Soal Kereta Cepat
Wilmar Salim ; Ketua Program Studi Magister dan Doktor
Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS,
15 Oktober 2015
Beberapa bulan terakhir, media massa memberitakan kontroversi
terkait rencana pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung. Presiden Joko
Widodo sempat menyatakan bahwa rencana itu dibatalkan.
Kemudian, minggu lalu, kita mendengar bahwa pekerjaan ini akan
dilanjutkan dengan pembangunan kereta berkecepatan menengah oleh konsorsium
yang dipimpin perusahaan dari Tiongkok dan melibatkan BUMN.
Ada dua pertanyaan yang menjadikan rencana itu kontroversial.
Pertama, apakah memang diperlukan kereta cepat pada jalur Jakarta-Bandung?
Kedua, apakah pemerintah perlu terlibat dalam pengembangan kereta cepat
tersebut atau dilepaskan kepada pihak swasta?
Tulisan ini secara singkat mengulas kedua hal itu dengan mengacu
pada rencana induk perkeretaapian nasional (RIPN). Kemudian akan disampaikan
pula beberapa hal penting jika rencana itu tetap dilaksanakan.
Rencana induk
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian, moda kereta api harus menjadi moda utama dalam kerangka
transportasi nasional. Oleh karena itu, pengembangan jaringan kereta api,
termasuk kereta cepat, harus dilihat sebagai upaya pergeseran paradigma dari
penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik. Sebagai tindak lanjut
dari UU tersebut, pemerintah telah merumuskan RIPN dan menetapkannya melalui
Peraturan Menteri Perhubungan No 43/2011. RIPN dimaksudkan untuk memberikan
arahan pengembangan perkeretaapian nasional hingga 2030.
Banyak pertimbangan yang digunakan dalam merumuskan rencana
induk tersebut. Rencana kebutuhan perkeretaapian secara nasional pun
dirumuskan berdasarkan wilayah pulau utama yang NKRI miliki. Untuk Pulau Jawa
ada 12 rencana pengembangan jaringan dan layanan perkeretaapian. Pengembangan
kereta cepat ada di posisi keenam setelah pengembangan jaringan antarkota
dengan rel ganda, pengembangan jaringan regional kawasan aglomerasi perkotaan,
jaringan perkotaan enam kota besar, jaringan penghubung enam bandara utama,
dan jaringan penghubung enam pelabuhan utama.
Kemudian baru diikuti dengan pengembangan jaringan dan layanan
kereta api cepat dengan lintasan Merak-Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya-Banyuwangi.
Tidak ada lintasan kereta cepat Jakarta-Bandung dalam RIPN ini. Oleh karena
itu, wajar jika pemerintah tidak mau membiayai pembangunan kereta cepat
Jakarta-Bandung dengan APBN ataupun penyertaan modal negara karena tidak ada
dasar hukumnya.
Pengembangan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung mungkin saja
memberikan keuntungan mengingat kedua kota merupakan magnet perekonomian
terbesar di Indonesia. Interaksi antara kedua kota yang ditunjukkan dari arus
lalu lintas juga sangat kuat. Ada pangsa pasar yang mungkin berpindah ke
kereta cepat apabila moda ini tersedia.
Meski demikian, mengharapkan pemerintah turut serta
mengembangkan jalur tersebut sama saja merupakan sebuah pemikiran yang tidak
menyeluruh. Dari aspek pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur perlu
dilakukan ke seluruh wilayah, tidak terpusat pada wilayah Jawa bagian barat
saja. Rencana pengembangan kereta cepat Merak-Banyuwangi sudah tepat dan
pemerintah harus berpegang pada rencana tersebut.
Pengembangan kereta cepat
Salah satu negara yang baru saja mengoperasikan kereta cepat
adalah Turki, menghubungkan Istanbul dengan Ankara, ibu kota dan kota
terbesar kedua di Turki, yang berjarak 533 kilometer. Dengan kecepatan
maksimum 250 km/jam, jarak itu dapat ditempuh dalam 3,5 jam dari sebelumnya
tujuh jam. Pembangunannya membutuhkan waktu 10 tahun dengan pendanaan dan
teknologi dari Tiongkok.
Pengembangan kereta cepat memang harus menghubungkan kota-kota
dengan banyak penduduk dan kegiatan ekonomi untuk mendapatkan skala ekonomi
yang dibutuhkan. Oleh karena itu, rencana pengembangan kereta cepat
Merak-Banyuwangi yang akan diawali dengan jalur Jakarta-Surabaya via
Cirebon-Semarang merupakan rencana pengembangan yang lebih baik karena akan
mengintegrasikan wilayah bagian barat dan bagian timur Pulau Jawa.
Untuk melaksanakan rencana tersebut ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, pengembangan jalur kereta cepat harus mengembangkan
jalur baru agar tidak mengganggu pelayanan kereta api pada jalur yang ada
dalam pelaksanaan pembangunannya. Pembangunan rel ganda pada jalur antarkota,
seperti antara Cirebon dan Semarang, sesuai RIPN perlu dipersiapkan untuk
mengantisipasi pengembangan jalur kereta cepat pada pelintasan tersebut.
Kedua, jaringan rel kereta cepat harus dibangun untuk kecepatan
tertinggi yang dimungkinkan dengan teknologi saat ini meski dalam kenyataan
penggunaannya akan bertahap hingga pada kecepatan tertinggi ketika perangkat
infrastruktur, pengguna, dan sebagainya sudah siap. Misalnya kecepatan kereta
maksimum yang akan dioperasikan adalah 200 km/jam, infrastruktur yang
dibangun perlu dipersiapkan untuk kecepatan maksimum 400 km/jam,
mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Ketiga, pembangunan kereta cepat harus diikuti dengan pembenahan
jaringan transportasi dalam kota sebagai pendukung. Hal ini sejalan dengan
RIPN yang berencana mengembangkan jaringan kereta perkotaan. Tidak akan
berguna banyak membangun kereta cepat antarkota tanpa ada sistem transportasi
massal dalam kota yang menghubungkan stasiun kereta cepat ke bagian lain di
kota tersebut.
Siapa harus membangun?
Persoalan selanjutnya adalah siapa yang seharusnya membangun
jalur kereta cepat tersebut? Dalam UU No 23/2007 ditegaskan bahwa
perkeretaapian dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh
pemerintah. Sementara itu, penyelenggaraan perkeretaapian umum, baik
prasarana maupun sarana, dilakukan oleh badan usaha. Sementara itu, dalam
rangka merealisasikan RIPN dimungkinkan investasi oleh pihak swasta melalui
kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) ataupun menjadi penyelenggara
perkeretaapian khusus.
Oleh karena itu, dalam pengembangan jalur kereta cepat ini,
pemerintah tetap harus berperan dalam pembinaan dan penyelenggaraannya bisa
oleh BUMN ataupun dalam bentuk KPS. Artinya, tidak bisa murni swasta. Jika
BUMN terlibat dalam penyelenggaraannya, seharusnya hal itu terfokus pada
pengembangan jalur kereta cepat yang telah direncanakan dalam RIPN. Menteri
Perhubungan berkepentingan dalam terlaksananya RIPN tersebut dan Dirjen
Perkeretaapian perlu mengawasi pelaksanaannya.
Sayangnya, kita terbiasa membuat rencana, tetapi tidak terbiasa
untuk melaksanakannya. Dalam penataan ruang wilayah banyak terjadi
perkembangan guna lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang dalam
rencana tata ruang wilayah. Hal sama mungkin akan terjadi dengan RIPN. Untuk
itu, seharusnya jika ada proposal yang berbeda dengan RIPN yang sudah
ditetapkan oleh Menteri Perhubungan, jangan disetujui. Atau revisi dulu RIPN
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar