Rabu, 27 Agustus 2014

Redistribusi Tanah Pertanian bagi Petani

Redistribusi Tanah Pertanian bagi Petani

Bambang Sutrisno  ;   Peneliti Senior
pada Indonesia Center for Sustainable Development
MEDIA INDONESIA, 26 Agustus 2014
                                                


SETIAP pemerintahan berganti, topik peningkatan pendapatan petani senantiasa menjadi bahan kampanye yang disuarakan, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Urusan petani senantiasa menjadi sangat penting. Suara petani dan masyarakat desa menguasai lebih dari 50% suara rakyat Indonesia.Tak mengherankan bila setiap kontestan selalu berusaha merebut suara petani dengan janji-janji peningkatan kesejahteraan bagi petani.

Peningkatan pendapatan merupakan mimpi setiap petani. Mimpi-mimpi itu kemudian termanifestasi dalam legenda akan datangnya ratu adil, pemimpin yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi petani.Ratu adil inilah yang akan membawa kaum tani menuju cita-cita kehidupan mereka, panen yang melimpah diikuti dengan harga yang baik dan dalam keadaan harga-harga umum yang stabil.

Situasi tersebut sangat dipahami bukan hanya oleh ahli-ahli pertanian saja, melainkan oleh semua ahli politik di negeri ini. Setiap partai dan kontestan politik tidak pernah alpa menaruh tekad memperbaiki kesejahteraan petani ke prioritas teratas program kerjanya. Dengan harapan, mereka akan dipilih masyarakat tani tentunya.

Menggantang asap

Usaha peningkatan kesejahteraan petani tanpa redistribusi aset tanah kepada petani sama saja dengan menggantang asap. Mengapa? Kita ketahui bahwa kepemilikan lahan pertanian hanyalah 0,2 hektare (ha) per keluarga pertanian. Jumlah itu sangat kecil untuk menghasilkan panen yang mampu mencukupi kebutuhan satu keluarga.Bila saja tanah tersebut merupakan sawah beririgasi baik yang dapat dipanen dua kali setahun, setiap keluarga akan menghasilkan gabah sebanyak 2,04 ton per tahun. Bila harga gabah mengikuti harga patokan pemerintah sebesar Rp3.600 per kg, satu keluarga petani akan menghasilkan uang sejumlah Rp7,3 juta per tahun atau rata-rata bulanan Rp612 ribu.

Sudah tentu nilai tersebut kecil sekali untuk menghidupi satu orang, dengan ukuran desa sekalipun, apalagi untuk menghidupi empat jiwa dalam satu keluarga. Bila jumlah pendapatan itu kemudian dibelikan beras yang harganya sebesar Rp6.000 per kg, hasilnya setara dengan 102 kg beras per rumah tangga per bulan. Jumlah itu cukup untuk tidak kelaparan, tetapi tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas harian lainnya.Jangankan untuk pendidikan, bahkan untuk menjaga kesehatan keluarga agar tetap sehat pun jumlah itu sangat tidak memadai.

Pemerintahan baru presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla memprogramkan redistribusi tanah kepada petani. Ini tentu kabar gembira bagi para petani guram yang tidak memiliki lahan pertanian. Disebutkan sebagai program prioritas saja sudah pasti membuat petani senang, apalagi kalau dilaksanakan. Paling tidak mimpi para petani tidak sekadar mimpi, tetapi sudah berubah menjadi harapan nyata.

Luas lahan yang harusnya dimiliki petani tanaman pangan setidaknya 2 ha per keluarga petani. Itu berarti setiap petani harus menambah luas lahan pertanian yang diolahnya sebesar 10 kali lipat. Dengan luasan tersebut, petani akan meningkat pendapatannya sedikitnya 10 kali lipat pula. Bila setiap rumah tangga pertanian mampu menghasilkan pendapatan setidaknya Rp6 juta per keluarga per bulan, sudah dapat dipastikan keluarga petani akan sejahtera.

Jumlah yang memadai tersebut tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, tetapi juga mampu menjadi multiplier effect bagi peningkatan ekonomi perdesaan. Peningkatan pendapatan petani akan mendorong kebutuhan-kebutuhan sekunder mengalir ke desa. Peluang kerja di daerah-daerah perdesaan juga akan terbuka. Pemuda-pemuda tani yang semula memilih keluar dari desa akan kembali. Kegiatan pertanian dan ekonomi kecil akan menjadi lebih semarak.

Proses redistribusi aset lahan pertanian itu juga harus dilaksanakan seiring dengan kebijakan kedaulatan pangan. Redistribusi aset bukan sekadar mengalihkan lahan pangan dari pemilik saat ini kepada petani pemilik lahan yang baru. Lahan yang didistribusikan juga harus benar-benar lahan baru yang semula bukan lahan pertanian produktif. Dengan demikian, akan terjadi proses ekstensifikasi lahan yang diperlukan untuk mencapai dan menjaga kedaulatan pangan nasional.

Tiga tantangan

Mewujudkan redistribusi lahan pertanian bukan pekerjaan mudah. Ketersediaan tanah menjadi masalah pertama. Di Jawa, luas lahan pertanian semakin menyusut sehingga mau tak mau pemerintah mesti mengarahkan sasaran redistribusi lahan ini ke luar Jawa. Lahan-lahan produktif di Jawa jumlahnya semakin terbatas. Jika pun ada ketersediaan lahan yang masih belum optimal diusahakan, lahan tersebut pastilah terbatas, di samping jumlahnya kecil dan lokasinya terpencar (scattered).

Masalah kedua ialah hadangan keterbatasan infrastruktur pertanian di luar Jawa. Bila redistribusi lahan tanpa disertai dengan kesiapan infrastruktur, yang terjadi ialah proses pemindahan kemiskinan semata.Infrastruktur jalan, irigasi, dan permukiman harus disiapkan sehingga program itu bukan hanya proyek semata, melainkan sudah menjadi satu kebutuhan pengembangan wilayah pangan. 

Benturan akan terjadi dengan ketersediaan lahan kehutanan dan lahanlahan hak guna usaha (HGU) yang telah diberikan kepada perusahaan. Di sini diperlukan kerja keras pemerintah untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut.
Infrastruktur yang harus disediakan saat ini juga tidaklah murah. Pembangunan jalan, misalnya, tidak hanya memerlukan biaya, tetapi juga mesti disediakan biaya pembebasannya. Lokasi lahan pertanian produktif juga tidaklah dekat dengan kota-kota yang telah memiliki infrastruktur yang baik, tetapi akan lebih ke pedalaman. Belum lagi kebutuhan akan air dan jaringan irigasi. Di samping itu, juga dibutuhkan listrik yang memadai. Ini merupakan prasarana dasar yang mesti disediakan pemerintah.

Tantangan berikutnya ialah bagaimana meyakinkan pemerintah daerah di luar Jawa untuk menerima migrasi penduduk dari Jawa. Perpindahan penduduk Pulau Jawa terkadang mendapatkan stigma jawanisasi di masa lalu. Hal itu akan menjadi permasalahan tersendiri yang perlu dicarikan jalan pemecahan yang bijak. Pemerintah dituntut untuk dapat menyosialisasikan kebutuhan perpindahan penduduk itu semata demi kepentingan nasional. Kepentingan tersebut ialah kebutuhan pangan yang semakin meningkat dan kebutuhan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kepentingan pemerataan pembangunan juga menjadi salah satu argumentasi yang dapat dikemukakan pemerintah untuk merealisasikan rencana ini. Daerah harus mendapatkan keuntungan dari program pembangunan ini bagi rakyat di daerahnya.Keuntungan tersebut dapat berupa tersedianya sarana pendidikan yang lebih baik, sarana kesehatan yang juga lebih memadai, ataupun infrastruktur penunjang yang berdaya saing. Tanpa ada insentif yang memadai bagi daerah, akan sulit bagi pemerintah pusat mewujudkan program yang sangat baik ini.

Di atas semua itu, tentunya diperlukan keterbukaan semua pihak bagi tercapainya program redistribusi lahan pangan ini. Dibutuhkan konsensus nasional untuk mendorong keterpaduan langkah mencapai kemakmuran rakyat. Tanpa itu semua, kita akan kembali ke titik semula di saat kita bertengkar tak habishabisnya tetapi tidak ada hasil yang didapat karena tidak mampu mengimplementasikan program pembangunan bagi rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar