Hijrah dari Kebencian
Bayu Putra ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 15 Oktober 2015
TAHUN baru Hijriah dirayakan
seperti biasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pengajian di berbagai surau
dan masjid, pawai obor, dan kegiatan ”Islami” lainnya.
Semua seremonial, meski memang
mengharap rida Allah SWT. Sebagian lagi yang masih memercayai tradisi berbau
mistis pasti sudah memandikan seluruh ”gadgetnya”. Keris, tombak, dan
lainnya.
Sebagaimana perayaan-perayaan
itu, tahun baru juga lazim dimaknai hijrah, atau bahasa kerennya saat ini move on, menuju kondisi yang lebih
baik. Bisa berkaitan dengan sikap, perilaku, rezeki, mungkin juga jodoh *eh.
Memasuki tahun 1437 Hijriah ini, ada satu hal yang paling memerlukan hijrah,
yakni sifat pembenci ala umat Islam.
Sifat pembenci itu makin
kentara beberapa tahun belakangan. Sebagian hasilnya mudah dilihat di media
sosial yang isinya makin ”religius”. Ya, kedoknya religius, namun sebenarnya
menebar kebencian.
Dikemas dengan ayat-ayat Allah
untuk menjustifikasi kelompok tertentu dengan sebutan sesat, bukan Islam,
atau sebutan sejenis. Meski, kelompok-kelompok itu menyatakan diri mereka
Islam juga.
Berbagai cara dilakukan para
muslim pembenci untuk mendiskreditkan kelompok yang dibencinya. Di media
sosial, mereka mem-posting laman web yang menampilkan berbagai wajah buruk
kelompok-kelompok tersebut, yang sudah jelas wajah buruk versi mereka.
Kampanye itu kebanyakan hasil
mengaji dari KH Google. Sangat sedikit kampanye kebencian yang didasarkan
pada kitab-kitab kuning, tafsir Alquran karya ulama ahli tafsir, atau sumber
rujukan ilmu keislaman lainnya. Kalaupun ada, itu adalah hasil copy-paste
ajaran KH Google atau memelintir isi kitab. Teori kebencian tidak akan
ditemukan dalam rujukan Islam.
Dengan mudahnya beberapa santri
Google itu menuding seorang ulama sebagai orang sesat, karena baru membuka
laman web berisi tulisan yang menjelek-jelekkan sang ulama. Padahal, sang
ulama sudah menelurkan kitab tafsir Alquran.
Ada pula yang sudah kepalang
yakin bahwa kelompok tertentu sesat, lalu dia mencari dalil-dalil di berbagai
laman web untuk memperkuat keyakinannya. Setelah ketemu, dia menampilkan
tautan laman tersebut ke media sosialnya untuk mengampanyekan bahwa kelompok
A sesat, kelompok B bukan Islam.
Kalau kita termasuk golongan
yang pernah ikut menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu, coba
dihitung seberapa sering kita menyebarkan kebencian itu. Lalu, bandingkan
dengan frekuensi mengajak orang lain berbuat kebaikan. Mana yang lebih sering
dilakukan?
Mana yang lebih bermanfaat,
mengingatkan orang agar salat subuh berjamaah di masjid atau mengingatkan
agar tidak mengikuti ajaran kelompok tertentu? Kalau memang kelompok tersebut
dianggap sesat, mengapa harus repot-repot memberi tahu orang tentang
kesesatannya? Seharusnya yang dilakukan adalah mendakwahkan ajaran yang benar
sesuai pemahaman masing-masing agar orang lain mengikuti.
Umat Islam, khususnya di
Indonesia, sering lupa cara berdakwah Nabi Muhammad yang membuatnya
dinobatkan Michael Hart sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah. Nabi
Muhammad berdakwah agar orang mengikuti agama Islam, bukan agar orang
membenci kaum kafir Quraisy.
Sekarang, sebagian umat Islam
Indonesia justru membalik cara dakwah Nabi Muhammad. Mereka berdakwah agar
orang membenci kelompok tertentu, bukan agar memperbaiki ibadah dan
akhlaknya.
Tumbuhnya kampanye kebencian
tidak lepas dari fakta bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Akibatnya, umat muslim terlena. Merasa tidak perlu lagi mengajak kepada
kebaikan, karena merasa menjadi Islam itu sendiri sudah merupakan sebuah
kebaikan. Akhirnya, yang didakwahkan justru kontradiktif.
Coba tengok ulama yang
berdakwah di negara-negara Barat dengan status minoritas muslim. Mereka tidak
pernah berkampanye untuk membenci kelompok tertentu.
Para ulama itu disibukkan
kegiatan kampanye Islam damai, Islam rahmatan lil alamin. Tujuannya hanya
satu. Mengajak sebanyak-banyaknya warga di negara tersebut untuk mengikuti
Islam.
Kampanye kebencian tersebut
kini sudah sukses membuat sebagian anak bangsa menjadi korban. Bahkan terjadi
sejak beberapa tahun silam hingga saat ini. Sebut saja kelompok Ahmadiyah di
beberapa daerah dan warga Syiah Sampang yang terusir dari rumahnya.
Kita menjunjung tinggi
Pancasila dan selalu berkampanye melawan isu SARA, tapi membiarkan sekian
ratus warga Sampang terusir dari rumah mereka dengan alasan sepele. Mereka
adalah kelompok Syiah. Sungguh rasis. Hanya karena mereka Syiah, status
sebagai manusia yang punya hak hidup dilupakan.
Momen pergantian tahun Hijriah sebaiknya
benar-benar digunakan untuk hijrah. Tidak perlu lagi membenci suatu kaum
karena keyakinannya. Apabila suatu kelompok dianggap sesat, perlakukan saja
mereka sebagai manusia.
Bentengi keluarga dari ajaran
yang dianggap sesat itu dengan cara mendakwahkan ajaran yang benar. Bukan
menjelaskan ajaran yang kita yakini sesat.
Bagi yang tinggal di Surabaya
atau Sidoarjo, misalnya, coba mampir ke penampungan warga Syiah di Rusun
Puspa Agro saat pagi setelah malamnya merayakan pergantian tahun baru
Hijriah. Sapa mereka dengan senyum hangat, salami, kalau perlu dipeluk. Lalu,
perhatikan apa yang terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar