Selasa, 26 Agustus 2014

Para Jacobin

Para Jacobin

Sukardi Rinakit  ;   Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren
KOMPAS, 26 Agustus 2014
                                                


SETELAH keluar dari Desa Warembungan di luar Kota Manado, Rabu (20/8) malam itu, tiba-tiba mobil Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo berhenti. Ini sempat membuat bingung beberapa orang yang mengikuti. Ternyata, Pak Wamen ingin membeli buah langsat yang banyak dijual di pinggir jalan.

Mengetahui itu, saya tersenyum. Ini persis seperti cerita Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendadak minta berhenti untuk membeli durian ketika rombongan sedang meluncur dari Jombang menuju Malang. Bagi saya, peristiwa itu mencerminkan karakter kepemimpinan. Mereka itu spontan dan otentik. Pemimpin seperti ini, meskipun sering diejek pihak lain, biasanya mampu meletakkan persoalan besar di tempat yang seharusnya.

Akhir politik elite

Sekitar setahun terakhir, saya memang terlibat Gerakan Sadar Energi yang dikoordinasi oleh Wamen ESDM. Turut aktif dalam gerakan ini antara lain Saleh Abdurrahman, Gde Pradnyana, Handoyo Budi Santoso, dan Ridha Ababil. Kami keliling ke sejumlah wilayah di Tanah Air demi penyadaran publik soal hemat energi dan kelangsungan hidup bangsa.

Menariknya, situasi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang menghantui Indonesia dan keterbatasan energi fosil yang kita miliki mirip dengan kehidupan partai politik kita. Jumlah elite partai yang berkarakter negarawan semakin langka. Mungkin kini tinggal Megawati Soekarnoputri; dan berkaca pada pemilu presiden, Surya Paloh patut dipertimbangkan sebagai figur yang mulai menapak ke ranah sakral itu.

Selebihnya, banyak elite partai yang ambisi politiknya lebih besar daripada dirinya sendiri. Mereka tak menghargai keputusan-keputusan politik dari lembaga-lembaga yang menjadi cahaya moral rakyat seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini menunjukkan bahwa, seperti stok BBM yang ibarat sudah di ambang senja, republik kita juga sedang mengalami krisis negarawan. Selain itu, juga krisis pengorganisasian partai sebagai saluran aspirasi rakyat.

Fenomena membuncahnya pernyataan elite partai setelah pengumuman KPU mengenai tuduhan terjadi pelanggaran pemilu presiden yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, apabila ditarik dalam garis pemikiran William James (1907) soal truth and usefulness, pernyataan-pernyataan tersebut tidak benar karena tidak menyediakan penjelasan yang valid. Oleh sebab itu, seperti sudah terbukti, pernyataan demikian tidak bisa menjadi kekuatan yang mampu merobek pilihan publik.

Lebih dari itu, dalam perspektif budaya politik, perilaku para elite yang tidak mau menghargai keputusan lembaga-lembaga yang menjadi cahaya moral rakyat secara hipotesis menunjukkan bahwa era politik elite kini berakhir.

Dengan istilah lain, kejengkelan mereka bukan semata-mata karena kalah dalam kontestasi politik, melainkan karena mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa figur yang memenangi kontestasi tersebut adalah sosok yang tidak masuk radar mereka. Alam bawah sadar mereka tidak bisa menerima kekalahan dari figur pinggiran seperti Joko Widodo (Jokowi). Ini akan berbeda apabila sang pemegang amanah rakyat adalah tokoh dari kelas mereka (elite).

Berkaca dari hal tersebut, tidak mengherankan apabila Bung Karno dulu menganggap bahwa salah satu tantangan besar bangsa Indonesia adalah sikap elitisme. Sikap merasa lebih tinggi secara sosial-politik dibandingkan dengan rakyat kebanyakan bisa membawa perpecahan bangsa.

Oleh sebab itu, pada era pasca politik elite sekarang ini, sama dengan situasi energi fosil yang menipis, bahkan boleh disebut sudah krisis untuk BBM, partai politik dituntut melakukan kaderisasi secara sungguh-sungguh dan terencana agar lahir, meminjam istilah yang pernah digunakan Daoed Joesoef, para Jacobin. Jacobin adalah pekerja partai yang berideologi, tidak terjebak pada kibaran bendera partai dan kepentingan sempit pimpinannya, serta hatinya bersambung dengan kehendak rakyat.

Mereka ibarat Nabi Yusuf (putra Nabi Yakub/Jacob) yang bekerja jujur dan akhirnya menjadi pemimpin amanah serta tetap menyayangi saudara-saudaranya yang pernah menyakitinya. Pendeknya, para Jacobin tersebut sangat pantas dan sudah seharusnya mendapatkan posisi di pemerintahan.

Dalam konteks sekarang, dengan segala kelemahannya, para Jacobin adalah para pekerja partai yang tidak terindikasi korupsi, kredibel, dan mempunyai keahlian khusus di bidangnya. Kepada mereka ini, presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi dan Jusuf Kalla layak memberikan posisi di kabinet ataupun pos-pos lain yang strategis. Tentu saja, langkah itu diambil setelah presiden terpilih Jokowi secara prerogatif memilih sejumlah besar menteri dari kalangan profesional nonpartai agar terbangun zakenkabinet, atau kabinet yang diisi kalangan profesional, atau sangat ahli di bidangnya.

Misalnya, apabila tetap dipilih opsi 34 kementerian, idealnya 18 posisi ditempati para profesional nonpartai. Selebihnya, 13 menteri, dipikul para Jacobin dari partai-partai utama pengusung Jokowi-JK (PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura). Oleh karena mereka hanya menguasai 207 kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Partai Demokrat (61 kursi) dan Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi) paling layak dirangkul untuk masuk ke pemerintahan sehingga terkumpul kekuatan 307 kursi. Untuk mereka adalah tiga kementerian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar