Membenahi
Sisi Pasokan
Budi Hikmat ; Ekonom Keuangan pada Sebuah
BUMN
|
KOMPAS,
27 Agustus 2014
LAPORAN
Bank Dunia untuk Indonesia, Juni 2014, memuat pesan sangat tegas bagi kita, khususnya
presiden terpilih. Indonesia berisiko gagal menjadi negara kaya pada
2030—ketika dividen demografi berakhir—apabila perekonomian selama kurun
2013-2030 hanya tumbuh rata-rata 6 persen.
Proyeksi
Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) per kapita kita saat itu baru
mencapai 8.531 dollar AS atau di bawah 12.000 dollar AS sebagai acuan
kelulusan menjadi negara kaya. Dengan kata lain, kita berisiko lebih dulu tua
sebelum kaya. Namun, apabila pertumbuhan dapat dipacu menjadi 10 persen per
tahun, Indonesia bisa lulus dengan PDB per kapita 16.618 dollar AS. Sebagai
perbandingan, Korea Selatan mampu mencapai PDB per kapita 14.274 dollar AS
ketika dividen demografi mereka berakhir pada tahun 2000. Jelas
kita punya tantangan yang tidak ringan mengingat selama 10 tahun terakhir
rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,8 persen. Apakah Indonesia
mampu bertumbuh dua kali lebih gegas?
Bank
Dunia meyakini peluang itu terbuka apabila kita bersungguh-sungguh melakukan
reformasi yang menyeluruh. Jadi tidak hanya dengan mengurangi subsidi BBM
seperti yang sudah disikapi secara kritis oleh banyak ekonom. Neraca berjalan
yang beralih defisit sejak 2011 dan penurunan rasio ekspor terhadap PDB
selama 10 tahun terakhir menegaskan penurunan produktivitas dan daya saing
merupakan tantangan utama. Untuk itulah, Bank Dunia menyarankan kita
melakukan pembenahan fundamental sisi pasokan (supply-side revolution).
Bank
Dunia memerinci tiga aspek supply-side
revolution yang berkaitan. Pertama, mempercepat penyediaan berbagai
infrastruktur mendasar yang menopang kegiatan produksi dan perdagangan
internasional yang selama ini membuat mahal biaya logistik (closing infrastructure gap). Kedua,
penguatan kualitas sumber daya manusia yang pada hakikatnya menjadi modal
utama pembangunan Indonesia (closing
skills gap). Ketiga, memperlancar bekerjanya mekanisme pasar secara
menyeluruh, baik untuk pasar komoditas, tenaga kerja, keuangan, maupun lahan
(make markets work for all).
Koreksi kebijakan
makro
Kita
harus berani mengakui, saran supply-side revolution sesungguhnya merupakan
koreksi terhadap kebijakan makroekonomi selama ini yang konstelasinya
cenderung terpusat kepada pengelolaan sisi permintaan (demand management).
Sebagai
contoh, pertumbuhan sektor properti sangat terkait dengan profil penduduk
muda dengan median umur 29 tahun yang juga ditopang peningkatan pendapatan
masyarakat. Namun, ketidakberhasilan kita memacu produksi terkait sektor
properti telah menyebabkan kimia dan baja ringan menjadi komoditas penyebab
defisit perdagangan ketiga dan keempat terbesar selama ini.
Tanpa
penguatan sisi suplai, perekonomian kita rentan gejala pemanasan (overheated) yang selanjutnya berisiko
menjebak kita pada fenomena konsumsi atau pembelanjaan yang tidak didukung
kegiatan produksi (spending without
production) yang kerap berakhir dengan tambahan utang. Semangat
mengutamakan supply-side revolution
sesungguhnya bukanlah hal baru.
Secara
paralel Perjanjian Lama dan Al Quran mengabadikan kisah Nabi Yusuf yang tak
hanya mampu menerjemahkan mimpi (baca: visi) Raja tentang sapi kurus dan
gemuk serta gandum yang bernas dan kopong sebagai pergiliran masa malang dan
gemilang. Suatu fenomena yang dikenal dalam ilmu ekonomi modern sebagai
siklus bisnis (business cycle).
Nabi
Yusuf menyarankan konstelasi kebijakan komprehensif yang tersusun dalam skala
prioritas (QS 12: 47): ”Hendaklah
kalian bercocok tanam dengan sungguh-sungguh. Apa yang kalian panen tetaplah
pada tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan.”
Dalam
kerangka persamaan Keynesian (X-M) = (Y-A), dengan defisit merefleksikan
kelebihan permintaan domestik, saran Nabi Yusuf itu mengingatkan pentingnya
peningkatan produktivitas produksi dalam negeri (Y). Lalu penerapan teknologi
setelah panen agar hasil produksi tidak mudah rusak. Limpahan panen cabai
dapat diawetkan menjadi bubuk cabai seperti halnya susu menjadi yoghurt dan
keju.
Yang
terakhir adalah pengendalian penyerapan domestik (A) yang memungkinkan
limpahan produksi diekspor sehingga meningkatkan surplus perdagangan selain
dijadikan bibit untuk kelanjutan siklus produksi.
Dengan
penganut Islam dan Kristen yang mayoritas penduduk Indonesia, mengapa saran
penting Kitabiah di atas luput dari kesadaran kolektif kita?
Para
praktisi pengelolaan kemakmuran (wealth
management) umumnya akan melihat saran Nabi Yusuf itu sebagai landasan lifecycle investing yang mencakup
urutan siklus pertumbuhan, proteksi, dan distribusi (growth, protection and distribution). Pada fase growth ketika
individu masih muda, kemakmuran ditumbuhkan dengan memperbanyak alokasi di
dalam saham yang walau kerap bergejolak, dalam jangka panjang, memberikan
potensi peningkatan nilai paling besar.
Dengan
semakin mendekati usia pensiun, alokasi saham dikurangi dengan memperbanyak
alokasi di dalam surat utang negara untuk menurunkan risiko gagal bayar dan
likuiditas. Pada akhirnya, manfaat investasi didistribusikan selama masa
pensiun secara berkala dan sesuai dengan kebutuhan, seperti melalui produk
anuitas yang dapat ditawarkan oleh perusahaan asuransi.
Masih
banyak lagi contoh kebijakan kita yang tak sejalan dengan supply-side revolution ini. Apabila
kita ingin berjaya selama ratusan tahun seperti Imperium Roma, kita secara
fisik harus membangun lebih banyak jalan dengan beragam pilihan moda
transportasi. Kita juga harus melakukan transformasi paradigma ”menjadikan jalan sebagai pasar” yang
kerap berakhir dengan kemacetan, menuju ”menciptakan
jalan menuju pasar”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar