Desain
Kabinet yang Efektif
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Agustus 2014
GAGASAN perlunya
perampingan kabinet dalam periode administrasi pemerintahan 2014-2019 mulai
digulirkan. Bahkan rancang bangun dan struktur kabinet dimunculkan. Intinya
berupa pengurangan jumlah personal kabinet dari yang sekarang berjumlah 34
kementerian menjadi sekitar 20-an saja.
Setidaknya dua alasan
utama saling terkait dikembangkan ke arah perampingan kabinet itu. Yakni,
umumnya urusan pemerintahan dan pembangunan sejak diterapkannya kebijakan
desentralisasi di era reformasi ini sudah berada di tangan pemerintah daerah
otonom sehingga tidak lagi diperlukan banyak kementerian di tingkat
pemerintahan nasional. Selain itu, perampingan jumlah kementerian akan
sekaligus menciptakan efisiensi anggaran negara untuk kemudian bisa
dimanfaatkan dalam rangka membiayai berbagai program pembangunan lainnya.
Kedua argumen itu
memang memiliki dasar logika dan empiris sendiri. Tidak salah. Bahkan boleh
jadi itu dianggap suatu keniscayaan.Negara besar seperti Amerika Serikat (AS)
saja, dan ini juga sering dijadikan rujukan dalam menggagas perampingan
kabinet, hanya memiliki 20-an kementerian (tanpa lebih jauh membandingkan
sistem pemerintahan dan kondisi sosial ekonomi serta permasalahan yang
berbeda antara AS dan Indonesia). Singkatnya, gagasan perampingan kabinet itu
seolah-olah cukup bisa diterima secara akal sehat.
Kendati demikian,
perampingan kabinet, jika itu memang dikehendaki, tak boleh dilakukan secara
mendadak-apalagi hanya karena pertimbangan efisiensi semata. Itu memang
sangat penting. Namun, tentu saja tak cukup tidak lebih jauh dan saksama
didasarkan pada sejumlah pertimbangan konseptual yang jelas dan matang (clear and mature concepts) dalam
rangka efektifnya pengelolaan pemerintahan dan pembangunan dengan melibatkan
sejumlah pihak yang profesional independen dalam proses-proses yang terbuka.
Itu tak bisa hanya dilakukan sekelompok kecil warga bangsa ini yang terkesan
tergesa-gesa karena menyangkut nasib bangsa dalam periode kepemimpinan
tertentu di saat sudah pasti termasuk kelompok-kelompok kepentingan yang
tidak bisa diabaikan.
Evaluasi
Jika menginginkan
perubahan atau perampingan kementerian, yang pertama kali diperlukan ialah
langkah evaluasi kritis terhadap keberadaan dan kinerja kabinet yang ada
selama ini seraya melakukan semacam studi komparasi disesuaikan dengan
kebutuhan domestik Indonesia. Apakah kementerian yang ada sekarang ini
dianggap sudah tak sesuai dengan perkembangan, kebutuhan, dan akselerasi
pembangunan untuk kesejahteraan rakyat? Jika pertanyaan itu jawabannya `ya',
yang harus diperdalam lagi ialah kementerian mana saja yang tak perlu atau
sebaliknya masih diperlukan? Mengapa dianggap perlu atau tidak perlu? Atau,
kalau mau digabung, kementerian-kementerian apa saja yang perlu digabung itu?
Seraya mendalami lebih
jauh jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin perlu direnungkan pula
asumsi kritis lainnya, yakni sebenarnya jumlah kementerian yang ada sekarang
secara relatif semuanya diperlukan. Persoalannya terkait dengan faktor
manajemen terutama koordinasi baik lintas kementerian maupun dengan
daerah-dae rah otonom. Tepatnya, kepemimpinan negara terkadang luput atau
mengabaikan koordinasi agenda yang terintegrasikan. Kepala negara, dalam
konteks ini, terkadang mengesankan sebagai aktor yang tak memiliki kewenangan
memaksa (imperative powerless)
sehingga para pembantu dan atau bawahan mulai Jakarta sampai di daerah-daerah
tak terkoordinasikan dengan baik. Mengapa?
Pertama, masih
demikian kuat menonjolnya ego sektoral, di saat setiap instansi kementerian
cenderung mengedepankan agenda sendiri dan mau repot-repot mengembangkan
program yang terpadu. Terlebih lagi mereka mengembangkan programprogram
pragmatis karena para pejabat dan aparatnya berorientasi proyek--enggan
mengembangkan programprogram berjangka panjang dan berorientasi pada
kepentingan rakyat.
Akibatnya, berbagai
agenda kerja yang substansial terabaikan atau tak dimunculkan.Atau, jika pun
program-program dimunculkan, sebenarnya tak berlebihan jika dikatakan
`sekadar seremoni dan sangat politis', sebagai bagian dari kampanye diri dan
atau parpol asal dari sebagian anggota kabinet itu. Makanya sampai di akhir masa
tugas dan berkali-kali pun jadi anggota kabinet, sulit untuk mengukur capaian
prestasi di bidangnya.Namun, anehnya, sebagian mereka masih tetap menjagokan
diri atau mempromosi kan diri de ngan berbagai cara untuk kembali duduk di
kursi kabinet.
Kedua, tak bisa
dimungkiri, sebagian menteri tidak berkonsentrasi penuh mengurus kementerian
lantaran sebagian waktu mereka tersita untuk mengurus kepentingan pribadi,
kelompok, dan atau parpol. Sebagian menteri, misalnya, masih saja aktif
mengurus kepentingan bisnisnya (meskipun secara resmi sudah dialihkan pada
orang lain) dan pada saat yang sama juga mengurus parpol. Padahal, di samping
waktu sangat terbatas dengan berbagai tugas di kementerian yang begitu
banyak, ada faktor ketidaksesuaian antara latar belakang dan kapasitas sang
menteri--sebagai konsekuensi dari kebijakan `menteri sebagai jatah parpol'.
Maka barangkali dalam
konteks ini pulalah agaknya salah satu ide yang terlontar dari presiden
terpilih Joko Widodo yang memberi isyarat `seorang
menteri tak boleh rangkap jabatan mengurus parpol' menjadi sangat
signifikan. Memang ide itu terasakan memperoleh resistensi dari sebagian
pemimpin parpol yang sudah berharap jadi anggota kabinet, tetapi harusnya
disadari bahwa mengurus negara besar untuk menciptakan kesejahteraan rakyat
haruslah lebih fokus. Bukankah masih banyak orang atau kader parpol yang bisa
lebih fokus juga mengurus, memperbaiki, dan atau membesarkan parpolnya? Juga,
jika orang parpol fokus dan berprestasi dalam memimpin kementerian,
sebenarnya sudah merupakan kontribusi besar parpol terhadap bangsa dan negara
ini, yang pada tingkat tertentu akan jadi bagian dari promosi langsung parpol
asal menteri itu.
Para pemimpin parpol
sebenarnya harus mengambil contoh positif dari Jokowi dan JK yang sejak awal
pencalonan mereka `tidak mengurus parpol'-suatu yang juga harus dicontoh dan
diapresiasi yang bermula dari kebijakan dan kebesaran jiwa Megawati
Soekarnoputri dalam mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak ikut menjadi
capres di 2014 ini, seraya mendorong Jokowi untuk menggunakan pintu partainya
yang ternyata memang disambut rakyat.
Fokus urus daerah
Memang benar pada
umumnya urusan pemerintahan dan pembangunan sudah diserahkan pada daerah
otonom. Namun, perlu dicatat bahwa pengelolaan daerah otonom sekarang ini,
jika jujur diakui, masih sangat memprihatinkan. Para pejabatnya cenderung
`gambar suka-suka' dengan orientasi yang sangat pragmatis. Korupsi di daerah
merajalela. Agenda tahunan pun lebih berorientasi pada proyek, mengejar
target materi dari pejabat politiknya. Sangat sedikit kepala daerah yang
sungguh-sungguh mengurus daerahnya secara baik. Tepatnya, hingga saat ini
kita belum bisa berharap banyak pada hanya pemerintah daerah untuk mengatasi
permasalahan bangsa ini.
Maka yang perlu
diperkuat ke depan ialah para menteri dan jajarannya harus bekerja di
bidangnya secara langsung bersama pemerintah daerah, memberikan berbagai
arahan teknis dan substansial agar dana yang dialokasikan di daerah
benar-benar bisa secara bertahap meningkatkan kesejahteraan rakyat dan atau
kemajuan daerah. Di sini diperlukan keseriusan pemerintah pusat yang nanti
(2014-2019) akan di bawah komando langsung Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar