Musibah Mina dan Suksesi Saudi
Faisal Assegaf ; Pendiri Albalad.co
|
KORAN
TEMPO, 13 Oktober 2015
Musim haji tahun ini rasanya pantas diberi label sebagai musim
haji paling tragis sepanjang sejarah, lantaran ada dua tragedi: jatuhnya
derek raksasa di Masjidil Haram dan petaka di Mina. Dua tragedi itu telah
mengoyak kredibilitas Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz, pemilik gelar
Pelayan Dua Kota Suci.
Pamornya semakin suram lantaran Raja Salman berbohong. Lewat
media, pemerintahnya mengumumkan bahwa tragedi Mina itu menewaskan 769 orang
dan 934 lainnya luka. Namun mereka menyebarkan sekitar 1.100 foto korban
meninggal kepada para diplomat untuk proses identifikasi.
Dengan kesehatan meragukan dan sudah pikun sejak naik takhta
pada Januari lalu, kekuasaan Salman tinggal menunggu waktu. Dua
skenario—suksesi atau kudeta—sangat mungkin terjadi di sana.
Di negeri berlimpah sumber fulus, dari minyak, gas, serta haji
dan umrah itu, tidak aneh ada intrik, konflik, dan persaingan ketat dalam
keluarga kerajaan. Ratusan pangeran tentu bakal berebut pengaruh dan kuasa
buat menguasai hartanya.
Namun, kali ini, konflik dalam keluarga kerajaan mencuat ke
publik setelah seorang pangeran, salah satu cucu dari mendiang pendiri Arab
Saudi, Raja Abdul Aziz, menulis surat terbuka yang menyerukan kudeta terhadap
Raja Salman. Dia beralasan, pemimpin berusia 79 tahun itu tidak mampu lagi
menjalankan pemerintahan karena kesehatannya digerogoti sejumlah penyakit.
Konflik internal dan persaingan antarpangeran sejatinya bukan
hal baru di Saudi, namun kudeta tidak umum terjadi. Kudeta terakhir
berlangsung pada 1964, ketika Raja Saud dipaksa turun oleh Pangeran Faisal.
Sebelas tahun kemudian, Raja Faisal ditembak mati oleh keponakannya.
Tekanan terhadap Raja Salman untuk lengser kian besar lantaran
anggaran Saudi tergerus oleh melemahnya harga minyak mentah dunia, sumber
pendapatan utamanya. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tahun ini
defisit Saudi mencapai US$ 107 miliar (Rp 1.566 triliun), yang makin membengkak
akibat ongkos perang Yaman yang ditanggung Saudi. Sampai-sampai Riyadh
menarik Rp 1.029 triliun dananya di luar negeri buat mengurangi defisit.
Raja Salman sudah sadar dia tidak bakal lama lagi memerintah.
Karena itu, tiga bulan setelah duduk di singgasana, dia membuat keputusan
mengejutkan: mencabut gelar putra mahkota dari Pangeran Muqrin bin Abdul
Aziz, putra bungsu Abdul Aziz. Dia kemudian mengangkat Pangeran Muhammad bin
Salman, putra sulungnya dari istri ketiga, menjadi wakil putra mahkota. Posisi
itu sebelumnya dipegang Pangeran Muhammad bin Nayif, yang kini otomatis naik
menjadi putra mahkota. Sebenarnya ini tidak juga mengagetkan, lantaran ibu
Muqrin bukanlah bangsawan.
Ada dua sinyalemen disampaikan Raja Salman terkait dengan
keputusan kontroversialnya itu. Dia ingin memutus rantai generasi kedua
penguasa Saudi. Artinya, dialah anak Abdul Aziz terakhir dari klan ibu, Hissa
as-Sudairi, yang menjadi raja. Sejak Abdul Aziz meninggal, semua penguasa
Saudi—mulai dari Saud, Faisal, Khalid, Fahad, hingga Abdullah, dan kini
Salman--beribukan Hissa as-Sudairi.
Tentu saja ini bertentangan dengan dekrit Raja Abdullah pada
2006 yang berisi: jika semua anak-anak Abdul Aziz sudah tidak ada, baru
kekuasaan dipegang oleh salah satu cucunya yang dipilih dari sekian ratus
pangeran oleh sebuah dewan beranggotakan para pangeran senior.
Kedua, Raja Salman berambisi menjadikan anaknya itu sebagai
penggantinya, walau miskin pengalaman. Usia Muhammad bin Salman terbilang
amat muda, yang diyakini baru 30 tahun, meskipun di dokumen resmi tertulis 35
tahun. Dia sebenarnya adalah pelaksana pemerintahan keseharian kerajaan itu,
karena memegang dua jabatan mentereng lain, yakni sebagai menteri pertahanan
dan ketua komisi kebijakan ekonomi.
Boleh jadi keistimewaan itu membikin sepupunya, Muhammad bin
Nayif, iri. Inilah yang membuat persaingan keduanya kian panas. Itu sebabnya
muncul tudingan bahwa dua tragedi di musim haji tahun ini sengaja untuk
mencoreng reputasi Muhammad bin Nayif, yang dikenal dekat dengan Amerika Serikat
karena sama-sama terlibat operasi menumpas Al-Qaidah saat menjabat kepala
intelijen. Dengan jabatan tambahan sebagai menteri dalam negeri, dia
bertanggung jawab pula atas pengamanan pelaksanaan ibadah haji.
Sedangkan Pangeran Muhammad bin Salman butuh reputasi yang baik.
Namanya sudah jelek akibat perang di Yaman yang dianggap gagal. Keputusan
sembrono sang pangeran untuk melakukan intervensi militer langsung secara
keroyokan makin membuat Yaman kian bergolak. Kalau persaingan keduanya
dibiarkan berlarut-larut, akan sangat berbahaya bagi masa depan Saudi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar