Rekonsiliasi
Batin Menuju Indonesia Bermartabat
Ichsan ; Wakil Sekretaris Jendral PBHMI Bidang
Otonomi daerah dan Ketahanan Nasional 2013-2015, Staff Khusus Rafli, Anggota
DPD RI Terpilih 2014-2019
|
OKEZONENEWS,
26 Agustus 2014
Selain
Indonesia dikenal sebagai Negara terbesar dan berpenduduk Terbanyak di Asia
Tenggara, Indonesia juga dikenal dengan keramahan Masyarakatnya
yang sangat santun. Keberadaan Indonesia di tingkat Asia bahkan Dunia,
menjadikan Indonesia memiliki nilai tersendiri dalam kancah perpolitikan
Dunia. Mengapa tidak? Indonesia yang sangat majemuk dengan dinamika tapal
batas wilayah cenderung selesai dengan Mediasi dan Diplomasi. Bahkan “Klaim”
wilayah Indonesia oleh beberapa Negara Tetangga selalu ditanggapi dengan
santun oleh Negara Pancasila ini.
Sila
kedua yakni “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”, menyimpan sebuah nilai
kesantunan yang sangat tinggi serta membuat Indonesia terus kokoh dalam
berdaulat di tengah kemajemukan yang sangat besar tidak hanya sesama
masyarakat Indonesia namun juga dengan masyarakat Internasional. Pendidikan
toleransi dan tenggang rasa Warga Indonesia menjadi identitas khas Bangsa
Indonesia sejak sebelum merdeka sampai pascakemerdekaan.
Menelisik
Perjalanan Indonesia pascakemerdekaan. Berbagai konflik etnik, daerah dan
lainnya di Indonesia seperti Aceh, Poso dan Papua hampir seluruh konflik
tersebut di Indonesia selesai dengan
diplomasi dan komunikasi. Meski menyimpan sedikit sisa konflik, diyakini ke
depan semua dapat terselesaikan dengan komunikasi selanjutnya.
69
tahun kemerdekaan Indonesia, dapat kita lihat bersama bahwa kesantunan dan
toleransi dalam berbhineka kini bukan semakin dewasa, namun luntur oleh masa
atau sebaliknya. Penghargaan antaretnik dan realigien nampaknya semakin
“kanak kanak” dan sangat tidak bertoleransi.
Salah
satu kalimat yang dikutip secara general dari Mantan presiden ketiga
Indonesia, BJ Habibie “Nampaknya pasca
Reformasi, Pancasila tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Padahal dalam
kesadaran Pancasila telah mengikat kita semua dalam satu kepentingan yang
besar ditengah kemajemukan dan perbedaan…”. Paparan tersebut menyisakan
wacana bahwa Indonesia tampaknya mulai terkikis atas karakter oleh arus
Global yang sangat kuat. Pasca saat demikian pun, nilai toleransi dalam
berkehidupan di Indonesia menjadi sangat kerdil. Perlu ditegaskan bahwa karakter
ini bukan warisan namun pergesaran atas nilai Keindonesiaan yang memudar.
Menuju
kepemimpinan Indonesia baru dengan Presiden baru, Wakil Presiden baru, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia dan tentunya Kabinet Baru Indonesia menyisakan tugas atas
harapan berbangsa dan bernegara secara
ideal dengan nilai ke-Indonesia-an yang kuat. Pergeseran nilai yang terjadi
atas pendidikan pragmatis yang lahir “entah darimana” menjadikan warisan masa
depan jika hari ini tidak dapat dibenahi secara berkala sejak hari ini.
Pendidikan
budi pekerti dan Pancasila di Indonesia seharusnya menjadi prioritas anak
Bangsa. Sebaliknya, saat ini tuntutan yang tidak subtantif atas pendidikan
Indonesia membuat Indonesia bergeser dari nilai bhineka ke nilai yang
bersifat individualistik.
Dalam
menuju Indonesia yang bermartabat, tentunya kepentingan general haruslah
menjadi prioritas dalam berbangsa. Hendaknya kepentingan kelompok dan lainnya
seperti partai dan organisasi, menjadi urutan kesekian setelah prioritas
kepentingan rakyat yang general untuk diselesaikan. Bukankah setiap
organisasi dan partai berperan mendistribusikan kader terbaiknya untuk bangsa
ini!! Budaya politik Indonesia yang telah bergeser dari kesantunan menjadi
ketidaksantunan diyakini dapat diubah kembali. Karakter toleransi yang masih
tersisa, kiranya dapat menjadi langkah awal dalam membangun Indonesia yang
bermatabat.
Ke
depan Indonesia tentu akan dapat
menjadi Negara percontohan dalam berkarakter, hal ini terlatih dari
pendidikan budaya di tengah etnik yang beragam yang ada di Indonesia.
Indonesia semestinya menjadi Negara percontohan toleransi bagi Dunia masa
depan. Dibutuhkan komitmen yang kuat yang didasari keinginan membangun ummat
secara general oleh para pemimpin ke depan. Perbedaan yang ada di Indonesia
seperti perbedaan agama dan etnik hendaknya menjadi persatuan yang didasari
toleransi dalam bernegara tanpa diskriminai yang berujung pada anarki.
Intoleransi di Indonesia sesungguhnya menciptakan budaya baru dan karakter
baru yakni ekstrimis. Hal ini tentunya akan merusak tatanan bernegara dan
menuju Indonesia yang hanya akan “tinggal nama”. Demokrasi yang dianggap
titipan asing akan menjadi ruang yang sangat “aman” bagi tumbuhnya ekstrimis di Indonesia.
Tentu ini bukan cita-cita bangsa Indonesia.
Rekonsiliaisi
Batin sebagai ruang kompromi demi kepentingan general dapat menjadi “dalang”
pemersatu bangsa yang telah tercerai oleh arus global. Globalisasi tentunya
diharapkan menjadikan Indonesia terus bersemangat menjaga Identitas
ke-Indonesi-an demi bangunnya Indonesia yang bermartabat. Dengan demikian
Indonesia ke depan akan lebih cepat tumbuh dan menjadi Negara Maju pada masa
mendatang.
Keprihatinan
haruslah tumpuh dari kalangan para pemimpin Indonesia dengan melihat
Indonesia masa lalu dan masa kini. Kelumpuhan budaya yang terus merasuk dalam
diri anak bangsa menjadikan Indonesia kehilangan identitas bangsa. Realita
bahwa sangat sedikit anak bangsa yang kini mengenal “apa Pancasila dan ada berapa serta apa-apa saja isinya”. Oleh
beberapa risep di tahun lalu pun, disebutkan bahwa sangat sedikit putra putri
Indonesia yang paham akan Pancasila. Sebagai Negara berkembang, saat inilah
Indonesia sebagai Negara berpenduduk terbesar di Asia Tenggara “berlari
kencang” dalam membangun Bangsa. Kepemimpinan Presiden Terpilih nanti
diharapkan mampu memajukan Bangsa yang beridentitas dan toleransi meskipun
keduanya merupakan 2 hal yang “membelakangi”. Rekonsiliasi bathin merupakan
langkah awal yang berniat membangun Negeri Garuda ini ditengah-tengah cita
cita revolusi mental Anak Bangsa oleh
Presiden terpilih saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar