Kamis, 15 Oktober 2015

Begitu Mahalnya Bernapas Bebas

Begitu Mahalnya Bernapas Bebas

Fauzia Fatchan  ;  Korban kabut asap;
Bekerja dan tinggal di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah
                                                      JAWA POS, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETIKA saya pindah ke sebuah desa di Kalimantan Tengah tiga tahun lalu untuk bekerja, salah satu hal pertama yang saya pahami adalah adanya tiga musim di sini: musim hujan, musim kemarau, dan musim asap. Karena begitu musim kemarau tiba, kebakaran lahan pun dimulai.

Dengan kondisi tanah yang sebagian besar merupakan tanah gambut, kebakaran memang mudah sekali terjadi pada musim kemarau. Juga, kebakaran di lahan gambut lebih sulit dipadamkan. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membersihkan lahan yang kemudian mereka gunakan untuk usaha. Umumnya, usaha perkebunan. Membersihkan lahan dengan cara membakar jauh lebih murah dan mudah daripada menggunakan alat-alat berat.

Tahun ini adalah musim asap terparah yang pernah ada. Sudah dua bulan terakhir ini kami bangun tidur di pagi hari dengan sesak napas dan mata pedih. Sebab, asap dari lahan-lahan yang terbakar telah masuk dan bertahan di dalam rumah. Tidak mungkin benar-benar membendung masuknya udara yang bercampur asap kebakaran ke dalam rumah seperti halnya jika kita membendung air banjir.

Ketika kondisi itu terjadi, jarak pandang 15–30 meter saja. Dengan asap yang begitu pekat, penggunaan masker sudah tidak memadai lagi. Hal itu sama dengan jika kita harus berdiri di depan knalpot kendaraan yang sedang berjalan.
Tidak semua orang yang terdampak mampu memiliki AC atau penyedot udara untuk menjaga sirkulasi udara. Apalagi jika harus terpasang di setiap ruangan di dalam rumah. Tidak semua orang yang terdampak bisa mengungsi. Bagi sebagian besar warga, di sinilah satu-satunya tempat tinggal berikut sanak kerabat mereka lainnya.

Selain akses keluar dari daerah terdampak hampir seluruhnya tertutup, mengungsi membutuhkan biaya ketika di saat yang sama mereka harus meninggalkan pekerjaan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Pollutant Standards Index (PSI) adalah indikator kualitas udara yang paling mudah dimengerti masyarakat luas. Ketika PSI mencapai angka di atas 300, artinya udara sudah masuk kategori berbahaya, bukan hanya tidak sehat. Semuanya terpapar. Terutama tubuh dan makanan.

Pada Hari Raya Idul Adha lalu, indeks kualitas udara di Palangka Raya menunjukkan angka di atas 1.900. Dua hari kemudian bahkan memecahkan rekor dengan angka 2.300. Sebuah instansi pengamat lingkungan di Amerika Serikat melalui pantauan via satelit menyebutkan bahwa indeks kualitas udara di Palangka Raya ”secara harfiah hampir keluar dari grafik”.

Kami yang awam ini juga punya indikator sendiri. Apabila di pagi hari bisa melihat matahari dengan mata telanjang tanpa harus merasa silau seperti hari-hari ketika cuaca normal, kami sebaiknya tinggal di rumah saja. Sebab, matahari hanya akan bisa dilihat dengan mata telanjang ketika asap sangat tebal dan pekat.

Apalagi jika langit juga tampak kemerahan-merahan. Artinya, kami berada cukup dekat dengan titik-titik api. Kami berada di episentrum bencana. Beberapa hari terakhir matahari bahkan tidak terlihat sama sekali. Tidak seberkas sinar pun bentuknya.

Kehidupan benar-benar lumpuh. Sekolah-sekolah sudah lama diliburkan. Kalaupun sempat masuk, sering kali anak-anak harus dipulangkan karena asap yang semakin tebal. Hal serupa terjadi di kantorkantor layanan masyarakat. Buka dan tutup bergantung ketebalan asap yang sangat tidak bisa diprediksi kapan menebal dan menipis. Bandara bahkan telah ditutup total selama lebih dari dua bulan.

Namun, banyak juga yang masih beraktivitas di luar ruangan. Misalnya pasar. Meskipun situasi pasar-pasar tradisional juga sepi. Bukan hanya minim pembeli, barang-barang dagangan pun menurun dari segi jumlah dan kualitas.

Puskesmas dan rumah sakit yang sibuk. Hingga saat ini, di Indonesia saja, telah tercatat sekitar 140.000 orang menderita berbagai penyakit pernapasan. Warga harus mengeluarkan biaya Rp 500 ribu–Rp 700 ribu untuk berobat karena ISPA. Ketika membutuhkan oksigen murni, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk harga oksigen yang mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Begitu mahalnya bernapas bebas.

Dengan kondisi yang begitu parah dan didukung angka-angka statistik yang mengerikan, reaksi pemerintah tidak kalah ”mencengangkan”.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah menyatakan bahwa tahun lalu area yang terbakar hanya 40 ribu hektare. Sekarang lebih dari 190 ribu hektare. HANYA 40 RIBU. Apakah Bu Menteri tahu, dengan area ”hanya” seluas itu saja, dampak yang ditimbulkan sudah sangat merepotkan bagi kami yang menjadi korban? Apakah itu juga yang lantas tidak cukup membuat khawatir pihak pemerintah untuk bergerak cepat dan mencegah?

Jauh-jauh hari BMKG menyatakan, dengan adanya El Nino, tahun ini hujan diprediksi baru terjadi pada November. Padahal, kebakaran sudah dimulai awal Agustus lalu.

Dengan pada dasarnya hanya menunggu datangnya hujan, Indonesia terbukti mencetak ”prestasi” mengacaukan jadwal penerbangan di Thailand untuk kali pertama sepanjang sejarah dengan kiriman kabut asap.

Memang lahan gambut mudah terbakar. Terutama pada musim kemarau. Tapi, bencana yang begitu masif dan parah juga akan bisa dihindari jika korporasi-korporasi yang membakar lahan benar-benar dibuat jera selama-lamanya.
Dicabut izinnya, disita lahannya, serta dijatuhi sanksi penjara yang lama dan denda yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah. Kalau ancaman kurungan beberapa tahun dan denda beberapa miliar rupiah saja, musim asap akan benar-benar menjadi musim ketiga.

Bukan kami yang membakar. Kami juga tidak mendapatkan keuntungan dari kebakaran. Tapi, kami harus menanggung semua kerugiannya. Berat perjuangan kami untuk bernapas. Namun, hidup harus terus berlanjut. Walau sambil menghirup maut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar