Menata
Kewenangan dan Otoritas yang Terserak
Agus Purnomo ; Staf Khusus Presiden bidang
Perubahan Iklim
|
KORAN
SINDO, 26 Agustus 2014
SEJAK
awal Orde Baru, kementerian dan lembaga negara bertambah setiap lima tahun
akibat konsolidasi dari partai-partai politik dan penataan birokrasi. Tiga
kabinet terakhir di era setelah reformasi memiliki 34 kementerian portofolio
(departemen), maksimal yang ditentukan undang-undang.
Adapun
lembaga negara mencapai 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan 129
lembaga nonstruktural (LNS). Desentralisasi birokrasi kepada pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota madya sejak tahun 2000, menambah lebih
dari 550 lembaga negara tingkat daerah. Dampak dari mekarnya jumlah birokrasi
adalah fragmentasi kewenangan atau otoritas yang saling silang.
Fragmentasi
ini sering kali menghambat dan bahkan mengubah kebijakan-kebijakan yang
seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat luas dan generasi mendatang,
menjadi perlindungan dan perlakuan khusus bagi sekelompok kecil masyarakat
dan pengusaha.
Kerumitan
birokrasi ini kemudian diwarnai lebih jauh dengan jumlah undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya yang sangat banyak dalam dua dekade terakhir.
Centang
perenang peraturan dan terpecahnya kewenangan telah menyandera berbagai upaya
strategis, sehingga konsolidasi kewenangan dan otoritas yang terserak
tersebut harus merupakan prioritas kerja pada kesempatan pertama yang
dimiliki presiden terpilih seusai pelantikan di DPR. Penambahan, penghapusan,
dan penggabungan adalah hal yang biasa dalam penyusunan kabinet.
Namun,
hal tersebut sering kali dilakukan secara terisolasi untuk satu-dua
permasalahan sehingga justru menimbulkan permasalahan pada berbagai institusi
terkait. Konsolidasi tugas dan kewenangan sebaiknya dimulai dengan
identifikasi permasalahan prioritas untuk diselesaikan oleh Presiden Terpilih
2014-2019, yang kemudian dijadikan landasan penataan kewenangan dan pembagian
tugas prioritas ke berbagai kementerian dan lembaga.
Opini
ini membahas beberapa prioritas konsolidasi untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan, khususnya terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim, yaitu:
a) pengelolaan sumber daya alam, b) koordinasi penataan ruang, c) pelestarian
lingkungan, dan d) penanganan perubahan iklim.
Salah
satu warisan birokrasi Orde Baru adalah kelembaman (inersia) di pemerintahan
dalam merespons peluang budi daya alam. Pengelolaan sumber daya alam
dilakukan berdasarkan pada definisi bioma (biomes), yaitu kawasan atau zona
yang memiliki kesamaan struktur tanaman atau iklim atau ekosistem.
Alih-alih
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, tumpang tindih perizinan dalam
pemanfaatan sumber daya alam di antara Kementerian Kehutanan, Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sering kali memperparah
konflik penguasaan lahan dan sumber daya alam di antara warga masyarakat.
Hal
ini dapat dihindari bila kewenangan kementerian terkait ditata ulang dan
koordinasi kegiatan pemanfaatan dilakukan dalam satu atap. Pemanfaatan
bersifat pengelolaan yang berkelanjutan seperti pertanian, perikanan, dan
perkebunan dikelola oleh sebuah Kementerian Budi Daya (Lahan, Hutan, Sungai,
dan Lautan) dengan menggabungkan sebagian besar unit Kemenhut, Kementan, dan
KKP sehingga koordinasi kebijakan, aturan pelaksanaan, pemberian insentif dan
prioritas pelaksanaan anggaran dapat diarahkan secara menyeluruh.
Pengangkatan
wakil menteri yang berbagi tugas sesuai keahlian dan prioritas kementerian
asalnya dapat menjadi pilihan untuk memastikan pelaksanaan kewenangan dan
otoritas yang komprehensif. Untuk Kementerian Budi Daya misalnya,
dimungkinkan pengangkatan wamen Budi Daya Hutan, wamen Budi Daya Lahan Basah
dan Sungai, dan wamen Budi Daya Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil.
Terkait
dengan pemanfaatan sumber daya alam yang bersifat ekstraktif, seperti
pertambangan, bahan bakar minyak dan gas bumi, tanggung jawab pengaturan
dapat diberikan kepada Kementerian Sumber Daya Mineral dengan fokus
peningkatan devisa dan nilai tambah kegiatan ekstraktif tersebut.
Fokus
ini akan membantu pencapaian kemanfaatan maksimal bagi kesejahteraan rakyat
di sekitar kegiatan ekstraktif dan bagi keseluruhan masyarakat Indonesia.
Prioritas berikutnya adalah penguatan kelembagaan dan instrumen tata ruang.
Penataan
kewenangan ruang menjadi sulit ketika delapan kementerian dan lembaga serta
ratusan pemerintah daerah provinsi/ kota madya/kabupaten diberikan sebagian
dari kewenangan tersebut. Konflik horizontal dan vertikal akibat wewenang
pemberian izin pemanfaatan lahan tidak terpadu kerap terjadi, banyak
kementerian dan lembaga yang harus dikoordinasikan untuk mencari solusi.
Biasanya
koordinasi akan diwarnai dengan saling lempar tanggung jawab, ibarat kentang
panas yang dijauhi oleh semua pihak sampai situasi konfliknya mereda.
Pengabungan beberapa subunit kementerian dan lembaga terkait (dirjen Tata
Ruang Kementerian PU, Badan Planologi Kemenhut, deputi Bidang Tata Lingkungan
KLH, BPN, BKTR, dan direkturdirektur Bappenas) dalam satu kementerian yang
memiliki kewenangan atas proses penataan ruang secara menyeluruh, dapat
memperbaiki kerumitan konsolidasi penataan ruang.
Integrasi
vertikal proses penataan ruang, dari perencanaan sampai terbitnya sertifikat
untuk berbagai jenis konsesi dan kepemilikan lahan, akan mengefisiensikan
penyelesaian sengketa penguasaan lahan, percepatan pelaksanaan reformasi
agraria, dan rehabilitasi lahan kritis.
Selain
itu, konsolidasi ini juga akan membantu menyederhanakan proses perizinan dan
menekan biaya pengadaan lahan bagi pembangunan infrastruktur seperti PLT
panas bumi, perluasan bandara dan pelabuhan, jaringan listrik, perlintasan
kereta api dan jalan raya.
Penataan
ruang dan upaya pelestarian lingkungan merupakan dua sisi mata uang yang
memastikan tercapainya “checks and
balances“ antara keinginan eksploitasi sumber daya alam dan kebutuhan
pelestarian lingkungan. Konsolidasi kewenangan budi daya dan penataan ruang
juga merupakan jawaban terhadap tantangan perubahan iklim yang ditengarai
semakin besar di masa depan.
Inventarisasi
gas rumah kaca, pemilihan prioritas kegiatan adaptasi dan mitigasi, perumusan
kebijakan, serta monitoring pelaksanaan kegiatan dan verifikasi capaian yang
dihasilkan adalah tahapan pengelolaan perubahan iklim yang dapat dikelola
secara mudah dan murah bila berada di bawah satu atap.
Penggabungan
beberapa subunit kementerian dan lembaga (dirjen PHKA Kemenhut, deputi Bidang
Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH, unit konservasi di
KKP, deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas serta BMKG dan BP
REDD+) ke dalam Kementerian Pelestarian Lingkungan, Tata Ruang, dan Perubahan
Iklim menjadi pilihan yang logis.
Konsekuensi
beban administrasi dalam upaya konsolidasi tidak dapat dihindari. Namun,
aspek penghematan biaya menjadi signifikan dengan pengurangan jumlah
kementerian menjadi hanya separuh dari kabinet sebelumnya.
Optimalisasi
sumber daya dilakukan dengan mengonsolidasikan berbagai badan seperti BMKG,
Badan POM, BNPB, dan BNPT dalam posisi wakil-wakil menteri sehingga
peningkatan koordinasi dan sinergi dapat dilakukan tanpa penambahan biaya
birokrasi.
Opini
ini menunjukkan upaya konsolidasi kewenangan tidak berarti menambah biaya dan
personel, sumber dayanya tersedia dan dapat dilakukan di awal pembentukan
kabinet.
Presiden
terpilih diharapkan berani mengambil langkah konsolidasi kewenangan, sehingga
terbentuk kabinet yang lebih terpadu, ramping, dan memiliki efektivitas yang
tinggi. Mengayuh sampan di antara hambatan centang perenang kewenangan,
bukanlah sebuah pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar