbuat kebaikan. Mana yang lebih sering dilakukan?

Mana yang lebih bermanfaat, mengingatkan orang agar salat subuh berjamaah di masjid atau mengingatkan agar tidak mengikuti ajaran kelompok tertentu? Kalau memang kelompok tersebut dianggap sesat, mengapa harus repot-repot memberi tahu orang tentang kesesatannya? Seharusnya yang dilakukan adalah mendakwahkan ajaran yang benar sesuai pemahaman masing-masing agar orang lain mengikuti.

Umat Islam, khususnya di Indonesia, sering lupa cara berdakwah Nabi Muhammad yang membuatnya dinobatkan Michael Hart sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah. Nabi Muhammad berdakwah agar orang mengikuti agama Islam, bukan agar orang membenci kaum kafir Quraisy.

Sekarang, sebagian umat Islam Indonesia justru membalik cara dakwah Nabi Muhammad. Mereka berdakwah agar orang membenci kelompok tertentu, bukan agar memperbaiki ibadah dan akhlaknya.

Tumbuhnya kampanye kebencian tidak lepas dari fakta bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia. Akibatnya, umat muslim terlena. Merasa tidak perlu lagi mengajak kepada kebaikan, karena merasa menjadi Islam itu sendiri sudah merupakan sebuah kebaikan. Akhirnya, yang didakwahkan justru kontradiktif.

Coba tengok ulama yang berdakwah di negara-negara Barat dengan status minoritas muslim. Mereka tidak pernah berkampanye untuk membenci kelompok tertentu.

Para ulama itu disibukkan kegiatan kampanye Islam damai, Islam rahmatan lil alamin. Tujuannya hanya satu. Mengajak sebanyak-banyaknya warga di negara tersebut untuk mengikuti Islam.

Kampanye kebencian tersebut kini sudah sukses membuat sebagian anak bangsa menjadi korban. Bahkan terjadi sejak beberapa tahun silam hingga saat ini. Sebut saja kelompok Ahmadiyah di beberapa daerah dan warga Syiah Sampang yang terusir dari rumahnya.

Kita menjunjung tinggi Pancasila dan selalu berkampanye melawan isu SARA, tapi membiarkan sekian ratus warga Sampang terusir dari rumah mereka dengan alasan sepele. Mereka adalah kelompok Syiah. Sungguh rasis. Hanya karena mereka Syiah, status sebagai manusia yang punya hak hidup dilupakan.

Momen pergantian tahun Hijriah sebaiknya benar-benar digunakan untuk hijrah. Tidak perlu lagi membenci suatu kaum karena keyakinannya. Apabila suatu kelompok dianggap sesat, perlakukan saja mereka sebagai manusia.
Bentengi keluarga dari ajaran yang dianggap sesat itu dengan cara mendakwahkan ajaran yang benar. Bukan menjelaskan ajaran yang kita yakini sesat.

Bagi yang tinggal di Surabaya atau Sidoarjo, misalnya, coba mampir ke penampungan warga Syiah di Rusun Puspa Agro saat pagi setelah malamnya merayakan pergantian tahun baru Hijriah. Sapa mereka dengan senyum hangat, salami, kalau perlu dipeluk. Lalu, perhatikan apa yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar