Rabu, 27 Agustus 2014

Jalan Sutra Maritim

Jalan Sutra Maritim

Evi Fitriani  ;   Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia; Co-founder ASEAN Study Center, FISIP UI
KOMPAS, 25 Agustus 2014
                                                


KETIADAAN visi kemaritiman para pemimpin selama ini membuat ide presiden terpilih Joko Widodo untuk membangun Indonesia sebagai kekuatan maritim disambut hangat. Entah ada hubungannya atau tidak, inisiatif untuk mengembangkan potensi maritim negara sudah lebih dulu dicanangkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping satu tahun yang lalu.

Dalam kunjungannya ke Indonesia pada Oktober 2013, Presiden Xi memaparkan rencana Tiongkok untuk membangun the 21st Century Maritime Silk Road (MSR). Tujuannya, seperti jalan sutra yang sudah ada sejak abad ke-2 Masehi (Bouldois 2012), menyebarkan perdamaian dan kesejahteraan di sepanjang jalurnya.

Bagaimana Indonesia?

Luasnya wilayah laut dan keterbatasan sumber daya membuat Indonesia tidak mempunyai pertahanan negara dan keamanan laut yang dapat diandalkan.
Belakangan ini, atas nama Operation Sovereign Border, kapal negara Australia berkali-kali keluar masuk wilayah teritoral Indonesia untuk mendorong kembali kapal-kapal pengungsi ke daratan Indonesia dan kita tak mampu mencegahnya.
Sudah menjadi rahasia umum pula kapal-kapal selam negara lain hilir mudik di bawah perairan Indonesia tanpa izin. Belum lagi masalah bajak laut, penyelundupan manusia, narkotika, senjata, kayu, dan barang lain di perairan Indonesia.

Secara ekonomi, kelemahan kekuatan maritim kita juga sangat merugikan negara, seperti pencurian ikan dan hasil laut, serta perampokan harta situs-situs kapal karam di perairan Indonesia.

Sangat aneh bila Indonesia mengabaikan potensi lautnya karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut dan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.

Banyak warga Indonesia yang tinggal di pesisir, menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut, dan berpotensi mengembangkan ekonomi kelautan.
Prioritas membangun sektor kelautan juga dapat membuka isolasi daerah-daerah terpencil, dapat menghidupkan wilayah-wilayah perbatasan, dapat meningkatkan koneksitas ekonomi dan nonekonomi antara Jawa dengan luar Jawa.

Tiongkok yang wilayahnya sebagian besar daratan saja berkeinginan untuk menjadi kekuatan maritim lewat program MSR.

Program ini diinspirasi oleh jalur perdagangan laut kuno yang menghubungkan Tiongkok dan pusat perekonomian Eropa melalui perairan Asia Tenggara, Samudra India, dan Laut Mediterania. Perdagangan laut sepanjang jalur ini tidak hanya menciptakan persahabatan, tetapi juga menciptakan pusat-pusat ekonomi termasuk di Sumatera dan Semenanjung Malaya (Wang 2014).

Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Tiongkok Ke-16 di Brunei tahun 2013 menyatakan bahwa MSR baru akan menghubungkan Tiongkok dan negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerja sama kedua pihak di segala dimensi, termasuk saling mendukung pembangunan ekonomi.

Asia Tenggara dianggap mitra strategis bagi Tiongkok sehingga dalam Neighboring Policy Tiongkok yang baru, negara-negara ASEAN menjadi prioritas (Han 2014).

Dalam satu forum dialog di Nanning, Tiongkok, Juni 2014, para ilmuwan Tiongkok menjelaskan bahwa MSR juga akan menguntungkan negara-negara ASEAN karena mendukung jaringan produksi regional dan menjembatani kesenjangan ekonomi antarnegara ASEAN. Mereka memaparkan beberapa program dalam MSR, termasuk komitmen Tiongkok untuk membentuk China-ASEAN Maritime Cooperation Fund dan menjaga keamanan sepanjang jalur MRS.

Sinergi visi maritim

Indonesia tidak perlu khawatir dengan MSR karena tiga alasan. Pertama, Indonesia bukan musuh Tiongkok, bahkan Tiongkok menganggap Indonesia mitra paling penting di Asia Tenggara.

Kedua, Indonesia dapat menyinergikan kebijakan pengembangan maritimnya dengan inisiatif MSR. Ketiga, inisiatif MSR Tiongkok wajar mengingat kekuatan dan potensi negara tersebut. Tiongkok berhak mengembangkan program-program yang mendukung keberlanjutan pembangunan ekonominya, sebagaimana dilakukan negara-negara besar lain termasuk Amerika Serikat.

Yang penting, program-program dalam MSR tidak boleh ditentukan dan diputuskan hanya oleh Tiongkok, harus ada dialog dan kesepakatan dengan negara-negara ASEAN. Consent ini harus diakomodasi oleh Tiongkok jika ingin MSR-nya mendapat dukungan.

Untuk itu perlu disuarakan kepentingan-kepentingan Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara terutama agar MSR tidak dijadikan Tiongkok sebagai pembenaran untuk memperkuat armada perangnya.

Bagi ASEAN, MRS abad ke-21 yang dicanangkan Tiongkok dapat menjadi remedy dari kebijakan land-connectivity yang dicanangkan beberapa tahun lalu. Konektivitas darat tersebut direncanakan memperlancar transportasi dan logistik kota-kota di selatan Tiongkok dengan negara-negara ASEAN yang berada di daratan Benua Asia dan Semenanjung Malaya.

Kebijakan koneksitas ASEAN dengan Tiongkok ini akan sangat menguntungkan perekonomian negara-negara ASEAN kecuali Indonesia dan Filipina. Maka, gagasan MSR abad ke-21 dapat memperlancar koneksitas Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya, selain dengan Tiongkok.

Bagi Indonesia, MSR abad ke-21 dapat disinergikan dengan program pembangunan kekuatan maritim untuk kepentingan pertahanan-keamanan dan ekonomi kelautan.

Indonesia harus dapat mengambil manfaat dari inisiatif Tiongkok tersebut untuk membangun infrastruktur kelautan yang selama ini terkendala keterbatasan sumber daya, sekaligus meningkatkan ekspor dan mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi terkait laut, misalnya membangun galangan dan industri kapal, perikanan, dan jasa-jasa sektor kelautan.

Dengan demikian, kita perlu menyikapi ide MSR abad ke-21 Tiongkok secara proporsional. Yang lebih penting adalah menjaga komitmen untuk membangun kekuatan maritim Indonesia secara konsisten dan memahami prioritas Indonesia dalam pembangunan sektor kelautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar