Perdebatan Independensi Peradilan
Asep Rahmat Fajar ; Pengamat Hukum dan Peradilan;
PhD Student Tilburg Law School
|
KORAN
SINDO, 09 Oktober 2015
Diskursus
tentang independensi peradilan kembali mencuat tajam. Hal itu terutama dipicu
oleh beberapa peristiwa hukum yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir
ini.
Kasus uji
materiil undang-undang oleh Ikatan Hakim Indonesia terkait keterlibatan Komisi
Yudisial dalam proses seleksi hakim yang diputus kemarin dan ditolaknya
rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung dalam ranah
pengawasan etika perilaku hakim semakin menegaskan bahwa perdebatan tentang
konsepsi independensi peradilan masih jauh dari usai.
Uniknya, dalam
ketegangan hubungan tersebut masing-masing pihak sama-sama menggunakan
argumen independensi peradilan untuk menguatkan posisinya. Independensi
peradilan memang konsepsi yang sudah tersusun dari waktu ke waktu dan masih
terus berkembang saat ini. Banyak teori dan prinsip internasional dengan
berbagai variannya bisa ditemukan.
Dari sekian
banyak konsepsi tersebut benang merah dari pengertian independensi peradilan
adalah bahwa hakim dan pengadilan tidak boleh diganggu independensinya oleh
siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Kendati demikian, penegakannya jelas
lebih rumit dari definisi singkat di atas.
Independensi Institusional
Bila melihat
kasus konkret yang terjadi, sebenarnya ketegangan dalam proses seleksi hakim
bisa dikategorikan ke dalam pergulatan pelaksanaan teori institutional independence (Masterman, 2011) atau collective independence (Shetreet,
1985).
Dalam hal ini
artinya apakah independensi seorang hakim dan pengadilan akan terganggu atau
tidak apabila ada institusi di luar kekuasaan kehakiman terlibat dalam proses
seleksi hakim. Jika melihat pelaksanaan di banyak negara, proses seleksi
hakim dengan melibatkan eksekutif sudah ditinggalkan karena dianggap akan
berakibat pada potensi terganggunya independensi peradilan oleh eksekutif.
Kemudian untuk
menjalankan proses tersebut di banyak negara dibentuklah lembaga negara
independen (Andenas and Fairgrieve,
2006), termasuk sejenis Komisi Yudisial. Hal tersebut sejalan dengan
beberapa prinsip internasional salah satunya Universal Charter of Judge, yang menyebutkan perlunya seleksi
hakim dilakukan oleh lembaga negara independen.
Independensi Substansi
Sedangkan
dalam kasus pengawasan hakim, konflik yang terjadi bisa dimasukkan ke dalam
perdebatan dalam pelaksanaan teori substantive independence (Shetreet, 1985)
atau core independence (Adams dan Allemeersch, 2013).
Artinya,
apakah hakim terganggu independensinya saat menjalankan tugasnya dalam
memeriksa dan memutus perkara, atau menurut bahasa yang banyak dipakai di
Indonesia sekarang adalah dalam ranah teknis yudisial. Untuk area tersebut
memang tidak ada siapa pun yang bisa mencampurinya, termasuk pimpinan lembaga
peradilan itu sendiri.
Sekalipun
dalam undang-undang Mahkamah Agung disebut sebagai pengawas tertinggi
penyelenggaraan peradilan, itu lebih ke dalam fungsinya mengadili suatu kasus
pada tingkat kasasi. Karena itu, wewenang pengawasan yang diberikan kepada
lembaga negara independen sejenis Komisi Yudisial di banyak negara pun
hanyalah dalam ranah etik dan perilaku.
Hanya dalam
praktik kemudian muncul permasalahan apakah sebenarnya batasan yang jelas
antara teknis yudisial dan etika perilaku hakim. Hal ini semakin rumit karena
dalam kode etik dan pedoman perilaku yang ada di Indonesia tidak ada batasan
yang jelas bahkan dalam beberapa prinsipnya bisa dikatakan secara beririsan
mengandung kedua hal tersebut.
Karena itu,
duduk bersama antara lembaga negara terkait, Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial, untuk menyepakati batasan, bahkan jika perlu melakukan revisi kode
etik, merupakan hal yang cukup mendesak.
Independensi Internal
Hal lain dalam
independensi peradilan yang juga tidak boleh dilupakan adalah tentang
internal independence (Adams dan Allemeersch, 2013). Dalam hal ini seorang
hakim tidak boleh juga terganggu independensinya oleh tekanan struktural
maupun fungsional dari lembaga tempatnya bekerja.
Salah satu isu
konkret dalam ranah ini adalah perihal pelaksanaan promosi dan mutasi seorang
hakim. Di sebagian negara, untuk mencegah ada ketergantungan dari seorang
hakim kepada pimpinannya, tidak dilakukan proses promosi dan mutasi secara
reguler oleh Mahkamah Agungnya (Guarniery and Pederzoli, 2003). Andaipun ada
yang melakukan proses promosi mutasi secara reguler, harus didasarkan pada
sistem merit dan meniadakan faktor like
and dislike.
Akuntabilitas
Terakhir perlu
juga disampaikan bahwa sisi mata uang lain dari independensi adalah
akuntabilitas. Dalam isu ini, perlu terus dilakukan penataan organisasi dan
manajemen perkara dalam lembaga yudikatif. Saat ini salah satunya sudah
dengan baik dijalankan melalui publikasi putusan hakim secara online dan
dikeluarkannya Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 144 tentang Keterbukaan
Informasi di Pengadilan.
Hanya agar
hasilnya optimal, masyarakat sipil khususnya akademisi harus mengambil peran
sebagai mitra kritis yang memanfaatkan kebijakan keterbukaan putusan ini
misalnya dengan kajian-kajian putusan secara rutin di dunia kampus. Dengan
demikian, hasilnya selain berguna bagi perkembangan hukum, juga diharapkan
akan berakibat pada meningkatnya kualitas putusan hakim dan akuntabilitas
pengadilan itu sendiri .
Di samping
itu, pelaksanaan wewenang oleh masing-masing lembaga negara pun perlu
dilakukan secara optimal sesuai dengan fungsinya. Dengan begitu, kemudian
akan tercipta mekanisme check and balances yang apik dalam hubungan
antarlembaga negara, bukan saling meniadakan satu sama lain, termasuk antara
lembaga peradilan dan lembaga negara lainnya.
Dengan
demikian, independensi peradilan akan dapat ditegakkan dengan tanpa
mengurangi akuntabilitas peradilan di dalamnya. Jika tidak demikian,
independensi peradilan akan membawa masalah lain. Tidak hanya bagi dunia
peradilan, tapi juga bagi negara hukum Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur, saat peradilan
lemah independensinya, lembaga peradilan akan dipolitisasi. Tapi, saat
peradilan ”terlalu independen”, lembaga peradilan akan melakukan politisasi
(Garoupa and Ginsburg, 2009). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar