Kabinet
Pro Lingkungan
Khalisah Khalid ; Kepala Departemen Kajian
dan
Pengembangan Sumber Daya Walhi
|
KOMPAS,
26 Agustus 2014
USULAN nama-nama untuk mengisi kabinet
pemerintahan telah bermunculan.
Gerakan atau inisiatif ini tentu sangat
menarik dilihat sebagai proses keterlibatan publik dalam pembangunan
demokrasi yang konstruktif dan menghindari jebakan politik transaksional yang
biasanya dikuasai partai politik, elite politik, ataupun pemilik modal.
Namun, yang juga patut diwacanakan agar gagasan ini diadopsi oleh Jokowi-JK
adalah bagaimana struktur kabinet yang ingin dibentuk.
Kabinet hijau
Setidaknya ada tiga pernyataan dari Jokowi-JK
yang dapat dijadikan basis argumentasi kemendesakan membentuk kabinet pro
lingkungan hidup. Pertama, Jokowi-JK menyatakan bahwa Indonesia berada dalam
situasi bencana ekologis. Kedua, pasangan ini mengatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi selama ini telah mengabaikan kelestarian lingkungan. Ketiga, Jokowi-JK
menyatakan bahwa pembangunan Indonesia ke depan akan bertumpu pada kekuatan
sumber daya manusia Indonesia. Selama ini pembangunan ekonomi Indonesia
selalu bertumpu pada sumber daya alam (SDA), yang tentu punya konsekuensi
pada krisis lingkungan hidup dan kemiskinan struktural.
Saya mencoba mengimajinasikan gagasan revolusi
mental, dengan visi misi Nawa Cita yang diusung pasangan Jokowi-JK dengan
agenda pembentukan kabinet untuk pemerintahan ke depan yang pro lingkungan
hidup. Kabinet pro lingkungan hidup yang dimaksud tentulah yang bukan sekadar
ada Menteri Lingkungan Hidup atau Menteri Kehutanan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
sebagai gerakan lingkungan hidup telah
meluncurkan infografis ”Peta Jalan
Menuju Keadilan Ekologis”. Salah satu agenda pokok yang didorong adalah
reformasi kebijakan dan reformasi kelembagaan (baca: perombakan) lingkungan
hidup, termasuk perombakan pada kementerian sektoral pengelolaan sumber daya
alam.
Dibutuhkan satu institusi perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang kuat untuk menjalankan amanat UU No 32/
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sejak
disahkan terganjal oleh peraturan pemerintah yang hingga kini terseok-seok.
Isu lingkungan hidup kembali berada di jalan sunyi dan nyaris terlupakan di
tengah gempuran berbagai kebijakan sektoral SDA yang semakin rakus.
Institusi perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup diberi mandat dan kewenangan menjalankan upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang dikembangkan berbasiskan kajian
lingkungan hidup strategis.
Selanjutnya, dapat mengoordinasikan proses
penataan ruang dan peruntukannya, serta menetapkannya berdasarkan kebutuhan
nasional dan daerah, dengan memastikan terpeliharanya fungsi lingkungan hidup
serta mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Institusi ini juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan perizinan ekstraksi SDA serta punya kewenangan
penyelidikan-penyidikan untuk proses peradilan.
Pengelolaan kekayaan alam tidak bisa lagi
diurus secara sektoral. Ia harus berada dalam satu payung Kementerian
Pengelolaan Kekayaan Alam. Energi bisa dimasukkan dalam kelembagaan ini, di
bawah koordinasi Menteri Koordinator Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Dengan kata lain, Kementerian Kehutanan, ESDM,
serta Kelautan dan Perikanan ditiadakan. Kementerian ini ke depan tak
mengurus soal tenurial, tetapi melakukan perhitungan aset kekayaan alam
Indonesia, di daratan dan di lautan. Juga mengidentifikasi wilayah-wilayah
hidup masyarakat lokal serta kebutuhan lahan/ruang untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan hidup esensial bagi warga, yaitu yang terkait dengan
kedaulatan pangan, air, dan energi.
Pemenuhan kebutuhan lahan/ruang dimaksud harus
menjadi prioritas utama di atas kebutuhan-kebutuhan ekstraksi lainnya.
Terkait dengan persoalan tenurial akan diurus oleh Kementerian Agraria.
Apa yang diuraikan di atas bukanlah sesuatu
yang ahistoris. Setidaknya sejak 1999, gerakan lingkungan hidup dan agraria telah
memperjuangkan agenda politik ini dengan capaian terbesar berupa Ketetapan
MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
yang dapat menjadi pijakan hukumnya.
Tentu saja selain Pasal 28 H dan Pasal 33 UUD
1945 sebagai kitab utama dalam menjalankan amanat kebangsaan serta UU yang
sejalan dengan napas yang memastikan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan bersih, di antaranya UU No 32/2009 dan UU No
39/1999 yang menegaskan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia.
Kabinet yang berani
Perombakan struktur kabinet ini bisa saja
dilihat sebagai jalan ekstrem. Namun, patut diingat, tingkat bencana ekologis
terus meningkat dan konflik agraria kian masif terjadi. Jadi, mau tak mau
Jokowi-JK harus membentuk struktur dan susunan kabinet yang bukan hanya
profesional, melainkan juga berani.
Hal itu mengingat beratnya tantangan
lingkungan hidup yang harus ditangani, di antaranya penegakan hukum
lingkungan yang masih jalan di tempat, meninjau kebijakan yang mengancam
keberlanjutan lingkungan hidup seperti Perpres No 51/2014 yang membuka jalan
bagi proyek reklamasi Teluk Benoa-Bali dengan landasan MP3EI, dan mengatasi
masifnya industri tambang di pulau-pulau kecil seperti di Pulau Bangka.
Periode ini merupakan momentum penting bagi
pemerintahan Jokowi-JK jika ingin benar-benar menyelesaikan problem
struktural dalam konteks penyelamatan lingkungan hidup dan penyelesaian
konflik agraria. Kepemimpinan menjadi penting sebagai kekuatan utamanya,
selain menggerakkan modal sosial yang sedang tumbuh, yakni partisipasi rakyat
dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan, sebagai pengawal sekaligus
pengontrol pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar