Rabu, 27 Agustus 2014

Proyek ‘Domba’ Pendidikan

Proyek ‘Domba’ Pendidikan

Fajar Sidik  ;   Alumnus Program Pascasarjana
Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
REPUBLIKA, 26 Agustus 2014
                                                


"Sejumlah kepala sekolah pernah melawan tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut, namun tindakan melawan hanya akan berujung pada ancaman terhadap jabatan yang sedang diemban dan kenyataannya dari beberapa kepala sekolah yang melawan akhirnya dirotasi dan sekarang hanya menjadi guru biasa (Republika, 14/8)." Petikan hasil wawancara ini menjadi petunjuk bahwa institusi pendidikan "sakit" karena tersandera oleh kuatnya intervensi politik.

Kasus komersialisasi pendidikan yang terbungkus dalam program optimalisasi untuk siswa miskin yang ditelurkan Dinas Pendidikan Kota Depok, Jawa Barat, perlu mendapat perhatian secara serius. Alih-alih untuk mengakomodasi siswa miskin yang belum tertampung masuk sekolah negeri, justru yang terjadi adalah praktik jual beli kursi kosong dengan nilai menggiurkan kisaran Rp 500 ribu sampai belasan juta rupiah. Parahnya, transaksi jual beli tersebut dimainkan oleh anggota DPRD, LSM, wartawan, dan birokrat dinas. Di mana korban (siswa atau orang tua siswa) yang dimainkan ini sering disebut dengan istilah "domba" (Republika, 19/8). Yang menarik untuk ditanyakan adalah bagaimana program ini jika dilihat dari kacamata kebijakan publik? Apa yang menjadi inti kontradiksi dalam program ini? Lantas dari aktor yang terlibat tersebut, siapa yang paling dominan dapat dikatakan bersalah?

Pendidikan secara esensinya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa. Pemerintah wajib hadir untuk menyelenggarakan pendidikan secara merata dengan pelayanan berkualitas prima dan optimal untuk masyarakatnya. Namun, tidak demikian halnya seperti yang ditunjukkan pada program optimalisasi tersebut. Jalur optimalisasi diberlakukan untuk seluruh SMPN dan SMAN di Kota Depok yang dibuka seusai sistem PPDB resmi (online). Realitas yang terjadi adalah banyak orang tua siswa yang memasukkan anaknya melalui mekanisme titipan agar masuk di sekolah negeri. Akibatnya, sekolah negeri overload dari yang semestinya hanya mampu menampung 10 rombongan belajar terpaksa harus menampung 13 rombongan belajar. Imbasnya, gudanglah yang menjadi tempat belajar para siswa. Diskriminasi juga terjadi karena banyak sekolah swasta yang kosong karena tidak mendapat murid. Paparan tersebut menjadi gambaran kecil kontektualisasi kasus yang sedang terjadi ini.

Kebijakan salah jalan

Dari gambaran kasus di atas, pelaksanaan PPDB jalur optimalisasi ini dapat dikatakan menyimpang dari esensi sebuah kebijakan itu sendiri. Karena, akar suatu kebijakan sebenarnya diambil dan diputuskan dilatarbelakangi oleh adanya masalah. Masalah ini muncul ketika antara dunia cita-cita (das sollen) jauh berbeda dengan dunia nyata (das sein). Untuk itulah, hadirnya kebijakan pendidikan dibutuhkan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi (Rohman, 2009). Tegas, bahwa dalih yang dikeluarkan oleh pihak Disdik setempat terkait program optimalisasi digulirkan untuk mengakomodasi aspirasi rakyat miskin ternyata tidak menjawab akar permasalahnya.

Dapat dikatakan demikian karena jika benar jalur otimalisasi ini dikhususkan untuk warga miskin, mengapa justru sebuah kontradiksi yang terjadi. Sebab, pada aturan jelas diterangkan bahwa kuota pendaftaran untuk keluarga miskin sebanyak 20 persen dengan ketentuan penghasilan orang tua di bawah Rp 1 juta per bulan yang ingin masuk sekolah negeri (PPDB resmi). Faktanya, di luar PPDB resmi, yaitu jalur optimalisasi, mensyaratkan orang tua siswa membayar uang sumbangan sukarela dengan besaran rata-rata Rp 5 juta. Bukti ini jelas kentara, program ini diperuntukkan bukan untuk siswa miskin. Mana mungkin "miskin" di sini dapat membayar uang sebesar itu dengan penghasilan saja di bawah Rp 1 juta/bulan.

Pihak Dinas Pendidikan salah

Jika rata-rata menunjukkan dana sukarela mencapai Rp 5 juta, bayangkan jika ada tiga kelas rombel yang masing-masing kelas terisi 35-40 siswa. Dana yang terjaring mencapai Rp 175 juta - Rp 200 juta untuk satu kelas atau Rp 525 juta- Rp 600 juta untuk tiga kelas. Ini baru yang tersebar di satu sekolah, belum secara keseluruhan SMPN dan SMAN. Dana sebesar itu sudah cukup untuk digunakan seorang kepala sekolah yang ingin menjadi kepala dinas. Tentu, potensi ini bisa terjadi manakala seperti petikan hasil wawancara di awal. Ketika intervensi politik terlalu kuat terhadap birokrasi pelaksana, yang terjadi adalah permainan "suap" akan lancar berlaku. Terlebih, permainan ini disengaja dengan tanpa adanya pertanggungjawaban dan transparansi uang tersebut diperuntukkan untuk apa.

Sepenuhnya, jika orang tua yang disalahkan, dalam hal ini saya kurang sependapat. Sebab, sebuah kebijakan bisa dilaksanakan setelah peraturan dibuat dan ditetapkan oleh badan pemerintah yang berwenang sebagai pihak yang menyelenggarakan (Riplay, 1982). Maka, dalam konteks ini jelas sudah bahwa Dinas Pendidikan setempatlah yang paling dominan di antara aktor-aktor lainnya. Sekolah tidak akan melaksanakan jalur optimalisasi tersebut tanpa instruksi resmi dan izin yang dikeluarkan oleh Disdik setempat. Aktor lain, seperti anggota DPRD, wartawan, dan LSM, ini sebenarnya hanya ikut bermain karena segala kewenangan tetap yang pegang adalah instansi tersebut.

Menurut saya, program optimalisasi ini harus ditutup dan berikan beasiswa kepada para siswa miskin yang tidak tertampung di sekolah negeri untuk sekolah di swasta. Pemberian beasiswa ini  harapannya adalah agar para siswa miskin tidak mengalami putus sekolah menjadi akar masalah yang perlu diselesaikan sebagai logika dasarnya. Maraknya komersialisasi tersebut tanpa sadar dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dari sistem kebijakan PPDB yang secara serampangan dan tidak matang dilaksanakan.

Kekrisuhan ini bakal selalu terjadi manakala siswa mampu, tetapi nilai UN rendah berusaha agar mudah masuk sekolah negeri dengan "suap berbiaya tinggi" karena tidak mampu bersaing di PPDB resmi. Akibatnya, siswa miskin tidak berdaya untuk menghadapi gempuran-gempuran seperti ini. Parahnya, pemerintah daerah yang berkewajiban menjamin para siswa miskin tersebut malah menutup mata dengan menyandera birokrasi (intervensi politik) dan absen untuk melindunginya. Beasiswa diberikan dan komersialisasi dihapuskan itu tergantung kuat tidaknya komitmen kepala daerah sebagai pemilik otoritas tertinggi daerah. Ini hanya soal mau atau tidak mau, niat atau tidak niat mengambil langkah tersebut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar