Rabu, 27 Agustus 2014

Dendam dan Tragedi Aswatama

Dendam dan Tragedi Aswatama

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 25 Agustus 2014
                                                


Dalam lakon Karna Tanding, Prabu Salya, sang mertua, mengendalikan kereta perang Karna. Dengan keagungan dewata, dia seanggun Batara Kresna yang mengendalikan kereta perang Arjuna. Di dalam kereta itu ada Aswatama yang memperhatikan dengan cermat jalannya perang dan secara khusus melihat bagaimana Prabu Salya mengendalikan kereta menantunya.

Memang benar, Prabu Salya mertua Karna, tapi dia juga paman Arjuna. Menantu dan keponakan sama beratnya. Kurawa dan Pandawa, dua-duanya “keluarga”. Kepada siapa dia akan memihak? Ini perkara pelik. Tidak mudah baginya untuk mengambil keputusan jelas, tanpa keraguan, tanpa dilema. Tiba-tiba Karna memintanya menjadi kusir untuk mengimbangi kemegahan Kresna yang menjadi kusir Arjuna. Ini juga permintaan dilematis. Tak ada secuil pun kemuliaan baginya menjadi kusir itu, terutama karena dia akan melihat Arjuna kemungkinan terkena panah sakti menantunya.

Tapi Prabu Salya tak mau membiarkan dirinya di dalam ketidakjelasan yang menyiksa. Dia menerima permintaan menantunya untuk menjadi kusir senapati agung. Keraguan pun terpecahkan. Kini posisinya jelas: memihak Kurawa dan jelas turun ke medan laga di barisan senapati pihak Kurawa. Dalam serang-menyerang dengan panah dewata yang mengerikan, kedua pihak, Karna maupun Arjuna, sama hebatnya. Tapi ada momen-momen pendek mengerikan: panah Karna jelas bakal memenggal leher Arjuna yang sedetik sedang lengah, yaitu ketika dia sadar rambutnya terpanah dan “mahkota” kesatriaannya rontok.

Saat itu Prabu Salya tahu, panah sang menantu berikutnya jelas akan menghabisi riwayat keponakannya. Dalam situasi menegangkan itu, secara kilat, yang tak diketahui siapa pun, kecuali oleh Aswatama, dia berusaha melindungi keponakannya. Kereta digenjot, kuda-kuda penariknya tak terkendali, dan akibatnya panah Karna yang melesat dengan kecepatan angin itu, yang seharusnya secara matematis pasti memenggal leher Arjuna, ternyata melenceng, bergeser beberapa jengkal dari sasaran. Dan saat itu Kresna menyuruh Arjuna membalas serangan dengan kecepatan melebihi kedipan mata. Panah Arjuna memenggal leher Karna.

Dikisahkan, berkat ketajaman panah Arjuna yang disebut pitung pencukur, yaitu tujuh kali lebih tajam daripada silet, Karna masih tetap tegak. Lehernya yang sudah terputus masih menempel pada tubuhnya. Kecurangan Prabu Salya dilaporkan oleh Aswatama kepada Duryudana dalam suatu sidang darurat. Semua pihak kaget mendengarnya. Tapi Aswatama kalah wibawa menghadapi Prabu Salya, mertua sang raja. Aswatama sadar, tampaknya dia akan kalah. Banyak pihak yang membenarkannya dalam hati, tapi tak satu pun yang memihak kepadanya.

Akhirnya dia lari masuk hutan, menghindari amukan Prabu Salya yang kejahatannya diketahui umum. Di hutan, Aswatama sendirian. Hatinya penuh kemarahan dan dendam. Dia tak habis pikir, mengapa laporannya, yang jelas berisi kebenaran, tak memperoleh telinga yang bisa mendengarnya? Bagaimana kebenaran yang tak ditoleh telinga bakal masuk ke dalam hati dan membentuk suatu sikap? Dia sadar, sang raja yang serakah dan menyembunyikan kebenaran memang mustahil bersedia menerima kebenaran tanpa prasangka.

Di sekitarnya, orang yang bertindak benar malah celaka. Selain tak didengar rajanya, kebenaran selalu dicemooh orang-orang di kiri kanannya. Duryudana berada dalam lingkaran kemunafikan “agung”, yang dihalalkan oleh para pendukungnya, yaitu orangorang yang mencari selamat dan kedudukan duniawi yang tak boleh tergoyah. Aswatanma tak pandai menyanyikan tembang-tembang yang disukai rajanya. Dia hanya menyanyi jika baginya ada yang layak dinyanyikan. Tembangtembang yang tak cocok dengan hati sang raja dibuang dan dilupakan.

Raja hanya membutuhkan pujian, bukan mencari kebenaran. Mengapa Aswatama tak memujinya? Satria perkasa itu bersembunyi di dalam kesunyian hutan sampai ada terbetik kabar, raja telah gugur, perang dimenangi pihak Pandawa dan kurawa luluh lantak jadi debu. Ini kebenaran. Mengapa mereka kalah dan mengapa Pandawa menang, sudah jelas tak mungkin diganggu gugat lagi. Panas hati Aswatama. Dia tak mau menerima kekalahannya karena dia masih bisa berbuat sesuatu. Tapi apakah berbuat sesuatu di sini dibenarkan oleh aturan dan hukum-hukum perang? Lagipula, bukankah perang telah selesai? Dia tak peduli.

Pada malam sepi, ketika keluarga Pandawa dan sedikit pendukungnya sudah kelelahan dan merasa aman, semua tertidur. Dengan pedang yang menyalakan dendam di tangannya, dia menebas semua orang, tanpa kecuali, yang sedang nyenyak dalam kenyamanan tidur masing-masing itu. Lalu dia mendatangi satu titik cahaya, titik terpenting: bayi Dewi Utari, Parikesit, yang bakal menjadi penerus dinasti Pandawa. Dia terkam bayi itu dengan pedangnya yang berdarah- darah dan penuh dendam tadi.

Tapi entah bagaimana, bayi itu bergerak, kakinya menyenggol tangkai keris didekatnya, dan keris pun menyambar leher Aswatama yang lalu jatuh tak berdaya di kaki tempat tidur sang bayi, dalam posisi antara hidup dan mati dan penuh sesal, mengapa tak cukup puas membunuh semua yang dewasa dan lari dengan selamat ke hutan? Dalam sekarat yang menyakitkan, Aswatama diterkam rasa dendam yang lebih dalam karena tak bisa tampil di depan umum,
di tengah jiwa masyarakat yang hancur sesudah perang, bahwa dia telah menghabisi musuh-musuhnya. Dia menyesali kebodohannya dan kini tunduk dalam pelukan tragedi yang begitu getir. Dia merasakan, betapa sisa malam itu begitu panjang dan melelahkannya. Dia tak berdaya, tapi juga tak mampu memadamkan dendam, yang masih membakarnya, tanpa ampun, dari dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar