Menguji Paket Kebijakan Ekonomi
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
12 Oktober 2015
Carmen Reinhart, Profesor Ekonomi Universitas Harvard,
mengingatkan, saat ini negara berkembang tengah menghadapi ancaman krisis amat
serius. Cirinya, pertumbuhan ekonomi dan ekspor terkoreksi tajam, sementara
defisit neraca transaksi berjalan serta defisit fiskal terus melebar. Di
samping itu, utang terus meningkat dan aliran modal masuk menurun. Dalam
derajat tertentu, perekonomian kita mengalami hampir semua gejala tersebut.
Benarkah kita menghadapi ancaman krisis?
Tidak semua gejolak berakhir dengan krisis. Sebaliknya, tak
semua situasi aman tidak berpotensi krisis. Dalam situasi krusial ini,
kebijakan pemerintah dan situasi politik jadi sangat menentukan. Begitu kata
Nouriel Roubini, Profesor Ekonomi Universitas New York. Krisis berpotensi
meletup ketika siklus ekonomi bertemu dengan siklus politik.
Kita masih beruntung siklus ekonomi tak terlalu parah, sementara
siklus politik tak terlalu mengkhawatirkan. Meskipun demikian, ada saja
gejolak politik yang jika tak dikendalikan berpotensi merusak dinamika
ekonomi.
Dinamika pasar keuangan pada minggu lalu menunjukkan tendensi
perbaikan. Rupiah menguat kembali menjadi Rp 13.300-an setelah sempat
menyentuh Rp 14.900-an. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan kembali ke
level 4.500-an setelah sempat berada di level 3.900-an. Apakah ini akibat
paket kebijakan ekonomi tahap III? Sejatinya kausalitas di antara keduanya
sulit dibuktikan. Ada faktor lain yang memberi konteks.
Pertama, proyeksi perekonomian Amerika Serikat kembali memburuk
sehingga ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed kembali menurun. Sangat
mungkin, kenaikan suku bunga baru akan dilakukan pada kuartal pertama tahun
depan. Itulah mengapa likuiditas kembali mengalir ke negara berkembang.
Kedua, di pasar keuangan domestik sedang ada hajatan besar penerbitan saham
baru PT HM Sampoerna Tbk senilai hampir Rp 21 triliun. Ketiga, Bank Indonesia
gencar mengintervensi pasar, terlihat dari cadangan devisa yang terus menurun
menjadi 101,7 miliar dollar AS pada September 2015, dari posisi 105,3 miliar
dollar AS pada bulan sebelumnya.
Di luar soal teknis, secara umum kepercayaan investor asing
terhadap perekonomian domestik masih cukup tinggi. Ditambah dengan paket
kebijakan ekonomi tahap III yang semakin fokus, minat investor juga semakin
meningkat. Dengan begitu, meski tidak memiliki korelasi langsung dengan
perbaikan situasi, paket kebijakan ekonomi tetap berfungsi sebagai faktor moderasi
atau membuat gejolak tak berlanjut dan keyakinan investor bertambah.
Ada tiga fokus paket kebijakan ekonomi tahap III ini. Pertama,
penurunan tarif listrik, harga solar, dan harga gas. Kedua, perluasan
penerima kredit usaha rakyat melalui subsidi bunga. Ketiga, penyederhanaan
izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Fokus pertama menurunkan
biaya produksi, kedua memperbaiki akses permodalan dan ketiga mempermudah
investasi. Jika ketiganya berjalan seiring, dampaknya terhadap sektor riil
akan terasa.
Majalah The Economist
edisi awal Oktober memuat laporan khusus tentang dominasi dollar AS yang
dinilai mulai membahayakan. Pasalnya, dominasi nilai tukar dollar AS di pasar
global semakin meningkat, sementara ekonomi riilnya justru meredup. Proporsi
saham perusahaan AS terhadap pasar investasi global menurun, tetapi dana
kelolaan perusahaan investasi AS justru meningkat.
Di sisi lain, negara berkembang menikmati dominasi dollar karena
membantu memenuhi kebutuhan keuangan domestik mereka. Sebanyak 20 persen-50
persen surat utang beberapa negara berkembang, seperti Indonesia, Malaysia,
Meksiko, Turki, dan Afrika Selatan, dipegang pemilik asing. Prinsipnya,
semakin besar proporsi asing terhadap kepemilikan aset keuangan domestik,
semakin berpotensi mengalami gejolak. Karena itu, suku bunga di negara
tersebut cenderung tinggi guna mempertahankan pemegang surat utang asing agar
tak keluar.
Data terkini imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10
tahun di beberapa negara mengindikasikan ketergantungan kepada investor
asing. Brasil menawarkan imbal hasil tertinggi, 15,47 persen, dan Turki 10,99
persen. Indonesia termasuk dalam kelompok negara ini dengan imbal hasil 9,79
persen.
Jika melihat polanya, hampir semua negara yang kini begitu
bergantung pada pendanaan asing semula merupakan negara pengekspor komoditas
primer. Momentum penting pada 2013 ketika harga komoditas turun drastis
membuat negara pengekspor komoditas mulai mengalami penurunan kinerja
ekonomi, sementara pasar keuangannya mulai bergejolak.
Kini, meski tekanan terhadap nilai tukar mereda, tidak ada
jaminan gejolak tak akan terjadi lagi. Selama kita belum mampu mengganti
ekspor komoditas dengan produk manufaktur; dan selama ketergantungan pada
pendanaan asing masih tinggi, kita harus siap diombang-ambingkan gejolak pasar.
Paket kebijakan I, II, III, dan sebentar lagi IV dalam jangka
pendek berfungsi memoderasi situasi. Namun, dalam jangka panjang, paket
kebijakan itu harus mampu mengubah pola fundamental ekonomi. Kita menantikan
kausalitas langsung dan signifikan antara dinamika pasar keuangan dan paket
kebijakan. Selain perlu waktu, juga perlu konsistensi kebijakan. Jangan
sampai kegaduhan politik membuat siklus ekonomi tak mampu beranjak naik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar