Sabtu, 09 Agustus 2014

Membentuk Kabinet, Tak Sekadar Profesional

Membentuk Kabinet, Tak Sekadar Profesional

A Ponco Anggoro  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 09 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

MEMBENTUK kabinet berisi orang-orang yang ahli di bidangnya telah menjadi komitmen presiden-wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, ada hal lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu perlunya membentuk kabinet dan birokrasi yang ramping sehingga kerja pemerintah lebih efektif dan efisien.

Selama era Reformasi, ada satu hal yang tidak berubah ketika terjadi pergantian kabinet seiring dengan pergantian presiden dan wakil presiden. Jumlah menteri di setiap kabinet itu selalu lebih dari 30 orang.

Kabinet Gotong Royong, kabinet pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), terdiri atas 30 menteri. Kabinet Indonesia Bersatu I, kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (2004-2009), terdiri atas 34 menteri. Begitu pula Kabinet Indonesia Bersatu II, kabinet Presiden SBY-Boediono (2009 hingga sekarang), yang juga terdiri atas 34 menteri.

Setelah Reformasi, birokrasi juga kian gemuk karena semakin banyak jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian. Lima tahun terakhir, jumlah itu masih ditambah lagi dengan wakil menteri yang dimaksudkan untuk membantu tugas menteri.

”Semua ini sering kali justru membuat kerja pemerintah tidak efektif dan efisien,” ujar Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Miftah Thoha.

Hal senada disampaikan Anwar Sanusi, Ketua Tim Pengkaji Arsitektur Kabinet 2014-2019 dari Lembaga Administrasi Negara (LAN). ”Salah satu contohnya, sering terjadi tumpang tindih program antar-kementerian. Semakin banyak pejabat, juga makin banyak anggaran dikeluarkan untuk membiayai para pejabat itu,” kata Anwar.

Tiga opsi

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memang disebutkan, jumlah kementerian bisa mencapai maksimal 34 kementerian. Demikian pula wakil menteri yang bisa saja dibentuk oleh presiden.

Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien, jumlah kementerian tidak perlu sampai batas maksimal yang disebut dalam UU dan tidak perlu pula wakil menteri.

Hasil kajian Anwar dan timnya dari LAN, 20-24 kementerian sudah cukup. Ada tiga opsi struktur kabinet dari kajian itu.

Opsi pertama, opsi ideal yang terdiri dari 20 kementerian dan 1 unit kerja kantor kepresidenan. Kemudian, opsi moderat yang terdiri dari 24 kementerian dan 1 kantor kepresidenan. Terakhir, opsi realis yang terdiri dari 24 kementerian, 2 kementerian koordinator, dan 1 kantor kepresidenan.

Perampingan di tiga opsi itu dilakukan dengan cara menggabung dan menghilangkan sejumlah kementerian. Sementara kantor kepresidenan diperkuat sehingga unit kerja ini memiliki lima fungsi, yaitu sekretariat negara, urusan pembangunan nasional (perencanaan dan anggaran), reformasi administrasi, urusan pengawasan, serta desentralisasi dan otonomi daerah.

Terkait kementerian koordinator, baik di opsi ideal maupun moderat, kementerian itu ditiadakan karena selama ini dinilai tidak banyak berfungsi dalam mengoordinasikan kebijakan dan program kementerian di bawahnya. Namun, kementerian koordinator tetap dimasukkan di opsi realis.

”Itu pun hanya dua, yaitu kementerian koordinator yang fokus untuk mengurusi manajemen pemerintahan dan kementerian koordinator bidang sektoral yang mengoordinasikan kerja dari seluruh kementerian,” tambah Anwar.

Reorganisasi

Berapa besar penghematan anggaran jika kabinet dirampingkan? ”Bisa sampai ratusan miliar (rupiah),” jawab Anwar.

Bayangkan, dana operasional untuk seorang pejabat eselon satu di kementerian mencapai Rp 500 juta tiap tahun. Sementara jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian rata-rata sepuluh orang. ”Itu baru dari dana operasional, belum lainnya,” ujar dia.

Miftah Thoha yang menjadi ketua tim reformasi birokrasi di era pemerintahan Presiden Megawati sependapat dengan LAN, yaitu tidak perlu ada kementerian koordinator. Wakil menteri juga dinilai tidak perlu. Tugas wakil menteri bisa diemban oleh menteri asal orang yang dipilih memang ahli di bidangnya.

”Di Amerika Serikat, jumlah kementeriannya hanya 15 kementerian. Begitu pula di Korea Selatan dan Jepang, hanya 15 kementerian,” kata Miftah.

Komitmen Jokowi-JK untuk tidak bagi-bagi kursi kabinet dengan partai di koalisinya seharusnya bisa menjadi momentum untuk merampingkan kabinet pemerintahan. Pasalnya, kabinet sebelumnya dinilai gemuk karena mengakomodasi partai politik yang ada di koalisi pro pemerintah.

Reorganisasi juga perlu dilakukan di setiap kementerian. Pejabat eselon satu tidak perlu lebih dari sepuluh orang. Di era Presiden Soeharto, jumlah pejabat eselon satu hanya lima orang di setiap kementerian.

”Prinsipnya, sesuai teori kontrol dalam organisasi, kemampuan seseorang mengontrol orang itu hanya lima sampai sepuluh orang,” kata Miftah.

Kecenderungan makin banyaknya pejabat eselon satu muncul setelah Reformasi. ”Setiap pejabat supaya dilihat hebat harus punya staf banyak. Dibentuklah eselon baru, bahkan ditambah staf ahli. Ironisnya, ini menjalar ke eselon di bawahnya,” ujar dia.

Jadi, tantangan pertama bagi Jokowi-JK tak hanya memilih orang terbaik sebagai menteri. Tak sebatas pula menentukan orang-orang itu berasal dari kalangan profesional atau partai politik. Namun, mereka juga harus menciptakan kabinet dan birokrasi yang ramping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar