Demokrasi
dan Kepatuhan
Janedjri M Gaffar ; Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus
PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 25 Agustus 2014
Kamis,
21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara
perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar
putusan menyatakan menolak permohonan pemohon.
Proses
persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan
wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat
perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.
Pembacaan putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses
politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya.
Penyelesaian
perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil
pemilu anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya
keberhasilan bagi MK, namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah
berhasil menjalani pemilu secara damai dalam menentukan pemerintahan yang
akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia menjalani dua pemilu pada 2014 ini
juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan prinsip negara hukum
yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum.
Final dan Mengikat
Pasal
24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus
perselisihan tentang hasil pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and
binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK
wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud
kesepakatan bersama segenap warga negara.
Desain
putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari
hakikat keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa,
mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran
konstitusionalitas. Pada posisi ini MK menjadi penafsir akhir konstitusi yang
harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir demi berjalannya
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu,
diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika
menjatuhkan putusan akan menghilangkan semua perbedaan.
Dalam
konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu
diperlukan agar kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar
otoritas akhir pemutus perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang
diakui semua pihak, ia harus bersifat independen dan imparsialterhadap
aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta maupun penyelenggara.
Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara mendalam
berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan
proses politik terhadap putusan hukum.
Konstruksi
ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari
perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil
pemilu. Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi
sehingga melahirkan kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses
persidangan, personal hakim, dan argumentasi putusan. Proses persidangan
harus berjalan secara adil dan transparan, memberikan kesempatan yang sama
kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. Transparansi sangat
penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio
publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara.
UUD
1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai
konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat
diartikan sebagai seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan
kelompok politik. Kepentingan bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi
satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah argumentasi putusan. Bagian
utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah argumentasi yang
menjadi pertimbangan hukum putusan.
Pertimbangan
hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan fakta
yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan
menjadi sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945
adalah sumber legalitas konstitusional putusan MK yang bersifat final dan
mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti strategis putusan yang dijatuhkan.
Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan cara menggelar
persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan imparsialitas
hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan
mendalam.
Kepatuhan
Legalitas
dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan
memiliki legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan.
Kepatuhan adalah kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak
selalu terkait dengan persetujuan, apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang
melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berhadapan hampir tidak mungkin
ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi memuaskan. Kita patut
bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014 dipatuhi oleh semua
pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik olehpemohon, termohon, maupun
pihak terkait.
Kebanggaan
ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah
menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang
demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu
tidak mensyaratkan adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada
pihak yang masih tidak setuju atau tidak puas dengan putusan yang telah
dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah putusan itu diterima,
dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum.
Dalam
konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang
bersifat final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses
politik lain yang dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk
mempersoalkan hasil pilpres, melainkan lebih untuk memperbaiki
penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang. Hanya dengan kepatuhan
demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih substantif, yaitu
proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa
melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik
sebagai pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada
dan dijalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar