Rabu, 14 Oktober 2015

Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP

Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP

Sali Susiana  ;   Peneliti pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Pelayanan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR
                                                       KOMPAS, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penantian panjang selama sekitar 30 tahun akan kehadiran payung hukum perlindungan perempuan dan anak tampaknya sudah mulai terobati dengan disampaikannya Rancangan tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 5 Juni 2015 melalui Surat Presiden No 35/Pres/06/2015.

Menindaklanjuti surat itu, Komisi III DPR telah membentuk Panitia Kerja Rancangan tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja RKUHP). Saat ini Panja RKUHP masih menunggu beberapa fraksi yang belum menyampaikan daftar isian masukan (DIM) terhadap rancangan dimaksud. Direncanakan minggu kedua Oktober RKUHP dapat mulai intensif dibahas.

Menyimak pendapat beberapa narasumber dalam Diskusi Publik tentang Rancangan KUHP untuk Perlindungan Perempuan dan Anak yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia bekerja sama dengan UNDP (1/10/2015), terkait perlindungan perempuan dan anak, masih terdapat berbagai persoalan yang menarik untuk didiskusikan. Sebagaimana disampaikan Supriyadi Widodo Eddyono dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, beberapa persoalan itu terkait pornografi, perdagangan manusia, kontrasepsi, pemerkosaan, zina, kekerasan dalam rumah tangga, inses, kumpul kebo, dan melacurkan diri di jalanan.

Terkait soal "melacurkan diri di jalanan" yang terdapat dalam Pasal 489 RKUHP, dinyatakan bahwa "setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I". Menurut Supriyadi, ketentuan ini berpotensi mengkriminalkan pelaku prostitusi yang kemungkinan berposisi sebagai korban eksploitasi seksual. Ditambahkan juga bahwa frasa "berkeliaran di jalan atau di tempat umum" dapat ditafsirkan secara lebih luas.
Menurut Irawati Harsono dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), rumusan itu masih menyasar prostitut dengan tidak membedakan jika terjadi pemaksaan pelacuran, bias kelas, dan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap orang yang kebetulan sedang berada di jalan atau tempat umum sehingga menjadi korban salah tangkap atas tuduhan sepihak melacurkan diri.

Jika dicermati, rumusan Pasal 489 RKUHP bunyinya hampir mirip dengan beberapa peraturan daerah (perda), seperti perda tentang anti pelacuran atau perbuatan maksiat dan perda tentang larangan untuk keluar malam bagi perempuan, yang beberapa tahun terakhir  disahkan sejumlah daerah di Indonesia. Sebut saja Perda Pemberantasan Maksiat di Aceh, Perda Pencegahan Maksiat di Provinsi Gorontalo, Perda Larangan Perbuatan Maksiat di Sumatera Selatan,  Perda Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, Perda Anti Pelacuran di Malang dan Lamongan, serta Perda Pelacuran di Provinsi Bengkulu.

Melanggar HAM

Semua perda itu dibuat dengan alasan untuk perbaikan moral dan akhlak warga masyarakat daerah itu. Namun, kenyataannya, peraturan-peraturan ini melupakan standar dan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM). Termasuk di dalamnya hak asasi perempuan, baik yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, UU No 9 Tahun 1999 tentang HAM, maupun berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Pemerintah RI, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (UU No 7 Tahun 1984), Konvensi Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/Ecosoc Convention(UU No 11 Tahun 2005), dan Konvensi Internasional atas Hak Sipil dan Politik/International Convention on Civil and Political Rights  (UU No 12 Tahun 2005).

Salah satu perda anti pelacuran yang pernah menjadi sorotan publik dan topik hangat di media adalah Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran (Perda Anti Pelacuran). Sejak diberlakukan, perda ini mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, beberapa pihak mendukung perda ini, antara lain  guru sekolah di Kota Tangerang, Aliansi Penyelamat Kota Tangerang, dan  Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Banten. Sebaliknya, sejumlah aktivis dari Aliansi Gerakan Perempuan Tangerang, Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Tangerang, dan Solidaritas Perempuan Banten serta puluhan buruh menolak. Sejumlah LSM seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Tangerang, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Wahid Institute, dan warga Tangerang yang menolak pemberlakuan perda mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Agung.

Meskipun telah disahkan pada 23 November 2005, Perda Anti Pelacuran baru diterapkan 27 Februari 2006 melalui sebuah operasi atau razia di malam hari. Mereka yang tertangkap disidangkan secara terbuka hari berikutnya, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Tangerang. Dalam persidangan tindak pidana ringan itu terungkap bahwa aparat tramtib dan polisi telah salah menangkap perempuan "baik-baik" yang dicurigai sebagai pelacur.

Salah seorang korban "salah tangkap" bernama Lilis Lindawati, karyawan sebuah restoran di Cengkareng yang sedang hamil dua bulan. Ia ditangkap ketika sedang menunggu angkutan untuk pulang ke rumahnya. Lilis dijatuhi hukuman dengan tuduhan pelacur dan didenda Rp 300.000. Ia tak mampu membayar denda dan menghadirkan suaminya yang berprofesi sebagai guru SD sebagai saksi yang dapat menyangkal dakwaan itu sehingga  ia dikenai hukuman kurungan selama tiga hari.

Dalam kenyataannya, hukuman diperpanjang sehari dan Lilis baru dibebaskan pada hari keempat. Selain Lilis, tiga perempuan lain juga jadi korban salah tangkap. Meski mereka kemudian dibebaskan sebelum disidangkan karena tak terbukti sebagai pelacur, penangkapan tersebut telah membuat ketiganya mengalami trauma. Lilis Lindawati kemudian menggugat Wali Kota Tangerang sebesar Rp 500 juta karena telah mencemarkan nama baiknya. Lilis juga melaporkan hakim yang mengadilinya ke Komisi Yudisial dan melaporkan aparat Dinas Keamanan dan Ketertiban yang menangkapnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Lilis akhirnya meninggal dalam kondisi sakit-sakitan akibat peristiwa salah tangkap tersebut.

Langkah Pemerintah Kota Tangerang memberlakukan perda pelarangan pelacuran telah menjadi inspirasi bagi beberapa daerah lain untuk menerapkan perda serupa, antara lain Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta, Depok, Bekasi, dan Purworejo. Di Kabupaten Tangerang, DPRD setempat bahkan sepakat mengadopsi Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang guna mempercepat terealisasinya perda anti pelacuran.

Sebelum terjadi pro dan kontra pemberlakuan Perda Anti Pelacuran di Kota Tangerang, beberapa daerah lain sebenarnya telah menerapkan perda serupa, antara lain Provinsi Sumatera Barat,  Gorontalo, Bengkulu, Kota Malang, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Badung. Dari beberapa perda tersebut, hanya perda di Sumatera Barat yang menimbulkan pro dan kontra sebelum diberlakukan karena dalam rancangannya mencantumkan larangan bagi perempuan untuk keluar rumah tanpa muhrim pada pukul 22.00-04.00.

Cegah kesalahan berulang

Penulis khawatir, jika rumusan Pasal 489 RKUHP tak direvisi, setelah RKUHP disahkan, akan berjatuhan korban lain RKUHP ini. Direktur Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM pada saat diskusi publik di atas menyatakan, penyusunan RKUHP telah melibatkan banyak profesor dan pakar hukum pidana. Menjadi pertanyaan, dari sekian banyak pakar itu, apakah tak ada satu pun yang berperspektif jender sehingga rumusan yang sangat bias jender itu muncul? Yang lebih parah, bunyi rumusannya mirip beberapa perda anti pelacuran yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga merugikan perempuan.

Untuk mencegah agar kesalahan tak berulang, rumusan pasal dalam RKUHP, terutama yang berkaitan dengan perempuan, harus dibuat dengan perspektif jender dan tak diskriminatif. Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan. Peraturan yang akan dibuat hendaknya mengacu pada: pertama, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Dalam Konvensi Perempuan ini terdapat beberapa prinsip dasar: (1) persamaan substantif, (2) nondiskriminasi, dan (3) kewajiban negara.

Kedua, jaminan hak asasi perempuan yang terdapat dalam UUD 1945 ataupun berbagai UU lain, terutama UU No 9 Tahun 1999 tentang HAM. Komnas Perempuan telah memerinci HAM jadi  40 hak konstitusional setiap warga negara yang dikelompokkan ke dalam 14 rumpun.

Ketiga, UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Dalam Negeri juga telah menerbitkan Parameter Kesetaraan Jender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar