“Tacit”
dan Kiat
Liek Wilardjo ; Guru Besar Fisika
|
KOMPAS,
09 Agustus 2014
BAGUSLAH bahwa ada seorang Muhadjir Darwin yang menulis artikel
tentang profesor kehormatan di harian ini pada 17 Juli lalu. Sebagai ilmuwan,
Muhadjir Darwin merasa terpanggil ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
berpegang pada paradigma Merton, khususnya imperatifnya yang keempat, yakni
skeptisisme yang tertib. Imperatif ini memerintahkan kepada ilmuwan untuk
tidak begitu saja menelan bulat-bulat pernyataan orang, tak peduli apakah si
pembuat pernyataan itu Mendikbud, pemenang hadiah Nobel, ataupun presiden.
Semua harus disyakwasangkai dulu dan dicermati serta diuji secara teoretis
dan/atau eksperimental, sebelum diterima sebagai kebenaran ilmiah.
Penganugerahan gelar profesor kehormatan itu ada payung
hukumnya. Terlepas dari apakah payung hukum yang berupa undang-undang (UU)
dan permendikbud itu perlu digugat di Mahkamah Konstitusi atau tidak, Muhadjir
mempertanyakan apakah ketentuan dalam UU dan permendikbud itu dipenuhi dalam
penganugerahan gelar itu atau tidak. Jawabannya tentu dapat dilihat dalam
laudatio yang diucapkan promotor dalam upacara penganugerahan gelar tersebut.
Pasal karet vs nurani
Saya menduga bahwa pertanyaan Muhadjir mudah dimentahkan sebab
dalam UU dan permendikbud itu ada
frasa yang multitafsir alias tidak jelas. Dalam UU No 12/2012 Pasal
72(5) ada frasa ”kompetensi luar biasa”. Yang ”luar biasa” itu yang seperti
apa? Adakah kriterianya, atau setidak-tidaknya tolok bandingannya?
Dalam Permendikbud No 88/2013 Pasal 2 (2) ada klausa ”Yang
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di
perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia”. Kata kunci
yang dapat dipakai untuk mementahkan pertanyaan Muhadjir ialah ”potensi”.
Meskipun potensi itu belum atau tak teraktualisasikan sampai kiamat, ia tetap
saja ”potensi”. Jadi, secara harfiah, ketentuan dalam permendikbud itu
dipenuhi.
Muhadjir juga mengatakan bahwa karya ilmiah penerima anugerah
profesor kehormatan itu, berupa disertasi mereka, tidak ada hubungannya
dengan pengetahuan tacit yang katanya dimiliki mereka dan dijadikan dasar
penganugerahan gelar itu. Memangnya ada, secara tersurat dalam payung hukum
itu, kata-kata yang mempersyaratkan adanya hubungan antara disertasi dan
pengetahuan tacit itu? Tidak ada!
Pengetahuan tacit, seperti dikatakan oleh Muhadjir, ialah ”pengetahuan yang tidak tertulis, tidak
terucapkan, atau tersembunyi yang dimiliki orang...”. Si pemilik
pengetahuan yang masih disimpan di dalam pikirannya itu biasanya berpegang
pada nilai konstitutif the suspension
of belief. Artinya, ia menangguhkan keputusannya untuk memercayai temuan
baru atau pernyataan orang lain yang bertentangan atau berbeda dengan
pengetahuan tacit-nya meskipun sudah ada penjelasannya yang
logis-rasional dan/atau bukti
eksperimental atau observasionalnya.
Bisa juga nilai konstitutifnya berupa the suspension of disbelief. Julian Schwinger, pemenang Nobel
Fisika, berpegang pada nilai konstitutif ini ketika ia membela tidak
mustahilnya fusi dingin, ketika Stanley Pons dan Martin Fleischmann
”dibantai” komunitas ilmuwan karena mengaku telah berhasil merealisasikan
fusi dingin secara elektrolitik di dalam air berat (D2O) dengan paladium
sebagai katalisnya.
Pertanyaan Muhadjir tentang apakah pendirian perguruan tinggi
yang dilakukan penerima gelar profesor kehormatan itu telah memadai sebagai
bukti transformasi dari yang tacit menjadi eksplisit juga gampang dipatahkan.
Haruskah (berdasarkan payung hukum itu) sudah terjadi tranformasi tersebut?
Pokoknya, kalau kita mau bersilat lidah dalam technicalities dan
”menegakkan” hukum secara positivistik-legalistik, sampai di Mahkamah Konstitusi
pun Muhadjir akan kalah. Pokrol bambu memang sulit dilawan, kecuali oleh
nuraninya sendiri. Itu pun kalau ein ruf aus mir, und doch ueber mich itu
tidak ditekan dan dibungkam dengan rasionalisasi si pendengar bisikan hati
itu.
Di kalangan politikus dan pejabat ambisius, teriakan Muhadjir
tak akan tembus. Namun, keberanian Muhadjir menyuarakan nuraninya sebagai
upaya konsientitasi di kalangan komunitas ilmuwan jelas bermanfaat, terutama
untuk mereka yang intelektualitasnya mulai dilunturkan pertimbangan
pragmatisme- oportunisme. Dapat diharapkan bahwa nurani mereka akan
mengedepankan jiwa atau semangat yang terkandung dalam payung hukum
penganugerahan gelar profesor kehormatan.
Kaidah jempol
Penjelasan Muhadjir tentang rule
of thumb dalam proses produksi di pabrik sebagai pengetahuan tacit para
pekerjanya, yang diperoleh buruh secara personal berdasarkan pengalaman
masing-masing selama sekian tahun magang di perusahaan itu, pada hemat saya
benar. Namun, dalam pendidikan perekayasaan ”kaidah jempol” itu ada
definisinya.
”Kaidah jempol” itu padanannya ”kiat”. Padanan yang lain juga
ada, seperti intuisi, teknik (technique),
hint, heuristic, rule of craft,
engineering judgment, dan working
basis. Dalam bahasa Perancis, kiat disebut le pif, yang arti harfiahnya ’hidung’. Menurut Billy Vaughn Koen
(American Society for Engineering
Education, Washington DC, 1987) kiat ialah dasar yang masuk akal (plausible)—kendati bisa salah—dari
siasat perekayasaan untuk menyelesaikan masalah. Kiat itu praktis dan mudah
dilakukan dalam perancangan, perekayasaan, dan pengerjaan pembuatan alat,
lagi pula berguna dalam mempercepat proses fabrikasi. Namun, kalau dicermati
sungguh-sungguh secara ilmiah, bisa saja ternyata kiat itu salah atau hanya
benar dalam batas-batas ranah kesahihan tertentu. Di luar itu, yang melampaui
batas pengalaman, penggunaan kiat merupakan tindakan untung-untungan.
Contohnya ialah musibah peluncuran Challenger oleh NASA, yang
menghancurleburkan pesawat ulang alik itu beserta semua astronotnya, termasuk
ibu guru TK, Christa McAuliffe, 28 Januari 1986.
Secara nekat, Challenger diluncurkan di musim dingin, ketika
suhu sangat rendah. ”Cincin O” yang menyumbat celah sempit pada sambungan
tangki bahan bakar, yang terbuat dari bahan lenting, menjadi rapuh dan
hancur. Bahan bakarnya merembes keluar dan tersulut oleh panasnya gesekan
antara roket penggalak dan udara.
Omong-omong, kalau pada nama penyandangnya pangkat jenderal
kehormatan ditulis ”Jen (hor)”, apakah profesor kehormatan
ditulis ”Prof (HC)”, atau ”Prof (hor)”? Sesuai dengan kelaziman di dunia
akademik, pada hemat saya, ”Prof (HC)” lebih baik. Kalau ”Prof (hor)”,
penerima gelar itu yang sebelumnya sudah berpangkat jenderal kehormatan
jangan-jangan nanti disebut Profjen (hor-hor).
Di telinga orang tua yang pendengarannya sudah tidak tajam lagi,
”hor-hor” itu dapat terdengar sebagai horor! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar