Selasa, 26 Agustus 2014

Dilema Sistem Presidensial

Dilema Sistem Presidensial

Yohan Wahyu-Benecdita Irene Purwantari  ;   Litbang Kompas
KOMPAS, 26 Agustus 2014
                                                


SISTEM politik menjadi salah satu hulu dari problem kelembagaan politik bangsa ini. Salah satunya adalah sistem pemerintahan presidensial yang selama ini belum menunjukkan penguatan karena dihadapkan pada sistem multipartai. Yang terjadi adalah berkurangnya kewenangan eksekutif.

Legitimasi presiden terpilih yang seharusnya menjadi modal politik bagi presiden kerap lumpuh saat dihadapkan pada proses politik di tingkat elite partai.

Upaya membangun koalisi politik pun tidak bisa dihindari. Namun, koalisi yang dibangun selama ini cenderung pragmatis dan lebih mengesankan transaksi politik dibandingkan pembangunan politik.

Harus diakui, tidak mudah menerapkan sistem presidensial di Indonesia karena harus dihadapkan pada sistem multipartai yang ekstrem. Dua kali masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung, belum cukup menguatkan agenda membangun sistem presidensial yang kuat dan berwibawa.

Sejarah mencatat, pasca reformasi ekspresi politik lewat partai politik seperti menemukan jalannya. Ada 100 lebih partai politik pada Pemilu 1999. Meskipun jumlahnya terus berkurang hingga Pemilu 2014, sulit membayangkan dalam waktu singkat Indonesia akan menemukan format dua partai besar (dwipartai) sebagai syarat ideal sistem pemerintahan presidensial.

Koalisi pragmatis

Kesulitan utama terletak pada legitimasi politik yang tidak cukup kuat menopang jalannya pemerintahan. Koalisi politik justru menguat sebagai kebutuhan mendasar dan sulit dihindari. Akibatnya, pembentukan kabinet pemerintahan yang semestinya menjadi wilayah prerogatif presiden cenderung tergerus oleh intervensi politik dari partai-partai yang ”berkeringat” dalam kontestasi pemilihan presiden.

Jika membandingkan komposisi menteri kabinet sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Yudhoyono, komposisi menteri dari partai politik tercatat paling banyak di era Yudhoyono, yang notabene hasil pemilihan langsung.

Bahkan pada periode kedua, jumlah menteri berlatar belakang partai mencapai 61,8 persen. Padahal, legitimasi Yudhoyono saat terpilih dalam Pemilihan Presiden 2009 mencapai 61 persen. Kondisi ini melahirkan dualisme loyalitas para menteri dari partai, antara loyalitas kepada presiden dan loyalitas kepada pemimpin partai.

Koalisi yang dibangun pun sangat rapuh dan cair karena koalisi tidak menjadikan kedekatan ideologi partai atau common platform sebagai faktor determinan. Karakter partai-partai dalam berkoalisi cenderung tidak disiplin dan pragmatis. Alih-alih menghasilkan soliditas koalisi, yang terjadi justru ajang kontestasi dan transaksi. Akibatnya, pemerintah tersandera politik transaksional atau barter politik yang juga menjadi basis hubungan partai mitra koalisi.

Problem partai

Pendewasaan partai politik adalah bagian mendasar lainnya dari problem sistem politik. Hampir tidak ada partai politik yang bisa menjadi panutan mewakili ideologi ataupun kebijakan tertentu demi kepentingan masyarakat. Sebaliknya, karakter transaksional sangat kental mewarnai praktik politik.

Proses rekrutmen kader hingga seleksi untuk menjadi anggota legislatif diwarnai politik transaksional yang sempit. Peran partai cenderung hanya sebagai kendaraan yang bersifat demonstratif saat pemilihan umum. Karakter transaksional tersebut menciptakan biaya politik tinggi dan praktik korupsi masif.

Partai politik juga dihadapkan pada bagaimana dirinya menjalankan fungsi sebagai institusi demokrasi. Partai selama ini dinilai sekadar melakukan mobilisasi politik. Urusan kaderisasi dan pendidikan politik cenderung diabaikan.

Akibatnya, bukan hanya proses kaderisasi partai yang kemudian terhambat, tetapi yang muncul juga adalah kesulitan menemukan kader partai politik yang memiliki kualitas politik mumpuni di parlemen. Anggota parlemen dengan kualitas politik rendah akan menghasilkan deliberasi kebijakan publik yang tidak matang dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan pelik di masyarakat.

Di balik kebebasan sipil yang tinggi saat ini, dengan mengikuti risiko-risiko tuntutan publik, ternyata tuntutan demokrasi itu tidak diikuti kinerja lembaga demokrasi seperti parpol. Akibatnya, tuntutan demokrasi berubah menjadi ekspresi anti demokratik, seperti ketidakpuasan berbasis etnisitas, agama, atau kelas sosial dengan menggunakan kekerasan. Meski diakui pula, agregasi politik identitas (agama, suku, kelompok) yang tak sesuai dengan aras konstitusi negara tetap tidak akan diakomodasi oleh sistem politik.

Di sisi lain, persoalan politik identitas tak bisa dilepaskan dari tata kelola pemerintahan. Beberapa keputusan pemerintah yang pernah diambil sama sekali tidak memecahkan persoalan, tetapi justru memperumit. Pada titik ini, peran kader partai di parlemen cukup krusial, terutama dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Namun, ajaibnya, jika menyentuh SARA, hanya segelintir partai politik yang berani menyuarakan arah penyelesaian konstitusional dalam kasus tersebut.

Masyarakat politik

Tidak tumbuhnya partai politik sebagai alat mengartikulasikan kepentingan politik rakyat mendorong berkembangnya lanskap baru gerakan sosial di masyarakat. Saat ini, mulai terbentuk yang disebut dengan masyarakat politik (political society). Jangkauan dan cakupan gerakan sosial semakin luas, terutama juga karena perkembangan teknologi komunikasi. Juga, karena masyarakat menghadapi masalah sosial-politik-ekonomi yang makin canggih.

Sebagai contoh, kekuasaan politik saat ini tidak bertumpu pada kesamaan platform atau ideologi, tetapi pada jaringan patronase yang lintas partai. Koalisi politik terbentuk karena adanya perburuan rente dan proyek yang bermuara pada parlemen. Skalanya bersifat nasional, mulai dari pusat hingga level kabupaten/kota.

Diskursus yang mengemuka telah bergeser dari menolak para pelanggar hak asasi manusia menjadi pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan lain-lain. Secara geografis pun, penyebarannya hingga ke wilayah pelosok kepulauan.

Penyebaran geografis (geographical diffusion) ikut mengubah karakter gerakan. Jika sebelumnya gerakan sebatas advokasi hukum oleh para advokat, kini bergeser kepada aksi langsung oleh warga, seperti boikot, menduduki lahan atau gedung, menutup jalan, akses ke perkebunan atau tambang, bahkan bandara dan fasilitas publik lainnya.

Dengan seluruh kondisi ini, beberapa hal bisa ditawarkan bagi pemerintahan baru. Pertama, merancang sistem presidensialisme efektif dengan mendesain ulang pemilu. Pemilu dirancang ulang untuk mendorong penyederhanaan partai dengan menerapkan sistem distrik atau campuran, memperkecil besaran daerah pemilihan, dan menerapkan ambang batas kursi di parlemen secara konsisten.

Kedua, memperbaiki sistem rekrutmen di partai politik, bukan transaksional tapi berdasar merit dan transparan. Untuk itu, pendanaan partai perlu diatur melalui pembiayaan yang sah seperti dari APBN. Dengan demikian, negara punya hak untuk menutup pembiayaan ilegal.

Ketiga, institusionalisasi demokrasi melalui lembaga pendidikan. Demokrasi ”diintegrasikan” menjadi bagian kehidupan sehari-hari, bukan hanya seremoni lima tahun sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar